Chapter 51

208 50 21
                                    

Tempat ini berada di pinggir pantai. Harzan dan Jidan duduk di atas pemecah ombak sambil memandangi lautan yang begitu gelap dan hanya diterangi oleh cahaya bulan malam itu. Mereka berdua juga melihat cahaya lampu dari kapal yang mengarungi lautan.

Bau asinnya laut tercium karena terbawa oleh anginnya malam. Suara deburan ombak membuat Jidan rasanya ingin berlari mengejar ombak yang kembali ke tengah laut. Jidan ingin merasakan kakinya ini dijilat oleh ombak yang berlari ke arahnya. Tetapi, pada akhirnya Jidan memilih duduk di sini bersama Harzan.

Di antara mereka terdapat dua kelapa muda yang belum tersentuh. Sejak tadi yang mereka lakukan hanya diam tanpa mengatakan apa-apa. Hanya suara deburan ombak serta suara para nelayan yang hendak mencari ikan di laut.

Jidan memandangi nelayan tersebut mulai menjauh dari tepi pantai. Dia berharap, para nelayan itu mendapatkan ikan yang banyak supaya mereka bisa menjual ikan tersebut di pasar dan mendapatkan uang untuk menafkahi keluarga mereka.

"Lo inget nggak, Dan? Kita pernah pergi ke sini sama ayah, bunda, dan Kak Yusuf?" ucap Harzan yang membuat Jidan menoleh ke sang kakak.

Jidan tertegun melihat wajah kakaknya semakin tirus, kantung mata kakaknya juga terlihat semakin jelas.

"Inget, bang. Gue juga ingat lo pernah nangis karena matanya kemasukan pasir" kekeh Jidan.

Saat ini, dia melihat bayangan Harzan kecil yang menangis tersedu-sedu di pinggir pantai ini, lalu ibu serta ayah mereka sedang menenangkan Harzan. Di dekat ayah dan ibu terdapat Yusuf yang mentertawakan Harzan dengan Jidan yang ada di gendongannya.

Jidan tersenyum sendu.

Rasanya dia ingin menangis karena kenangan itu begitu indah.

Saking indahnya, kenangan itu tidak bisa diulang kembali.

Harzan yang mendengar ucapan Jidan mendengus geli. Dia tentu ingat tentang kenangan yang satu itu. Dia terlalu bersemangat menggali pasir karena ingin mencarikan kepiting untuk Jidan. Tetapi, pasir tersebut malah mengenai matanya dan rasanya sangat perih.

Harzan ingat sang ayah menggendongnya, menepuk-nepuk punggungnya, lalu sang ayah meniupkan mata Harzan yang perih itu sambil tertawa geli.

Harzan juga ingat bahwa hari itu, ayahnya langsung membelikan Harzan es krim supaya Harzan berhenti menangis. Ayahnya juga membelikan es krim untuk Jidan, Yusuf, serta ibu mereka. Saat itu, Harzan kesal pada ayahnya karena seharusnya sang ayah hanya membelikan es krim untuk dia saja. Tetapi, ayahnya tertawa lalu melakukan pinky promise pada Harzan kalau dia akan mengajak Hadi pergi ke taman besok sore, hanya berdua saja.

"Dulu, kita bahagia banget ya, Dan?" ucap Harzan.

"Sekarang pun gue juga bahagia, bang" sahut Jidan sambil menatap lekat kakaknya.

Harzan tertegun mendengar ucapan Jiro. Dia menoleh menatap adiknya yang tersenyum kepadanya.

"Selama ada abang, Kak Yusuf, sama bunda di sisi gue. Gue akan selalu bahagia, bang.."

Harzan menatap lekat adiknya itu.

Perlahan, Harzan tersenyum dengan tatapan kosongnya.

"Abang juga bahagia karena ada kalian di sisi abang..."

Harzan meraih tangan Jidan dan menggenggam tangan adiknya itu dengan erat.

"Ayo, kita selalu bersama, Jidan..."

***

Jauzan memilih keluar dari unit apartemen itu karena tidak tahan dengan rasa sesak yang ia rasakan. Saat ini dia berada di sebuah warung kopi sambil menyesap serta menghembuskan asap rokok yang ia nyalakan beberapa menit sebelumnya.

[FF NCT DREAM] Anak Tangga TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang