34. Dasar Cemburuan!

180 19 8
                                    

Jena

Karawang, Juli 2018

Butuh waktu dua tahun sampai Jena bisa berada disini lagi. Di depan nisan hitam bertuliskan nama seseorang yang ia yakini masih tersenyum bahagia menikmati masa studinya di kampus impiannya.

Marco Dean Adira.

Melihat nama Marco tertulis disana, membuat Jena sadar laki-laki itu sudah benar-benar pergi. Ingatan cerita Kama, Saddam, Bagas, Reina, dan Ibunya tentang bagaimana laki-laki itu semangat melawan penyakitnya selalu membuat hati Jena sakit sesakit sakitnya. Sekuat apapun mereka memberi Jena berbagai macam alasan mengapa ia baru diberitahu di detik-detik terakhir sebelum Marco pergi, masih belum bisa membuat Jena memahami itu semua.

Tangisnya kembali tumpah di hadapan tanah persegi panjang yang sudah tertutup sempurna oleh rumput hijau di atasnya.

Setelah beberapa saat, ia hanya mengusap nisan itu dan memandang dengan mata sayunya.

"Maaf" hanya kata itu yang berulang kali Jena ucapkan disana.

Jangankan kalimat, kata selain maaf saja tidak mampu lolos dari mulut Jena saat berada di ruang sendiri bersama pusara Marco saat ini.

Marco berjuang sendiri melawan rasa sakitnya untuk bisa menepati janjinya bertemu lagi dengan Jena. Rasa cinta laki-laki itu tidak pernah pudar sampai hembusan nafas terakhirnya.

Sedangkan Jena, dengan mudahnya ia memberi celah untuk orang lain mengusik kembali debaran jantungnya, seolah menyingkirkan Marco dari sana.

Rasa bersalahnya pada Marco membuat Jena benar-benar membuatnya sulit mengartikan perasaannya pada Brian. Sekuat hati mengelak bahwa diantara dirinya dengan Marco hanya perasaannya lah yang berubah.

***

Januari 2019

"Ngelamun mulu, katanya mau cepet acc"

Ucapan Brian membuyarkan lamunan Jena. Mereka sedang berada di lantai tiga perpustakaan kampus, duduk sebelahan dengan view rintikan hujan yang jatuh ke danau samping gedung perpustakaan.

Jena menoleh ke arah Brian yang masih fokus ke macbook-nya kemudian mengangkat pergelangan tangan kiri laki-laki itu.

"wow, udah tiga jam kita disini" Jena lekas melihat kembali pekerjaannya, "mentok banget ga ada ide"

Setelah menekan enter, Brian memutar kursinya menghadap ke Jena yang sedang meremat rambutnya sendiri. "makanya jangan ngelamun mulu! gimana mau wisuda bareng, baru proposal aja ngga kelar-kelar" Brian memasangkan headphone yang tadinya bertengger di leher Jena kemudian menyambungkannya dengan aplikasi joox di ponselnya.

Jena mendengus, agak jleb sih sebenernya, tapi bener! Target Jena mau wisuda bareng Brian pertengahan tahun ini, tapi sampe sekarang masih belum ada greget nyelesein proposalnya.

Drrt

Drrt

Drrrrrt

Baru juga Jena mau mulai fokus ke proposalnya, getaran ponselnya mulai mengganggu konsentrasi perempuan itu. Ia berdecak dan melirik dulu ke arah Brian sebelum meraih ponselnya, "Siapa si ini, ganggu banget." Sok-sokan ngeluh biar nggak di tegur Brian.

Alby

| bro jadinya di Depok apa Salemba?

| Jalan aja lah yuk

| Bosen nih

| Aku traktir sushi tei atau apa deh terserah

| Kamu jg cape kan?

House MatesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang