Bayang 30 Jangan Sakit, Ibunda

463 64 11
                                    

Chandra © Fukuyama12 (2023)

Genre: Fantasi Gelap Nusantara

.

.

Bayang 30 Jangan Sakit, Ibunda


Datuk Suma menyetujui syarat yang aku berikan. Dengan begitu, aku bisa pulang dengan perasaan lega. Sekarang, yang perlu aku pikirkan selanjutnya adalah bagaimana caranya membujuk Ibunda. Aku perlu memikirkan kalimat-kalimat serta membuat Ibunda percaya jika aku akan kembali dengan selamat meski tidak menemukan apa pun.

Kejadian 8 tahun yang lalu mungkin kebetulan, tetapi mungkin juga tidak. Aku mencoba untuk mempercayai diriku sendiri jika semua akan baik-baik saja. Aku mungkin bisa tidak kembali, tapi aku juga bisa kembali dengan selamat. Dengan pergi menuruti permintaan orang-orang, aku juga bisa tahu mengapa aku bisa selamat saat itu.

Aku mencoba untuk meyakinkan diriku sendiri sebelum meyakinkan Ibunda. Sebenarnya, aku menyetujui permintaan warga dusun dengan bermodalkan nekat saja.

Dengan resah, aku mengacak-acak rambut dan berjalan menaiki undakan tangga menuju teras. Aku berhenti sejenak dan melangkah mundur, menatap seluruh sudut rumah. Rasanya hawa rumah jadi aneh, tidak seperti biasanya, tetapi juga tidak bisa digambarkan seperti apa.

Pintu rumah yang terbuka sedikit membuatku mengernyit. Alat tenun yang sebelumnya dipakai Ibunda juga tergeletak begitu saja, seolah tidak tersentuh lagi.

"Ibunda, aku pulang," ucapku dan membuka pintu.

Tidak ada sahutan dari dalam rumah. Aku mengernyit. Seingatku Ibunda tidak bilang akan pergi kemanapun. Karena orang-orang mengucilkan Ibunda, tidak ada alasan bagi Ibunda untuk pergi. Kucoba menoleh keluar jendela. Jemuran masih belum diangkat meski hari sudah mulai sore.

"Ibunda?" Mengabaikan jemuran itu, aku mencoba melangkah masuk lebih jauh. Kubuka satu persatu pintu kamar. Tidak ada Ibunda di kamarku maupun kamarnya. Ruang tengah juga kosong. Makanan yang sebelumnya berada di atas meja kini sudah menghilang dan hanya menyisakan beberapa lauk yang dikeringkan.

Tidak biasanya Ibunda membiarkan meja kosong seperti itu. Biasanya, ketika aku pulang, makanan yang masih hangat sudah tersedia di atas meja.

"Bunda?" Aku mulai khawatir dan berjalan menuju belakang, tempat kami biasanya memasak dan membersihkan diri.

Langkahku terhenti sejenak. Meski sebentar, aku merasakan kaku pada tubuhku saat melihat sosok wanita yang jatuh terduduk dan bersandar pada pintu menuju kamar kecil.

"Ibunda!" Tanpa berpikir panjang, aku segera menghampiri Ibunda yang terlihat pucat dan lemas.

Tidak ada jawaban dari Ibunda meski aku memanggil beliau berkali-kali. Yang bergerak hanyalah alisnya yang mengerut seolah sedang menahan rasa sakit. Saat kutepuk pipinya pelan, aku bisa merasakan kulitnya yang panas. Aku melingkarkan tanganku di bahu Ibunda dan mengangkatnya, memindahkannya ke kamar. Kain jarik bagian bawah Ibunda sedikit basah, aku membalutnya dengan kain yang masih kering. Tak berhenti sampai di situ, aku juga mengisikan baskom dengan air segar, mengambil kain kecil untuk mengompres Ibunda.

"Bunda ...," panggilku perlahan dan memegangi tangannya. Wajahnya tidak mengatakan jika beliau membaik sedikit pun.

Setelah menarik selimut Ibunda hingga ke dadanya, aku beranjak kembali ke dapur, menghangatkan air yang kuberi sedikit jahe, potongan kayu manis kering, dan beberapa cengkeh. Ini minuman yang sama dengan yang diberikan Ibunda ketika aku pulang malam dengan badan yang basah kuyup.

ChandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang