45. The Truth

670 136 72
                                    

Note: Dobel update!!! Buat kalian yang selalu memberi dukungan padaku, baik dalam suka maupun duka, dalam sehat maupun sakit, sekarang dan selama lamanya. Eh.. lho

Jangan lupa komennya ya. Biar rame. Gak rame, yg nulis gak semangat. Gak semangat, jadi slow update ntar.

***

***

Menunggu di atas kasur, Evie memeluk lututnya sendiri.

Beberapa menit kemudian, pintu kamar terbuka, dan Sev masuk dengan handuk terlilit di pinggang dan rambut yang masih basah.

Evie menegakkan punggungnya dan memperhatikan pria itu yang menuju lemari untuk menarik sebuah celana panjang. Dengan punggung membelakangi Evie, Sev melepas handuk dari pinggangnya dan membungkuk untuk mengenakan celana panjangnya. Evie sempat menangkap sekilas definisi otot paha dan pantat Sev sebelum pria itu menaikkan celananya.

Setelah mengenakan kaos, Sev berjalan ke ranjang dan duduk di sebelah Evie. Pria itu menyandarkan kepalanya ke belakang sambil mengerang dan memegangi lehernya yang kaku.

"Kau baik-baik saja?" Evie bertanya ketika melihat wajah Sev yang tidak nyaman.

"Hanya lelah," Sev menjawab sambil mengusap lehernya yang tegang. "Kadang leherku terasa kaku ketika aku kurang tidur."

Evie berlutut, mendorong punggung Sev dengan lembut agar pria itu menegakkan punggungnya.

"Membaliklah," perintah Evie dengan suara tegas. "Biar aku periksa."

Sev menaikkan alis, tapi tetap menurut. Pria itu menurunkan kakinya dari kasur dan duduk di pinggiran ranjang.

Saat tangan Evie menyentuh bahu tegang pria itu, ia bisa merasakan badan Sev membeku.

"Holly crap, Sev, pundakmu keras sekali." Jemari Evie bergerak menekan, sebelum ia berkata lagi, "Lepas kaosmu, biar aku bisa pijat."

Sev menoleh, dan Evie bisa merasakan napasnya tersendat ketika pandangan mereka bertemu. Banyak pria tampak tampan saat dilihat dari depan, tapi mengecewakan dari samping. Tidak demikian dengan Sev. Pria itu sepertinya terlihat sempurna dilihat dari manapun. Tiga ratus enam puluh derajat tanpa sisi jelek tentunya hanya ada dalam khayalan.

"Kau ingin memberiku pijatan?" pria itu bertanya dengan suara yang terdengar kaget.

"Ya," Evie menjawab dengan suara serak. "Mengapa kau terlihat sangat kaget? Kalau tidak mau ya sudah."

Sev membuka mulut, tapi apapun yang pria itu ingin katakan menghilang dengan sendirinya dan digantikan gelengan kepala dan cengiran.

"Tentu saja aku mau, baby," pria itu menjawab dengan suara rendah dan serak.

"Baiklah. Lepaskan kaosmu kalau begitu."

Sev meraih bagian belakang kaosnya dan menariknya ke atas kepala dengan satu gerakan cepat. Begitu kaos putih itu terlepas, Evie bisa melihat koleksi tato yang dimiliki pria itu di punggung.

Sev tidak berkata apa-apa dan hanya meletakkan sikunya ke atas lututnya yang membuka.

Mengabaikan rasa penasarannya akan bekas luka yang tersebar di tubuh pria itu, Evie berlutut di atas kasur dan mulai menjalankan tangannya untuk memijat pundak keras pria itu.

Evie bisa mendengar pria itu menggeram penuh kenikmatan.

"Geez, Sev," Evie menggumam sambil memijat lebih keras. "Pundakmu terasa seperti batu. Aku bisa merasakan gumpalan otot di mana-mana."

Evie menekan dengan jarinya, dan sebuah erangan penuh kenikmatan terlepas dari mulut Sev.

"Oh, baby. Enak sekali pijatanmu."

Savage [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang