Keputusanku untuk menjalin hubungan romansa dengan Jena Wuri Bintari adalah keputusan yang sangat tepat, setidaknya bagiku. Setelah meyakinkan diri bahwa perasaanku bukanlah perasaan yang timbul tenggelam seperti kebanyakan kisah romansa remaja lainnya, aku mulai bergerak secara terang-terangan untuk mengungkapkan semua yang ada dihatiku.
Entah sejak kapan pastinya, tanpa mendeklarasikan hari jadi kami menjadi sepasang kekasih dan hanya bermodalkan keseharian kami yang bertahap mulai berubah juga keyakinan bahwa kami saling mencintai, membuatku mulai menyebut dirinya milikku.
Tetangga kecil yang sering datang ke rumahku, gadis yang memutuskan untuk tinggal denganku, si moody-an ini, yang kini sudah tumbuh semakin dewasa dan semakin cantik, kini ia menjadi kekasihku.
Orang pertama yang aku beri kabar soal hubungan kita adalah ayahku. Laki-laki yang dulunya sering bertengkar denganku saat aku duduk di bangku SMP ini kini menjadi orang terdekatku.
Semakin hari, rasanya perasaanku pada perempuan ini semakin besar. Setiap aku melihatnya salah tingkah, setiap aku melihatnya tertawa karenaku, setiap aku menggenggam tangannya di tempat-tempat yang kita kunjungi, detak jantungku semakin menggila dibuatnya.
Aku tidak tahu jatuh cinta dengan Jena menjadi seindah ini saat aku merasa dia juga memiliki perasaan yang sama.
"kalau begitu, pesan ayah biarlah Jena tinggal di kosnya untuk sementara mas. Ayah tidak mau kalian kembali tinggal di rumah yang sama sebelum menikah. Ingat itu"
Aku teringat ucapan ayah saat hendak mencentang wish list yang aku tulis bersamanya. Aku mengurungkan pergerakan tanganku, benar, menikah adalah tujuan akhirku bersama Jena. Jadi aku akan mencentangnya nanti.
Seolah ayah bisa menerawang apa saja yang kami lakukan disini, hehehe. Beberapa kali memang Jena menginap di rumah, kami menghabiskan waktu bersama sebagai seorang pasangan. Tapi bisa dipastikan, aku tidak akan menjadi laki-laki bajingan yang melewati batas. Aku tetap memegang teguh janjiku pada Om Haris untuk menjaga Jena disini.
Setelah kami berdua lulus, kami mendapatkan pekerjaan dan kesibukan masing-masing. Aku ditugaskan untuk menjadi asisten dosen di jurusan saat aku sarjana dulu, dan Jena menjadi guru BK di sekolah internasional di Jakarta. Kami juga masih sesekali mengikuti kegiatan PMB yang saat itu sudah diketuai juniorku semasa kuliah dulu.
Cukup singkat waktu kami menikmati keseharian di tempat kerja kami karena dunia perlahan mulai berubah saat merebaknya virus asing di awal tahun 2020.
Sejak kasus covid-19 makin meledak di Jakarta, intensitasku bertemu dengan Jena menjadi berkurang. Kami sibuk dengan kegiatan daring dan administrasi lain saat itu. Banyak sekali pekerjaan tidak terduga yang diberikan dosen untukku, seperti memeriksa skripsi mahasiswa, diskusi membuat rencana pembelajaran semester, membuat media untuk bahan daring, dan lain sebagainya.
Hal yang aku lakukan saat itu hanyalah menunggu. Menunggu kondisi menjadi lebih baik dan kami bisa melakukan aktivitas kami dengan normal. Bertahan di rumah seorang diri terasa sangat memuakkan bagiku, ditambah kabar buruk yang datang silih berganti dari orang-orang sekitarku.
Jena yang positif covid harus menginap di wisma atlet selama kurang lebih dua minggu, lalu bergantian aku, Bagas, bahkan bunda juga perlu penanganan lebih intens karena penyakit komorbitnya.
Ambulan silih berganti yang lewat di depan komplek selalu terdengar dari kamarku, membuatku semakin stres setiap hatinya. Bahkan aku beberapa kali sengaja membanting barang-barang di sekitarku karena kondisi dan situasi yang tak kunjung membaik setelah beberapa bulan berlalu.
Saat itu benar-benar membuatku hampir gila, apalagi saat mendapat kabar ayahku terinfeksi virus selama menjadi pahlawan di rumah sakit. Kondisinya cukup parah hingga membuatnya menginap di ICU beberapa hari. Itu yang membuatku merasa menjadi anak yang gagal. Ayah hidup sendiri di Jogja dan harus melalui itu tanpa ada anak yang menemani.
KAMU SEDANG MEMBACA
House Mates
FanficReuni tahun 2036 membawa Jena memutar kembali memori-memori masa mudanya. Membawamu menebak kepada siapakah yang pada akhirnya Jena percaya untuk mengobati luka masa lalunya dan berjanji untuk 'seumur hidup'?