19 Maret 2010
Perpisahan.
Sebuah kata dengan penilaian berbeda berdasarkan prespektif masing-masing. Ada kalanya perpisahan itu memang menyedihkan, namun bisa jadi perpisahan itu membawa perasaan lega. Menghilangkan segala sesuatu yang tertahan, mengikis kebencian yang selama ini terpendam, dan menyamarkan luka yang sulit terobati.
Mungkin karena sudah terlampau sering mendengar pertikaian kedua orang tuanya, Bagas dan Brian tetap melakukan kegiatannya masing-masing meski ayah dan bundanya sedang beradu mulut di kamar mereka—ralat, mungkin selama beberapa minggu ini bisa mereka sebut hanya kamar bundanya karena sang ayah lebih sering bermalam di rumah sakit atau di kamar tamu yang ada di dekat ruang tamu.
"kamu jangan egois dong! bilang mau ini itu nyatanya ambil kerjaan tanpa bilang apapun ke suami sendiri!"
"kapan aku punya kesempatan bicara coba aku tanya! kamu bahkan ga pernah dengerin ceritaku dan cerita anak-anak, kamu itu ga pernah ada waktu buat keluarga"
"ya aku kerja? buat kalian! buat kamu, Bagas, sama Kama! kamu pikir aku main-main di luar kaya kamu?"
Di tengah samar suara Wisnu dan Yuna, Bagas mengisi gelas minum berwarna hijau di dapur. Ia menekan tutupnya dan berjalan keluar melewati Brian yang sedang duduk berhadapan tumpukan kertas latihan soal ujian nasional SMP. Kedua telinganya tersumpal earphone yang tersambung di walkman warna abu miliknya.
"aku main ke rumah Jena"
Bagas tetap pergi meski tak mendengar jawaban dari Brian.
Bagas sudah terlampau biasa keluar masuk rumah Jena, suasananya beda 180 derajat dengan suasana rumahnya yang selalu tegang dan bisa kapan saja terdengar ledakan pertengkaran kedua orang tuanya. Sementara rumah Jena selalu sepi namun terasa hangat dan tentram, suara burung-burung peliharaan Om Haris di taman belakang selalu menjadi tanda adanya kehidupan di rumah itu.
Pipi Bagas yang kemerahan karena terkena sengatan sinar matahari di tengah bolong mulai mereda saat ia merebahkan tubuhnya di karpet ruang TV rumah Jena. Pemilik rumah yang sedari tadi sibuk dengan Nintendo barunya kini menaruh benda itu di samping dan duduk sambil mengamati Bagas.
"K.K.K.D.A" ucap Jena.
Bagas membuka matanya dan diam sejenak untuk menjabarkan kalimat yang diucapkan Jena.
"apa tadi? K nya berapa?" tanya Bagas.
"tiga, K.K.K.D.A. Kamu kenapa kok diem aja?"
"oh, gak kenapa-napa. tapi bisa nggak kamu nggak usah ikut-ikutan yang lain ngomong pakai singkatan gitu? alay tau nggak? lama-lama puyer 88 habis diborong karena orang-orang puyeng harus mikir gituan"
Tawa Jena meledak mendengarnya, lagian beberapa waktu lalu malah Bagas yang sering pakai singkatan-singkatan ajaib setiap kali sms-an dengan Jena atau mengirim tulisan di Friendster. Hal itu membuat teman-temannya di sekolah bahkan kakak-kakak kelas perempuan kelas 8 dan 9 banyak yang mengirim pesan ke Bagas dengan singkatan-singkatan yang tak kalah aneh.
B.A.A.S.B. = Bagas Adhisa Akan Selalu Bersama
C.B.S.M. = Cinta Bagas Sampai Mati
B.A.C.K. = Bagas Aku Cinta Kamu
Dan lain sebagainya, singkatan-singkatan itu bahkan sering ditemukan di buku tulis Bagas paling belakang. Atau menempel di pintu loker milik Bagas.
Bagas bukannya risih, dia menikmati kepopulerannya pada saat itu, hanya saja lama-lama dia bosan karena harus berpikir dulu mengartikan pesan-pesan untuknya. Jadi dia semakin lama semakin jarang membalas pesan perempuan-perempuan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
House Mates
FanficReuni tahun 2036 membawa Jena memutar kembali memori-memori masa mudanya. Membawamu menebak kepada siapakah yang pada akhirnya Jena percaya untuk mengobati luka masa lalunya dan berjanji untuk 'seumur hidup'?