"Jangan main kalau matahari mulai terbenam, nanti kamu bisa hilang! Apalagi kalau sampai masuk ke Alas!"
Bukan untuk menakut-nakuti anak kecil agar pulang sebelum senja, tetapi itu memang pantangan bagi seluruh penduduk Dusun Pedhukul tidak peduli u...
"Apa yang sedang kamu lakukan? Senja sudah hampir tiba, seharusnya kamu sudah berada di rumah."
Bocah laki-laki yang sedang berjongkok di dekat semak-semak itu menoleh setelah aku berbicara padanya. Terlihat dari gerak-geriknya tadi, ia terlihat seperti sedang mencari sesuatu di sana. Ia bergantian menoleh padaku dan semak-semak itu tanpa mengucapkan sepatah kata.
"Sedang mencari apa?" Aku ikut berjongkok di sebelahnya, mungkin saja kehadiranku bisa membantunya. Dengan begitu, dia bisa pulang cepat dan tidak berlama-lama di sini. "Apa ada kelereng yang hilang?"
Bocah itu menggeleng. "Tadi ada suara anak ayam menangis, sepertinya sedang mencari ibunya."
Aku tertegun dan melirik ke arah semak-semak yang hening dan tidak bergerak, mencoba mempertajam indera telinga untuk mendengarkan suara yang anak ayam. "Aku tidak mendengar apa pun. Sepertinya dia sudah kembali ke induknya."
"Benarkah?" Bocah itu menoleh padaku dengan matanya yang lebar antara percaya tidak percaya.
"Mungkin," jawabku singkat dan bangkit dari jongkok. Tanganku terulur padanya. "Pulang, yuk! Biar kuantar. Kalau kamu masih main jam segini, nanti Mahesa bisa khawatir."
Bocah itu akhirnya berdiri dan menggandeng tanganku. Kami berjalan bersama menyusuri jalan setapak, ditemani oleh angin sepoi-sepoi dan matahari yang semakin bergulir ke barat, juga suara lembu yang sudah berada di dalam kandangnya. Tidak sekali dua kali kami berpapasan dengan warga dusun yang juga sedang dalam perjalanan menuju rumahnya masing-masing dengan membawa hasil pekerjaan mereka dari pagi hingga sore.
"Arsa," panggilku pada anak kecil itu. Ia bergumam sembari mengalihkan tatapannya dari jalanan, "kalau semisal kamu mendengarkan suara anak ayam lagi ke depannya, abaikan saja, ya?"
"Kenapa?"
Aku memutar otak, berusaha untuk menemukan jawaban yang sesuai agar bisa diterima oleh akal anak kecil itu. Mana mungkin aku berkata jika bisa saja ada sesuatu di balik sana yang dapat meniru suara bunyi hewan agar menarik perhatian anak kecil polos seperti Arsa. Menoleh ke belakang untuk melihat apa yang ada di balik itu pun aku enggan, takut-takut jika apa yang ada dalam pikiran menjadi nyata.
"Takutnya ayam itu punya orang. Jadi, jangan diambil. Bisa juga ternyata ada hewan buas di sana. Lalu-"
"Itu Kakak!" seru Arsa seolah tidak mendengarkan peringatanku sebelumnya.
Aku menghela napas panjang dan mengikuti arah pandang Arsa pada seorang pemuda sebayaku dengan badan yang lebih besar. Dia yang paling tinggi di antara teman sebayaku. Kulitnya kecokelatan karena sering berada di tengah padang rumput bersama gembala sapi dan kambing. Bahkan saat ini, di sebelah Mahesa ada dua ekor lembu yang akan ia antar ke kandangnya.