Chapter 2

820 75 1
                                    

Dulu, dia tidak suka duduk di pinggir pantai sambil melihat lembayung senja. Baginya, kegiatan tersebut sangat membuang-buang waktu karena, apa manfaatnya memperhatikan matahari terbenam? Toh, keesokan harinya, matahari akan terlihat kembali dan menyinari dunia.

Tapi, sekarang, dia malah sedang melakukan hal yang tidak ia suka.

Pemuda 24 tahun itu duduk bersila di pinggir pantai, membiarkan celana dasar berwarna hitam miliknya terkena butiran pasir. Tas ranselnya yang lusuh itu pun, ia  pangku.

Di tangan kanannya, tersemat satu batang rokok yang masih menyala dan ia biarkan rokok tersebut terus terbakar, mengepulkan asapnya yang ditiup embusan angin, membiarkan abu rokok tersebut jatuh dan menemani butiran pasir di dekat kakinya.

Di tangan kirinya terdapat sepucuk "surat cinta" dari bos tempat ia bekerja.

Sebuah surat yang tidak pernah ia pikirkan akan ia dapatkan bersama 20 karyawan lainnya hari ini.

Sejak beberapa hari yang lalu, pemuda bernama Nevan Daneswara ini mendengar desas-desus bahwa pabrik kain tempat ia bekerja itu akan melakukan PHK kepada beberapa buruh pabrik.

Awalnya, Nevan menganggap rumor tidak berdasar itu sebagai angin lalu. Dia juga yakin, kalau pun rumor itu benar, dia pasti bukan lah salah satu dari buruh pabrik yang kena PHK.

Namun, siapa yang menyangka? Justru, Nevan berada di antara 20 buruh pabrik yang diberhentikan.

Hari ini, adalah hari terakhir Nevan bekerja. Dia memang diberi gaji terakhir beserta bonus bulan lalu yang belum dibayarkan.

Hanya saja.

Mencari pekerjaan di antara jutaan pengangguran dengan lowongan terbatas bukanlah suatu hal yang mudah bagi Nevan.

Dia bisa bekerja di pabrik kain ini saja karena bantuan temannya. Dan sekarang, dia harus memulai dari nol. Kembali mencari pekerjaan sebelum uang tabungannya akan habis tidak tersisa.

"Kenapa gue jadi sial begini semenjak pindah sama Jauzan?" ucap Nevan, dia hendak menyesap asap rokok yang saat ini tersemat di jemarinya.

"Sial, ternyata rokok gue mati!" gerutu Nevan.

Dia membanting rokok itu dengan kesal lalu dia menatap hampa mentari sore yang perlahan mulai menghilang dari langitnya bumi.

"Gue mau bilang apa ke Jauzan?" gumam Nevan.

Dia tiba-tiba kepikiran dengan sepupunya yang sejak kemarin mengeluhkan perekonomiannya yang semakin memburuk.

Harga satu per satu mulai naik, tetapi pemasukan tidak mengalami perubahan.

Pemasukan dan pengeluaran yang tidak seimbang itu membuat Jauzan dan Nevan suka sekali saling curhat mengenai masalah ekonomi mereka.

"Nggak mungkin Jauzan yang bayarin uang sewa selama gue nyari kerjaan baru."

Nevan benar-benar galau.

Dia harus mencari waktu yang pas untuk membahas masalah ini ke Jauzan, sepupunya.

***

Jauzan sudah terbiasa melihat pedagang di pasar ini akan tersenyum masam jika melihat Jauzan datang ke toko mereka untuk menagih tagihan yang sudah jatuh tempo.

Pemuda itu hanya bisa tersenyum sambil memberikan nota tagihan ke si pedagang yang saat ini tidak henti cemberut sambil menghitung segepok uang di tangannya.

Karena tidak tahan melihat wajah jengkel dari ibu-ibu pedagang ini, Jauzan memilih memperhatikan keadaan di sekitar toko.

Toko milik ibu-ibu ini hanyalah toko kecil. Barang yang ia jual pun juga tidak terlalu banyak. Jauzan juga menyadari suasana di pasar kali ini cukup sepi. Entah karena harga yang semakin melambung tinggi atau memang orang-orang sekarang malas pergi ke pasar.

[FF NCT DREAM] Anak Tangga TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang