Malam itu, Lavinia merasa seperti dikelilingi oleh dinding-dinding yang semakin sempit. Manor yang megah kini berubah menjadi penjara, dan Alistair adalah sipirnya. Ketika dia berbaring di tempat tidur, jantungnya berdegup cepat, bukan karena ketakutan fisik semata, tapi karena rasa kehilangan dirinya yang perlahan-lahan menggerogoti jiwa.
Alistair masuk lagi tanpa izin, tanpa memberi peringatan. Kali ini dia tidak berbicara banyak, hanya menatap Lavinia yang berbaring di atas kasur. Tatapannya seperti menelusuri setiap inci tubuhnya, seolah-olah dia mengukur sejauh mana dia bisa mengendalikan Lavinia.
Ketika Lavinia mencoba menutup mata dan berpura-pura tidur, dia bisa merasakan kehadiran Alistair yang masih berdiri di sana, seakan mengawasi dan memastikan bahwa Lavinia tetap di tempatnya.
"Besok kau akan bersamaku sepanjang hari," kata Alistair tiba-tiba, suaranya datar tapi penuh perintah. "Tidak ada alasan untuk menjauh dariku. Aku ingin memastikan kita selalu dekat."
Lavinia tidak merespons, meskipun hatinya berteriak untuk menolak. Keinginannya untuk merdeka semakin mendesak, tapi di hadapan Alistair, dia hanya bisa berdiam diri.
Pagi itu, ketika matahari mulai terbit, Lavinia bangun dengan perasaan berat di dadanya. Dia tahu, hari ini bukan hanya tentang bagaimana menghindari Alistair, tapi bagaimana merencanakan jalan keluar.
Alistair bersikap seperti biasa—ramah di hadapan para pelayan, namun posesif di saat mereka sendirian. Setiap kali Lavinia bergerak sedikit menjauh darinya, dia merasakan tangan Alistair di lengannya, menariknya lebih dekat.
Mereka berjalan di taman manor, dan Alistair tidak membiarkan Lavinia jauh dari sisinya. Dia bahkan mengatur napas Lavinia, seolah-olah setiap langkah yang dia ambil harus disesuaikan dengan keinginannya. Lavinia mulai merasa tidak tahan lagi.
Tekanan yang diberikan oleh Alistair tidak hanya fisik, tapi juga mental. Dia bisa merasakan kebebasannya terenggut sedikit demi sedikit, dan jika dia tidak bertindak, dia akan kehilangan seluruh jiwanya.
Saat matahari mulai tenggelam, Alistair menatap Lavinia dengan tatapan yang lebih lembut, tapi masih ada sesuatu yang tersembunyi di balik senyumnya.
"Jangan pernah mencoba melarikan diri, Lavinia," katanya dengan suara yang lembut namun mengandung ancaman
"Kau tidak akan pernah bisa pergi dari sini. Aku selalu tahu di mana kau berada, apa yang kau lakukan, dan dengan siapa."
Kata-kata Alistair menggema dalam pikiran Lavinia, seperti belenggu tak kasat mata yang semakin erat melilit tubuh dan jiwanya. Di balik senyuman lembut dan sentuhan hangatnya, Lavinia merasakan kegelapan yang dalam. Dia tahu Alistair serius, dan ancamannya bukan sekadar peringatan kosong.
Setelah makan malam, Lavinia kembali ke kamarnya dengan perasaan tertekan. Segala sesuatu di manor ini mulai terasa lebih mengancam, seolah-olah dinding dan lantai ikut mengawasi setiap gerakannya. Saat dia duduk di tepi ranjang, pikirannya melayang jauh. Pesta di istana adalah satu-satunya harapan untuk lepas dari cengkeraman Alistair, namun dengan mata-mata dan kekuasaannya yang menyebar di setiap sudut manor, bagaimana mungkin dia bisa melarikan diri?
Dia membayangkan dirinya berdiri di tengah aula besar istana, di tengah kerumunan yang berkilauan dengan kemewahan. Di sana, mungkin dia bisa menghilang sejenak dari pengawasan Alistair, menghindari tatapan penuh kendali yang selalu membayanginya.
Namun, Lavinia tahu, satu kesalahan kecil saja bisa membahayakan nyawanya.
Tetapi, apakah dia rela hidup terus-menerus dalam ketakutan? Apakah dia akan membiarkan dirinya dipenjara oleh cinta beracun ini? Lavinia tahu dia harus menemukan keberanian untuk bertindak. Waktu terus berjalan, dan dia harus membuat keputusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Duchess's Deception
RomanceSaat Lavinia terbangun, perasaan aneh menyelimuti dirinya. Tubuhnya terasa berbeda, dan lingkungan di sekitarnya terasa asing. Dia membuka matanya dan melihat ruangan dengan perabotan mewah, penuh dengan dekorasi antik. Kepala Lavinia terasa berat...