Chapter 30

298 41 17
                                    

Jauzan berusaha untuk tidak terlalu memperdulikan tatapan dari Kevin atau pun dari beberapa rekan kerjanya yang terhasut oleh Kevin.

Pemuda itu tidak tahu apa yang sudah Kevin katakan kepada mereka sehingga mereka menjauhi Jauzan secara terang-terangan seperti ini.

Namun, Jauzan akan tetap menahan rasa tidak nyamannya karena dia harus betah bekerja di perusahaan ini meskipun dia harus dijauhi oleh beberapa rekan kerjanya. Jauzan tahu, mencari pekerjaan di era sekarang ini sangat sulit.

Meskipun dia berpengalaman, terkadang usia yang menghambatnya untuk mendapatkan pekerjaan. Yang lebih membuat sulit, ketika uang berbicara.

Jauzan akan selalu kalah dengan orang-orang yang mempunyai privilege seperti itu.

Seperti biasa, Jauzan akan berkeliling pasar untuk meminta tagihan yang sudah jatuh tempo ke pedagang di sana. Dalam suasana hati yang buruk itu, ada-ada saja tingkah pedagang yang membuat Jauzan rasanya ingin melemparkan segepok uang itu ke wajah mereka.

Contohnya saja si pedagang yang masih muda ini. Jauzan tahu kalau pemuda ini adalah anak dari si pemilik toko. Sepertinya si pemilik toko memberikan toko tersebut kepada anaknya untuk dikelola. Pemuda tersebut sengaja menghitung uang dengan sangat lama, dia juga tidak mau Jauzan membantunya menghitung dengan alasan takut Jauzan berbohong padanya.

"Nanti, lo bilang uangnya kurang, padahal udah pas" ucap pemuda tersebut.

Alhasil, Jauzan harus menunggu pemuda itu selesai menghitung uangnya. Tagihan pemuda itu cukup banyak, sekitar 20 juta rupiah karena memesan berkarung-karung tepung ke Jauzan.

Mana uang yang disetorkan tidak semuanya uang seratus dan lima puluh ribu. Ada beberapa dari uang puluhan ribu serta ribuan membuat kegiatan menghitung uang itu menjadi lebih lama.

"Nih, silakan lo hitung lagi" ucap pemuda tersebut menyerahkan beberapa gepok uang ke Jauzan.

"Udah pas ini kan, bang?" ucap Jauzan sambil meraih gepokan uang itu.

"Nggak taaahuu, gue kadang pikun, coba aja lo hitung lagi, siapa tahu ada yang kurang kan?" ucap pemuda itu sambil tersenyum manis ke Jauzan.

Jauzan menatap pemuda itu dengan senyuman profesionalnya.

"Saya percaya sama hitungan abang. Kalau kurang paling saya yang nutupin kurangnya uang abang" ucap Jauzan dengan santainya, dia memasukkan uang tersebut ke dalam tas.

"Atau nggak, saya bilangin aja ke bapaknya abang kalau emang nanti uangnya kurang, biar bapak aja yang-"

"Nggak usah, uangnya udah pas itu. Serius amat sih lo jadi orang!" gerutu si pemuda.

Jauzan menaikkan satu alisnya.

Sepertinya pemuda itu takut dengan bapaknya.

"Oke, bang. Kalau begitu saya pamit ya. Abang beneran nggak ngorder barang ke saya?" ucap Jauzan dan pemuda itu hanya mengibaskan tangannya mengusir Jauzan.

Jauzan pun berjalan keluar dari toko.

"Cih, anak jelek. Udah jelek tengil lagi! Nanti kalau ada bapak lo, gue aduin kelakuan tengil lo itu ke bapak lo" kesal Jauzan yang terus melangkahkan kakinya keluar dari area pasar.

Sepertinya, dia langsung ke kantor saja dan setelahnya dia bisa langsung pulang ke apartemen.

***

Ucapan dari dokter mengenai penyakit sang ibu terus saja terngiang di benaknya. Bahkan, Jidan mengabaikan rasa lapar di perutnya karena dia terus memikirkan ucapan dokter bahwa sang ibu mengidap kanker paru-paru.

[FF NCT DREAM] Anak Tangga TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang