42

52 4 0
                                    

Angkasa kini berjalan sendirian dalam gelap malam, tujuannya adalah rumahnya yang dulu. Sejak ia diangkat menjadi bagian dari keluarga Dhananjaya, ia meminta agar rumah itu tidak dijual. Ia selalu datang untuk membersihkan rumah itu, dan kini, ia kembali.

Malam begitu dingin, tetapi tak membuat Angkasa merasa kedinginan. Pikirannya berkecamuk; ia khawatir dengan mamanya, namun di sisi lain, ia juga tidak bisa kembali.

"Tuhan," bisiknya penuh harap, "apa aku memang tidak pantas untuk bahagia?"

Hatinya bergetar saat ia melanjutkan, "Tidak pantaskah aku untuk dicintai, Tuhan?"

Tangan Angkasa terangkat, menutupi wajahnya. "Ayah, Ibu, Angkasa capek. Angkasa mau ikut Ayah dan Ibu."

Tangisnya pecah, "Hiks, hiks… Angkasa hanya ingin bahagia."

Ia berhenti sejenak, menatap langit malam yang gelap. "Angkasa ingin mempunyai keluarga yang utuh, harmonis, dan sayang kepada Angkasa."

"Angkasa ingin menjadi Mahesa yang disayang banyak orang"

"Angkasa iri dengan mereka yang punya keluarga dan identitas, sedangkan angkasa tidak tuhan"

Seketika, kesedihan kembali menyergapnya. "Hiks, kenapa Tuhan, kenapa… hiks."

Dengan berat hati, ia melanjutkan langkahnya, berusaha menepis rasa sakit di hatinya.

Di tengah perjalanan, segerombolan preman yang sedang mabuk menghadangnya. Angkasa berusaha untuk tidak memperdulikannya dan melanjutkan langkah.

"Bagi duit!" ucap salah satu preman, menatap Angkasa dengan tatapan mengancam.

Angkasa hanya menatap mereka dan menjawab singkat, "Gak ada." Ia melanjutkan jalannya dengan tenang, berharap preman-preman itu akan menyerah.

Namun, preman yang melihat ketidakpedulian Angkasa langsung melayangkan botol ke kepala Angkasa.

"Hah!" teriaknya, menyentuh kepalanya yang terasa sakit. Pandangannya kabur, tetapi ia berusaha untuk tetap berdiri. Dalam sekejap, emosinya meledak. Tanpa ragu, ia langsung memukuli preman itu, satu demi satu.

Dua preman terjatuh, diikuti oleh yang ketiga. "Kau akan bayar untuk ini!" teriak salah satu preman, marah.

Namun, tak lama kemudian, Angkasa menyadari bahwa ia tidak sendirian. Dari belakang, gerombolan preman lainnya datang, berjumlah delapan orang. Sekuat apapun Angkasa, ia tetap kalah jumlah.

Mereka segera memukuli Angkasa dari kepala hingga kaki secara membabi buta.

"Uhuk! Uhuk!" Angkasa batuk, merasakan darah mengalir dari mulutnya.

Mereka tak berhenti di situ. Dengan paksa, mereka membawa Angkasa ke tengah jalan. Ia pasrah dengan semua yang akan terjadi.

Angkasa melihat truk besar melaju ke arahnya.

"Ya Tuhan," batinnya penuh harapan, "ijinkan aku untuk bertemu orang-orang yang aku cintai untuk terakhir kalinya."

Ia memejamkan matanya, merasakan dingin malam menyelimuti tubuhnya.

BRUK!

Angkasa terpental jauh, tubuhnya terlempar ke sisi jalan, dan kegelapan menyelimutinya.

***

Tiany duduk di balkon kamarnya, matanya tertuju pada jalan yang membentang di depan rumah. Seperti biasa, ia menunggu Angkasa. Namun, sudah satu jam berlalu, dan Angkasa belum juga muncul. Setiap detik terasa menyiksa, dan keraguan mulai merayapi pikirannya. Ia sudah menghubungi Angkasa berkali-kali, tetapi tak ada satu pun balasan yang masuk.

"Ck, dia ke mana sih?" gumamnya, frustasi.

Saat Tiany masih menunggu kabar, pintu kamarnya terbuka dengan tergesa-gesa. Arumi, adiknya, masuk sambil berlari.

"Kakak!" teriaknya.

"Rumi, nggak usah teriak-teriak," jawab Tiany dengan nada kesal, tetapi segera terkejut melihat ekspresi panik di wajah Arumi.

"KAKAK KAKAK, HIKS!" Tangis Rumi pecah, langsung memeluk Tiany dengan erat.

"Ada apa, Rumi?" tanya Tiany, merasa khawatir.

"Bang Asa, Kak. Bang Asa kecelakaan!" Rumi berkata dengan suara yang bergetar.

Prang!

Handphone Tiany terjatuh dari tangannya.

"Kamu bicara apa, Rumi? Jangan bercanda!" suaranya bergetar, tak percaya dengan apa yang didengar.

"Baru saja Bang Asa memberitahu Papa kalau Bang Asa kecelakaan. Sekarang mereka lagi menuju ke rumah sakit," jelas Rumi, air matanya semakin mengalir.

"Ngga, ngga mungkin," gumam Tiany, hatinya berdebar-debar, seakan tak mampu menerima kenyataan yang menyakitkan itu.

"Kakak!" Rumi berusaha menenangkan, tetapi Tiany sudah tidak bisa mendengar apa-apa lagi.

Seketika, Tiany berlari keluar, hatinya dipenuhi oleh rasa cemas dan ketakutan. "Angkasa!" teriaknya, berharap bisa menemukan Angkasa sebelum semuanya terlambat.


--- SE - HATI ---

Se-Hati [ End ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang