Chapter 28

290 42 7
                                    

"Kakaknya mas sudah berhenti bekerja di pabrik itu sejak tiga bulan yang lalu, mas. Saya benar-benar baru mendapatkan informasi ini dari staff di sana. Saya meminta maaf sebesar-besarnya kepada mas karena telat mendapatkan informasi penting ini."

Harzan melangkahkan kakinya dengan langkah gontai menuju apartemen.

Fisik dan batinnya benar-benar diserang dari berbagai sisi. Harzan sampai tidak tahu lagi harus bagaimana setelah dia mendapat kabar dari kantor tempat Yusuf melamar pekerjaan keluar negeri.

Selama tiga bulan ini, kakak tertuanya tidak ada bekerja di pabrik. Menurut informasi yang diberitahukan ke Harzan. Sang kakak tidak masuk kerja selama seminggu dan membuat si pemilik pabrik kesal. Pemilik pabrik itu memecat Yusuf yang ternyata tidak tahu kalau dia sudah dipecat.

Yusuf sempat datang ke pabrik untuk bekerja seperti biasa, namun, dia langsung diusir oleh si pemilik pabrik dan memberikan gaji terakhir Yusuf hari itu juga. Setelahnya, tidak ada kabar lagi dari Yusuf.

Entah kenapa kantor yang ada di sini tidak tahu kalau Yusuf tidak bekerja lagi di pabrik itu. Namun, yang membuat Harzan bingung adalah, dari mana kakaknya mendapatkan uang selama tiga bulan itu?

Selama tiga bulan sang kakak rutin mengirimkan uang ke rekening Harzan.

"Apa masalah uang lo dibawa lari itu cuma bohongan, kak?" gumam Harzan.

Anak itu benar-benar frustasi sekarang. Rasanya dia ingin menjambak rambutnya ini sekuat tenaga karena rasa sakit tidak tertahankan di kepalanya. Kalau bisa, Harzan cabut saja semua rambutnya supaya dia merasa lega.

Harzan sudah tiba di apartemen, dia pun menaiki tangga menuju lantai dua. Pandangan mata Harzan tertuju ke arah tangga menuju lantai tiga. Di lantai tiga terdapat rooftop yang sudah lama tidak disentuh oleh para penghuni di sini.

"Ck, udah digembok ternyata" ucap Harzan ketika dia melihat pagar yang menutupi tangga menuju lantai tiga sudah dirantai dan digembok oleh pemiliknya.

Mungkin, si pemilik apartemen sudah lelah dengan banyaknya kasus penghuni di sini terjun dari rooftop.

"Padahal gue pengen terjun" gumam Harzan lagi.

Anak itu berjalan menuju unit apartemennya. Dia membuka pintu apartemen, dan mendapati ada sepatu Jidan di dekat pintu.

"Jidan?" panggil Harzan tetapi tidak ada sahutan.

Harzan pun masuk ke dalam dan melihat Jidan duduk di kursi dengan keadaan ruangan tersebut sudah berantakan. Barang-barang berserakan seperti habis dibanting.

"Ya ampun, Jidan. Lo ngapain sampe rumah jadi kayak kapal pecah begini?" ucap Harzan yang mulai memungut gelas dan piring di lantai. Untung saja peralatan makan mereka rata-rata dari plastik.

Tidak ada sahutan dari Jidan membuat Harzan menoleh ke adiknya itu. Harzan baru sadar kalau Jidan terlihat kusut, raut wajahnya begitu masam dengan jejak air mata di kedua pipinya. Harzan dengan cemas mendekati adiknya itu.

"Kenapa, Dan? Siapa yang bikin lo kayak gini?" tanya Harzan sambil menatap lekat kedua mata Jidan yang terlihat kosong dan hampa.

Jidan mengarahkan pandangannya ke Harzan. Kedua matanya sudah tergenang oleh kesedihan yang siap ditumpahkan kapan saja dari kedua matanya itu.

Sebuah rasa sedih yang tidak bisa Jidan ungkapkan dengan kata-kata karena dia terlalu lelah dengan dunia yang selalu mempermainkannya.

"Abang" jawab Jidan dengan menatap lurus Harzan yang mengatupkan bibirnya setelah mendengar jawaban tidak terduga dari Jidan.

"Kenapa abang nggak bilang?" tanya Jidan membuat Harzan semakin terdiam.

Keringat dingin sudah membasahi pelipisnya. Dia benar-benar gugup dan takut saat ini.

[FF NCT DREAM] Anak Tangga TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang