"Baiklah, sekian rapat hari ini saya tutup, bila ada kesalahan baik sikap maupun kata-kata yang kurang berkenan saya minta maaf. Sekian dan terimakasih" Ujar sang sekertaris
Helaan nafas panjang terdengar diruangan yang sepi karena semua orang sudah keluar dari ruang rapat. Setelah kurang lebih 2 jam berada diruang rapat, akhirnya rapat hari ini berjalan dengan baik, walau pemikirannya tidak bisa fokus pada jalannya rapat.
Lelaki yang sudah memasuki kepala 4 itu kini melepas kacamata yang bertengger di hidung mancungnya, meletakkannya sembarang diatas meja, melirik jam dipergelangan tangannya yang kini menunjukkan pukul 11 siang.
Lelaki itu mengambil handphone disaku jas, membulatkan mata menemukan pesan dari pengasuh putranya bahwa dirinya tidak bisa masuk kerja karena urusan mendadak.
Hilmi tentu terkejut, memikirkan putra bungsunya dirumah sendirian karena semua saudaranya hari ini mulai masuk sekolah. Dua asisten rumah tangganya juga belum kembali dari kampung setelah cuti satu minggu. Hilmi buru-buru bangkit, keluar dari ruang rapat, berlari menuju parkiran mengabaikan sekretaris kantor yang memanggil dirinya berulang kali.
Dipikirannya hanya ada Riki yang berada dirumah sendirian apalagi bungsunya semalam demam tinggi, ia menjadi menyesal tetap pergi kekantor disaat putranya sedang membutuhkan kehadirannya.
"Tunggu sebentar lagi ya, dek. Papa sebentar lagi pulang" Monolog Hilmi sembari menyetir mobilnya dengan kecepatan diatas rata-rata. Beberapa kali juga menyalip kendaraan lain agar bisa segera sampai dirumah.
Sesampainya dirumah ia langsung melesat keluar mobil, berlari masuk kedalam menuju kamar putra bungsunya dilantai dua.
Hilmi terkejut ketika baru membuka pintu kamar menemukan putra sulung juga putra bungsunya tidur saling memeluk nyaman dengan selimut sebatas dada. Hilmi sedikit merasa lega ternyata Riki tidak sendiri dirumah, sekaligus bingung kenapa Jayden bisa bersama Riki alih-alih pergi kesekolah bahkan anak itu masih mengenakan seragam sekolah.
Hilmi pun berjalan pelan mendekat ke sisi Riki, bisa dilihat putranya masih menggunakan plester demam, wajahnya juga masih pucat, mengulurkan tangan kanannya berniat mengecek suhu tubuh Riki yang masih terasa hangat dikulit tangannya. Hilmi menghela nafas, lantas berjalan ke sisi lain ranjang mengguncang pelan tubuh Jayden,"Jay, bangun nak"
Jayden merasa tidurnya terganggu, mulai membuka mata mengucek pelan matanya berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk.
"Jangan dikucek, nak. Nanti merah." Hilmi menahan tangan putra sulungnya agar berhenti mengucek mata, Jayden yang telah sepenuhnya sadar baru menyadari kehadiran papa di kamar.
"Papa kapan pulang? Udah waktu makan siang, ya? Ya ampun Jay ketiduran, belum buatin bubur buat adek" ribut Jayden bersiap turun jika saja Hilmi tidak menahannya untuk tetap dikasur menemani Riki dikamar.
"Biar papa yang buat, kaka tidur lagi aja temenin adek. Lagian ini masih jam 11" Ujar Hilmi
"Tapi-
"Gak ada tapi-tapian kaka temenin adek disini, biar papa urus semuanya"
Jayden akhirnya pasrah sejujurnya ia masih mengantuk efek bergadang menemani papa semalam mengurus Riki. Ia juga baru teringat kalo dirinya hari ini membolos sekolah takut papa marah. Namun, pemikiran itu hilang kala papa mengerti rasa gundahnya.
"Papa gak marah, adek pasti rewel gak mau ditinggal sama kaka ke sekolah, iya kan?"
Jayden mengangguk membenarkan perkataan papa. Hilmi bisa menduga alasan Jayden tetap berada dirumah.
"Makasih ya, kak. Udah jagain adek, papa minta maaf karena kaka sampe harus bolos sekolah dihari pertama"
"Papa gak perlu minta maaf, ini udah tanggung jawab Jay buat jaga adek kalo papa sibuk, aku juga gak masalah harus bolos sekolah lagian sekarang masih mpls sejujurnya Jay juga sedikit males panas-panasan dilapangan, hehe" ucap Jayden sedikit malu karena merasa senang bisa bermalasan dirumah daripada berdiam diri dibawah terik matahari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Precious Family || Enhypen
ActionSeandainya waktu dapat kembali diputar, Hilmi tidak ingin kehilangan siapapun. Seandainya Hilmi bisa membagi kasih sayang sama rata pada putra-putranya, ia tidak akan pernah hidup dalam penyesalan. Hilmi mungkin bisa merelakan wanita yang sangat ia...