07. Broken Promises, Broken Soul

395 21 0
                                    

Setelah meninggalkan Lavinia dengan ancaman yang menggantung, Alistair mengajak Sebastian Devereux ke ruang kerja pribadi mereka. Keduanya berjalan melalui lorong manor dengan suasana penuh ketegangan.

Di ruang kerja, Alistair langsung duduk di belakang meja besar, sementara Sebastian berdiri di seberangnya. Ketegangan di antara mereka terasa nyata, dan ketidaksukaan antara keduanya begitu mencolok.

“Sebastian, apa yang membawamu ke sini?” tanya Alistair dengan nada dingin, meskipun dia sudah mengetahui bahwa kedatangan Sebastian pasti berkaitan dengan lebih dari sekadar urusan tanah.

Sebastian memandang Alistair dengan tatapan tajam. "Aku di sini untuk menyelesaikan masalah yang lebih penting dari sekadar tanah. Aku mendengar berita tentang bagaimana kau memperlakukan Lavinia. Dan itu tidak bisa dibiarkan."

Alistair menyeringai sinis, menekankan kekuasaannya. "Lavinia adalah milikku, Sebastian. Apa urusanmu dengan hal ini?"

Sebastian tidak menunjukkan tanda-tanda ketakutan. "Lavinia bukan barang milik siapapun. Dia seorang wanita, dan haknya untuk diperlakukan dengan hormat harus dihormati. Aku tidak akan membiarkanmu memperlakukannya seperti ini."

Alistair mengerutkan alisnya, merasa terganggu. "Dan siapa kau yang menganggap dirimu sebagai pelindung Lavinia? Kau hanya datang di saat-saat yang nyaman bagimu."

“Rasa hormat terhadap wanita dan keadilan bukan hanya masalah timing,” jawab Sebastian, suaranya tegas. “Aku pernah melihat Lavinia sebelum ini dan aku tahu betul siapa dia. Aku tidak akan tinggal diam melihatnya disiksa.”

Di luar ruang kerja, Lavinia masih gemetar di kamar tidurnya. Suara diskusi dari ruang kerja menyusup ke dalam pikirannya, membuatnya merasa sedikit terhibur. Namun, dia tahu bahwa Sebastian, meski datang untuk membantu, bukanlah jawaban lengkap untuk masalahnya.

Ketika Alistair dan Sebastian selesai berbicara, Alistair tampak lebih marah dan frustrasi daripada sebelumnya. Mereka keluar dari ruang kerja dengan ketegangan yang lebih terasa. Alistair kemudian langsung menuju kamar Lavinia, wajahnya suram dan penuh kemarahan.

Di kamar, Lavinia merasakan udara tegang saat Alistair membuka pintu. Alistair menatap Lavinia dengan amarah yang jelas. "Sebastian Devereux tidak tahu apa yang dia bicarakan," katanya dengan nada penuh ancaman. "Dia mungkin bisa mengganggu urusanku untuk sementara, tapi aku tidak akan membiarkan siapa pun menghalangiku."

Lavinia merasa tercekik oleh ketakutan, tetapi dia berusaha mengendalikan dirinya. “Apa yang akan kau lakukan padaku?” tanyanya dengan suara gemetar.

Alistair mendekat, matanya penuh ancaman. “Sekarang aku harus memastikan kau tahu siapa yang memegang kendali di sini. Aku sudah bilang, kau milikku. Malam ini, kau harus benar-benar paham apa artinya itu.”

Alistair mulai mendekati Lavinia dengan niat yang jelas, dan Lavinia merasa terjebak. Tangan Alistair meraih wajahnya, memaksanya untuk melihat ke mata pria itu. Lavinia tahu ini adalah momen yang menentukan, dan ia harus segera mencari cara untuk mengatasi situasi ini.

Saat Alistair semakin mendekat, Lavinia berusaha menenangkan dirinya. Dalam pikirannya, dia menyusun rencana untuk melarikan diri, mencoba memanfaatkan kekacauan yang terjadi malam ini. Dia berharap Sebastian, dengan semua ketegasan dan keberaniannya, mungkin akan menjadi kunci untuk membantunya keluar dari cengkeraman Alistair.

Namun, saat Alistair bergerak semakin mendekat, Lavinia menyadari betapa sulitnya untuk membuat keputusan dalam situasi yang penuh ancaman ini. Yang dia tahu pasti adalah, dia harus bertindak cepat, sebelum malam ini menjadi terlalu gelap untuknya.

...

Pagi itu terasa berat bagi Lavinia. Tubuhnya yang lemah dan penuh rasa sakit tak mampu memberontak lagi. Sinar matahari yang menembus jendela besar kamarnya terasa seperti ironi yang menyakitkan—terang di luar, tapi gelap di dalam hatinya.

The Duchess's DeceptionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang