"Bunda..."
Harzan dan Jidan sama-sama menatap sang ibu dengan kedua mata berkaca-kaca. Hari ini, adalah hari di mana mereka mendengarkan jawaban dari sang ibu mengenai kemoterapi yang harus ia lakukan di keesokan harinya. Mereka berharap bahwa sang ibu mau melakukan kemoterapi besok. Tetapi, sang ibu justru menolak.
Ibu mereka memilih menunggu ajal menjemputnya.
Sang ibu tidak sedikit pun menatap ke dua anak bujangnya yang sudah tidak bisa membendung air mata mereka lagi. Sang ibu tidak sanggup melihat kesedihan dan kekecewaan di wajah mereka karena dia memilih untuk membiarkan sel kanker itu menyerang tubuhnya dari pada mengobatinya.
Selama satu malam wanita itu merenung, dia selalu memikirkan bagaimana dirinya terus berada di samping mendiang suaminya yang berjuang melawan sel kanker di dalam tubuhnya. Wanita itu tidak henti berdoa dan meminta kepada Tuhan untuk memberikan keajaiban kepada suaminya. Dia ingin suaminya sembuh dan kembali berada di dalam pelukan mereka. Namun yang terjadi, sang suami tidak sanggup melawan sel kanker itu.
Rasa sakit yang teramat dalam membuat dia begitu putus asa. Dia hanya bisa menangis dan meminta kepada Tuhan untuk mengembalikan suaminya. Tetapi, apa mau dikata, tubuh suaminya yang kaku telah masuk ke dalam liang lahat dan terkubur di dalam tanah. Tidak ada tanda-tanda akan hidup kembali.
Memikirkan hal itu, membuat dia memutuskan untuk tidak mengikuti jenis pengobatan apa pun untuk penyakit yang ia derita. Dia tidak mau melakukan kemoterapi.
Dia hanya tidak mau kedua anak bujangnya ini merasakan apa yang dia rasakan.
"Bunda, nggak ada salahnya bunda kemoterapi. Masih belum terlambat buat berobat, bun" bujuk Jidan, meskipun dia saat ini berusaha keras tidak mengeluarkan isak tangisnya.
Harzan sudah menangis dan tidak tahu lagi bagaimana cara untuk membujuk ibunya. Beberapa kali anak itu berusaha tenang sambil menghapus air matanya yang tidak berhenti mengalir. Rasa sedih di hatinya benar-benar besar sehingga Harzan tidak sanggup membuka mulutnya untuk membujuk sang ibu.
"Kanker itu bukan penyakit sembarangan, Jidan. Tingkat kesembuhannya hanya beberapa persen. Cuma keajaiban yang bisa menghilangkan penyakit itu" ucap sang ibu dengan masih tidak mau menatap kedua anak nya.
"Dan juga, semua manusia pasti akan mati, Jidan. Umur bunda juga udah nggak muda lagi. Lebih baik, bunda menikmati sisa-sisa hari bunda di dunia ini dari pada harus merasakan rasa sakit karena berobat tetapi ujung-ujungnya akan tetap mati."
"Bunda.., jangan ngomong kayak gitu. Itu artinya bunda putus asa. Bunda nggak percaya dengan pertolongan Tuhan? Bunda belum berusaha tetapi bunda memilih menyerah. Padahal, bunda selalu nasehatin Jidan buat selalu berjuang dan nggak boleh menyerah" ucap Jidan lagi, dia masih berusaha keras membujuk bunda mereka.
Harzan menatap adiknya yang begitu tegar dan keras kepala membujuk ibu mereka. Harzan merasa malu karena dia seorang kakak tetapi dia justru menangis seperti ini dari pada mencoba membujuk ibu mereka seperti yang sedang dilakukan oleh Jidan.
"Bunda.., tolong pikirkan lagi keputusan bunda. Kita di sini akan selalu nemenin bunda. Kita akan di sini berjuang bersama bunda sampai bunda sembuh" ucap Harzan dengan suara tersendat karena dia berusaha menahan tangis.
Harzan dan Jidan dengan sabar menantikan jawaban dari ibu mereka yang hanya diam setelah mendengarkan bujukan dari kedua anak bujangnya.
"Keputusan bunda sudah bulat, bunda nggak mau kemoterapi."
***
Malik mengernyitkan alisnya ketika dia melihat sebuah panggilan dari ibunya. Sudah sekian lama Malik tidak berhubungan dengan orang tuanya, sekarang sang ibu justru meneleponnya secara dadakan seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
[FF NCT DREAM] Anak Tangga Terakhir
FanfictionBanyak yang mengatakan apartemen sederhana dan kecil ini dikutuk. Rata-rata yang tinggal di sana adalah orang-orang yang memiliki masalah hidup dan pada akhirnya memilih untuk mengakhiri hidup mereka di unit apartemen mereka. Banyak desas-desus yan...