06

94 9 4
                                    

Taman Belakang Sekolah

Tiany mulai menyapu dedaunan yang berserakan di taman belakang sekolah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tiany mulai menyapu dedaunan yang berserakan di taman belakang sekolah. Dia baru saja mulai, ketika Angkasa datang dengan senyum jahil, membuang sampah tepat di dekatnya.

"Eh, ada sampah," ucap Angkasa dengan nada mengejek.

Tiany meliriknya sekilas, berusaha menahan amarah dan melanjutkan menyapu. Namun, Angkasa tidak berhenti di situ.

"Eh, sampah lagi," katanya sambil membuang sampah lain.

Tiany berusaha tetap tenang, tapi Angkasa terus mengganggu.

"Waduh, sampah lagi! Banyak amat nih sampah."

Sabar Tiany mulai habis. Dia melempar sapu sembarangan, berlari ke arah Angkasa, dan melompat ke punggungnya.

"Woi! Apa-apaan lo, pendek? Turun!" teriak Angkasa panik, sambil mencoba melepaskan Tiany yang memeluk lehernya erat.

"GW BENCI SAMA LO, ASEPP! GW BENCI BANGET! GW BENCI!" teriak Tiany tepat di telinga Angkasa.

"PENDEK! TURUN! SIALAN LO!" Angkasa semakin panik, berusaha menarik tangan Tiany.

Keduanya terus bergulat, saling teriak, hingga tiba-tiba Angkasa kehilangan keseimbangan. Di saat yang sama, pegangan Tiany pada leher Angkasa terlepas. Refleks, Angkasa meraih Tiany dan melindungi kepalanya agar tidak terbentur lantai.

Momen itu terasa cepat, tetapi cukup untuk membuat keduanya terdiam, masih dalam posisi Angkasa melindungi kepala Tiany. Mereka saling bertatapan.

(Terdengar backsound "Siapkah kau tuk jatuh cinta lagi...")

Tiany yang lebih dulu tersadar, buru-buru mendorong Angkasa dan berdiri. Angkasa ikut berdiri, keduanya terselimuti kecanggungan. Tanpa berkata sepatah kata pun, Tiany mengambil sapunya dan pergi meninggalkan Angkasa.

Angkasa hanya berdiri terpaku, menatap punggung Tiany yang menjauh. Ia memegang dadanya, merasakan detak jantung yang tidak normal.

"Apa-apaan ini? Kenapa jantung gue jadi kayak gini?" gumamnya pelan. "Gue harus ke rumah sakit."

Di ruang perijinan...

BRAK!

"Astaghfirullah, Angkasa!" teriak para guru piket, terkejut melihat pintu didobrak dengan kasar.

"Bu, gawat!" seru Angkasa dengan wajah panik.

"Kenapa lagi, Angkasa?" tanya salah satu guru piket dengan nada cemas.

"Ijinkan saya, Bu!" ucap Angkasa tergesa-gesa.

"Ijin? Ijin ke mana?" Guru piket mulai kesal karena Angkasa berbicara setengah-setengah.

"Saya mau ke rumah sakit, Bu," jawab Angkasa cepat.

"Rumah sakit? Siapa yang sakit?" tanya guru itu lagi, matanya membesar.

"Saya, Bu. Saya yang sakit. Jantung saya, Bu," kata Angkasa sambil memegang dadanya.

"Jantung? Astaga, Angkasa! Kamu baik-baik aja? Perlu saya antar ke rumah sakit?" tanya guru piket, mulai panik.

"Nggak usah, Bu. Saya udah pesan taksi. Tolong ijinin saya cepet!" Angkasa memohon dengan wajah gelisah.

"Iya, iya. Ini suratnya. Hati-hati, ya," ucap guru itu, memberikan surat izin.

"Terima kasih, Bu. Assalamualaikum," ujar Angkasa cepat sebelum berlari menuju gerbang.

Sambil berlari, Angkasa menelepon salah satu temannya.

"Halo?"

"Halo, Vin. Ijinin gue, gue nggak bisa ikut pelajaran," kata Angkasa tanpa basa-basi.

"Hah? Kenapa lo, Sa?" suara temannya terdengar bingung.

"Gue harus ke rumah sakit."

"Rumah sakit? Siapa yang sakit, Sa? Jangan bercanda!"

"Gue, Vin! Gue yang sakit. Ini gue udah di taksi, mau ke rumah sakit."

"Lah, lo sakit apa? Bego amat."

"Jantung."

Setelah berkata demikian, Angkasa langsung memutus sambungan telepon dan menyentuh dadanya lagi.

"Ada apa dengan jantung gue?" gumamnya. Saat menutup mata, wajah Tiany tiba-tiba muncul dalam pikirannya.

"Hah? Kenapa muka dia muncul?" Angkasa membuka matanya cepat. "Akhhh, gue kenapa sih?" gerutunya frustasi.

Supir taksi melirik ke arah kaca spion. "Mas, masnya nggak apa-apa?"

Angkasa menggeleng pelan. "Nggak apa-apa, Pak. Bisa lebih cepat sedikit?"

"Bisa, Mas," jawab sang supir, menambah kecepatan.

~~~

Di tempat lain...

Davin yang baru saja menerima telepon dari Angkasa tiba-tiba panik. Suara Angkasa terdengar begitu serius, dan kabar bahwa temannya akan pergi ke rumah sakit membuatnya cemas.

"Jantung? Seriusan dia?" gumam Davin dengan cemas, sambil melirik sekeliling toilet tempat dia berada.

Tanpa berpikir panjang, Davin segera keluar dari bilik toilet sambil merogoh ponselnya. Dia tahu dia harus segera memberi tahu teman-teman lain dan-yang lebih penting-abangnya Angkasa.

"Halo, Bang esa? Ini Davin," katanya dengan suara terburu-buru setelah panggilan tersambung.

"Eh, Davin? Ada apa?" tanya mahesa, suaranya terdengar tenang di awal.

"Bang, ini gawat! Si Angkasa bilang jantungnya sakit. Dia udah ke rumah sakit sekarang!"

"Apa? Jantung?" Suara mahesa berubah tegang. "Dia serius?"

"Iya, Bang! Barusan dia nelpon gue, suaranya panik banget. Ini beneran. Gue udah coba tenangin dia, tapi dia langsung nutup teleponnya!"

Mahesa terdiam sejenak, lalu terdengar suara benda jatuh. "Oke, gue bakal ke rumah sakit sekarang. Lo kasih tahu teman-teman yang lain, Dav. Gue mau siap-siap dulu."

Tanpa membuang waktu, Davin mulai menghubungi teman yang lain.

"Halo, gas. Lo udah dengar belum? Si Angkasa ke rumah sakit! Katanya masalah jantung..."

"Angkasa? Jantung? Serius lo?" Bagas terkejut.

"Iya, gue nggak bercanda"

"Lo dimana sekarang?" Tanya Bagas panik

"Di parkiran"

"Tunggu gw" ucap Bagas dan langsung mengakhiri telfonnya

Di dalam hatinya, Davin berharap kondisi Angkasa tidak separah yang dia bayangkan.







--- SE - HATI ---

Se-Hati [ End ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang