22. A Deal

873 150 82
                                    

"Kau telanjang," Evie berseru. "M-mengapa?"

Sev tertawa dan meraih handuk yang ada di dekatnya. Bukan untuk menutupi benda yang membuat IQ Evie mendadak lenyap tapinya, melainkan hanya menggunakannya untuk mengelap wajah dan badannya yang basah sebelum melangkah mendekat.

"Well... Aku sedang mandi, little dove," pria itu berkata dengan nada suara yang membuat bulu tengkuk Evie berdiri. "Tentu saja aku telanjang."

Tentu saja. Pertanyaan yang sangat bodoh, Evie.

Menelan ludahnya dengan sudah payah, Evie berusaha mencairkan kekakuan di tenggorokan.

Namun begitu Sev berdiri di depannya, keberanian Evie seketika menyusut dan panik kembali mengambil alih. Ia mendongak dan matanya berpapasan dengan milik Sev yang seketika membuatnya tidak bisa memikirkan apa-apa.

Pria itu melilitkan handuknya ke pinggang sebelum menekan tubuh Evie hingga terdorong menabrak pinggiran wastafel.

"A-apa yang kau lakukan?" Evie bertanya dengan suara sekecil tikus. Ia bisa merasakan kekakuan pria itu menekan dan membuat tubuhnya semakin gemetaran.

Pria itu melebarkan senyumannya sebelum bertanya balik, "Justru akulah yang seharusnya bertanya, Little Dove. Apa yang kau lakukan di kamar mandi? Apakah kau hendak mengintip?"

"A-apa?" Evie berseru dengan wajah yang mulai terbakar. "T-tentu saja tidak."

"Jadi?" pria itu kembali bertanya. "Mengapa kau di sini, Evie?"

Evie membuka bibirnya hendak menjawab, namun seketika lupa apa yang hendak diucapkannya. Keberadaan Sev yang sangat dekat membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Ia tidak bisa merasakan apapun kecuali tubuh panas pria itu menekan miliknya.

Evie menarik napas dengan susah payah sambil berusaha mengembalikan akal sehatnya. Setelah beberapa detik yang terasa seperti seumur hidup, ia akhirnya bisa merasakan gagang pisau yang masih tergenggam di tangan.

Ah. Benar juga. Ia tadinya hendak menusuk pria itu.

Sekarang, Evie!

Evie mengayunkan tangan tapi mendapati pisaunya tertahan oleh sesuatu, membuatnya tidak bisa digerakkan. Bingung, ia menunduk dan melihat tangan pria itu melilit erat bagian tajam pisaunya. Darah mengalir dari telapak tangan pria itu, menetes ke lantai kamar mandi.

Evie terkesiap kaget, matanya melebar saat pandangannya kembali ke pria itu. Tidak sedikitpun pria itu tampak kesakitan atas apa yang dilakukannya. Sebelum Evie sempat merespons, pria itu menyentak pisau hingga terlepas dari genggamannya dan, tanpa menoleh, melemparkan benda itu ke sudut kamar mandi.

Dentingan pisau yang menghantam dinding kamar mandi menggema di ruangan, diikuti suara berisik saat benda itu jatuh ke lantai. Ketika kesunyian kembali, satu-satunya suara yang terdengar hanyalah napas Evie yang terengah-engah.

Keberadaan pria itu terasa layaknya lubang hitam yang menghisap segalanya—oksigen, cahaya, bahkan kemampuan Evie untuk berpikir. Kekuatan pria itu menjadikan tubuhnya seperti seonggok daging tak berdaya. Penuh oleh rasa takut yang melumpuhkan. Keinginan untuk melawan menjerit dalam benaknya, dorongan untuk bertahan hidup memaksa tubuhnya untuk bergerak, tetapi entah bagaimana, tubuhnya tetap membeku.

Evie menelan ludah dan menarik napas dalam-dalam. Ia memaksakan tubuhnya untuk mendengarkan jeritan dalam kepala dan mendorong dada basah pria itu sekuat tenaga.

"Minggir," Evie menggeram dengan suara serak.

Pria itu tidak bergeming tentu saja. Telapak tangan Evie terasa beradu dengan tembok yang keras dan terbuat dari beton. Namun, ia bisa merasakan detak jantung pria itu, keras dan cepat, melawan telapak tangannya yang melekat. Jika saja ia tidak tahu siapa pria itu, ia akan mungkin mengira bahwa pria itu sama gugupnya dengan dirinya.

Savage [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang