Kamis, 14 Februari 2013
Setelah Tryout Daerah selesai, Brian memenuhi panggilan Bu Setyo selaku guru BK kelas 12.
Ia membawa tasnya masuk dan duduk di bilik bimbingan khusus berukuran 3x2 itu. Di hadapannya ada Bu Setyo dengan kacamata yang bertengger di hidungnya sedang membolak-balik raport bersampul hitam milik Brian.
"bisa sih bri, tapi peluangnya kecil"
"kamu nggak mau coba kampus lain dengan fakultas yang sama?" lanjutnya.
Brian masih nunduk, mainan kuku di bawah meja.
"UNPAD Bandung? UNDIP Semarang? itu juga bagus lo hukumnya"
"persentasenya berapa bu kalo di UI atau UGM?" lagi, Brian masih terobsesi masuk ke salah satu kampus yang disebutnya.
Bu Setyo menipiskan bibirnya lalu menatap layar komputernya. "Ada 5 siswa IPS-1 yang daftar FH UI, 3 dari IPS-2, dan kamu sama Shakina dari IPS-3."
"kalau UGM cuma 4 orang sih, tapi Hangga salah satunya. Ibu cuma menyarankan aja Bri. Nggak semua siswa dapet kesempatan ikut SNMPTN, jadi kamu harus pinter-pinter cari peluang biar keterima"
Brian lantas menghela nafas, memejamkan matanya sejenak dan mengarahkan pandangannya ke Bu Setyo.
"coba obrolin sama keluarga kamu dulu" tutup Bu Setyo.
Brian memijat keningnya dan berjalan ke luar ruangan. Tangan kanannya mencengkeram ransel yang menggantung di bahunya.
Langkahnya menuju parkiran terhenti saat matanya menangkap sosok Jena yang sedang berlari menembus gerimis, menyebrangi gedung kelasnya menuju ke gedung pengembangan siswa yang ada di sisi berlawanan. Ia masih melihat ke arah Jena yang sedang mencoba menyisir rambutnya dengan tangan, seragamnya juga jelas terlihat sedikit basah.
"bego" gumam Brian, lalu melanjutkan langkahnya menuju ke parkiran mobil.
Jena berjalan cepat masuk ke lorong gedung yang biasa disebut jipies itu. Suasananya sepi karena ini masih jam pelajaran, masih ada sisa 15 menit lagi sebelum istirahat kedua.
Ia naik ke lantai dua, menuju ruang jurnalistik untuk mengambil print out artikel yang diminta guru Bahasa Indonesia.
Tidak langsung kembali ke kelas, Jena berjalan ke halaman belakang jipies untuk meneduhkan mangkuk makanan Komo.
Seperti sudah menjadi kebiasaan, Jena selalu melirik ke gedung sekolah sebelah. Mulai awal masuk semester dua, Jena dan Marco sering bertemu di tempat ini. Jena di tempat Komo, Marco di balkon tangga lantai dua atau di lantai tiga. Keduanya saling menyapa, lalu Marco akan menelpon Jena lebih dulu lalu mereka mengobrol dari kejauhan.
Obrolan keduanya selalu mengalir begitu saja. Kadang tentang NBA, tentang Jogja, tentang Kanada, atau Marco yang sesekali membahas tentang Saddam. Jena menjadi pendengar yang baik. Itulah kelebihannya. Selama ini ia juga bertugas sebagai pendengar yang baik untuk Bagas dan Brian.
Sama halnya dengan Marco, ia juga ternyata seorang pendengar yang baik. Jena seperti terhipnotis, kadang ia pun juga berkeluh kesah tentang hal-hal kecil ke Marco.
Namun entah mengapa sosok yang sering dilihatnya itu sudah satu minggu ini tidak ada di tempatnya. Laki-laki bernama Marco itu pun juga belum menghubungi Jena lagi.
.
.
.
Setelah beberapa waktu memandangi gedung itu, Jena dengan segera memindahkan mangkuk Komo ke tempat yang teduh dan mengisinya dengan makanan baru.
.
.
.
"Oii" suasana sepi kali ini membuatnya mendengar samar suara dari atap gedung berlantai 4 di hadapannya. Jena melihat ke sekeliling lalu mendongak, dilihatnya laki-laki dengan seragam batik warna coklat bercorak putih dan celana panjang warna mocca. Kedua tangannya disimpan di saku.
KAMU SEDANG MEMBACA
House Mates
Fiksi PenggemarReuni tahun 2036 membawa Jena memutar kembali memori-memori masa mudanya. Membawamu menebak kepada siapakah yang pada akhirnya Jena percaya untuk mengobati luka masa lalunya dan berjanji untuk 'seumur hidup'?