19

63 6 0
                                    

Keesokan harinya

Tiany dan ketiga temannya tengah duduk santai di kantin, menikmati makan siang mereka. Obrolan mengalir dengan ringan.

"Eh, guys, kalian tau nggak kalau ada kafe baru deket sekolah?" tanya Karisa dengan antusias.

"Yang di pertigaan itu, kan?" balas Cesi, matanya berbinar.

"Iya, yang itu!" Karisa mengangguk penuh semangat.

"Oh, tau, tau. Gue pernah lewat," sambung Tania, ikut nimbrung.

Tiany mengerutkan kening. "Kafe yang mana?"

"Itu loh, Ti, yang di pertigaan, sebelah kiri," jelas Karisa sambil menunjuk ke arah bayangan di luar jendela, seolah membayangkan posisi kafe tersebut.

Tiany mengangguk pelan. "Oh, iya, gue tau sekarang."

"Kita kesana yuk, guys!" ajak Cesi tiba-tiba.

"Yah, sorry, gue nggak bisa. Hari ini gue udah mulai latihan," jawab Tiany sambil menyesap minumannya.

"Oh, ya? Semangat, Tiaaaa!" Tania menyemangati, tersenyum manis.

"Spill dong, lagunya apa?" pinta Karisa dengan nada memelas.

Tiany tersenyum tipis. "Enak aja, nanti nggak surprise dong."

"Yaelah, pelit amat," keluh Karisa sambil mengerucutkan bibir.

"Bodo," balas Tiany santai.

Mereka tertawa kecil, tapi tawa itu terhenti saat dua sosok laki-laki yang sangat mereka kenal datang menghampiri-Mahesa dan Nando. Seperti biasa, keduanya membawa suasana berbeda.

"Hai, sayang," sapa Nando dengan lembut pada Tania, mengusap kepala pacarnya dengan sayang.

"Loh, kok udah selesai? Bukannya hari ini ada seminar?" Tania bertanya heran.

"Iya lah, ngapain lama-lama, keburu kangen," balas Nando dengan cengiran lebar.

Tania tersipu malu. "Apaan sih, malu banyak orang."

Karisa mendengus, berpura-pura merasa kepanasan. "Ekhem, panas banget ya, jadi pengen pindah ke Venus."

Mereka semua tertawa lagi, lalu Karisa menoleh ke Tiany. "Lu gimana, Ti? Ikut nggak?"

"Enggak. Lu aja yang ke Venus, gue nyaman di Bumi," jawab Tiany cuek.

"Ih, lu mah nggak support banget orangnya."

"Hahahaha," mereka tertawa serempak.

Saat suasana kembali normal, Mahesa memanggil Tiany dengan suara pelan, "Tiany."

"Iya, Bang?" Tiany menoleh, heran melihat Mahesa tampak sedikit gugup.

"Emm... nanti pulang sekolah sibuk nggak? Ada kafe baru, kesana yuk?"

Tiany tersenyum, tapi segera menggeleng. "Yah, sorry, Bang. Hari ini gue mulai latihan buat lomba."

"Wah, serius? Jadi juga lomba itu? Gila, gue dukung lo 100%!" seru Nando dengan semangat.

Tiany terkekeh. "Hahaha, thanks, Bang."

"Yoi, Ti," balas Nando sambil menyikut Mahesa yang tampak agak terdiam.

"Oh gitu..." Mahesa terdiam sejenak, lalu melanjutkan. "Sampe jam berapa latihannya?"

"Sekitar jam 5 sore, Bang."

"Pulang sama siapa?"

Tiany merasa sedikit terganggu dengan pertanyaan bertubi-tubi itu, namun tetap menjawab dengan sopan menghargai mahesa.

Teman-temannya pun mulai merasa aneh dengan sikap Mahesa yang lebih banyak bertanya dari biasanya, kecuali Nando, yang sudah tahu persis bahwa Mahesa memang menyimpan rasa untuk Tiany.

"Sendiri, Bang. Gue kan bawa motor," jawab Tiany sambil tersenyum tipis.

"Mau Abang temenin?"

"Ah, nggak usah, Bang. Lagian gue nggak latihan sendirian, ada Angkasa dan anak-anak band yang lain," jelas Tiany, menyebut nama Angkasa.

Mendengar nama Angkasa disebut, raut wajah Mahesa berubah. Senyum kecut tersungging di bibirnya, sementara tangannya terkepal erat di bawah meja.

"Oh... gitu," gumam Mahesa, nadanya sedikit berubah.

Tiany mengangguk sopan, lalu tersenyum sebagai balasan terakhirnya.

"Eh, abang-abang nggak pesan makan?" tanya Cesi, mencoba memecah ketegangan yang terasa di antara mereka.

"Udah, tinggal nunggu aja," jawab Nando sambil melirik ke arah meja kasir.

Tiba-tiba Tiany berdiri dari tempat duduknya. "Guys, gue udah selesai. Gue ke kelas duluan ya."

"Kok buru-buru sih, Ti?" Mahesa cepat-cepat bertanya, tampak sedikit cemas.

Tiany tersenyum tipis. "Gue ada urusan, Bang. Jadi gue pamit duluan, ya."

Sebelum Mahesa bisa berkata apa-apa lagi, Tiany beranjak pergi.

"Eh, Tiany, tunggu! Gue ikut!" Karisa bergegas berdiri.

"Gue juga! Tunggu, woi!" seru Cesi, ikut menyusul.

"Lah, gue ditinggal? Yaudah, gue ikut juga, deh. Sayang, aku ke kelas dulu ya," pamit Tania pada Nando.

"Iya, hati-hati," jawab Nando sambil mengusap kepala Tania lagi.

Dalam perjalanan menuju kelas, Karisa memecah keheningan. "Ti, lu nggak ngerasa aneh nggak sih sama Bang Esa tadi?"

"Jujur, gue risih. Dia nanya terus, kayak wartawan," Cesi menambahkan, menatap Tiany dengan heran.

Tiany mendesah. "Lu aja yang dengerin risih, apalagi gue yang ditanya. Berasa kayak maling yang lagi diinterogasi."

Tania tiba-tiba menyela, "Kayaknya Bang Esa suka deh sama lo, Ti."

Sontak, semua mata tertuju pada Tania. Karisa, Cesi, dan Tiany sama-sama terdiam, memproses ucapan Tania.

"Apa?" Tania menatap mereka bingung. "Kenapa sih?"

Tiany menggeleng, berusaha menepis. "Nggak usah nyebar hoax, Tan."

"Hoax apaan? Liat aja tingkahnya. Mana ada orang yang nggak punya perasaan, tapi bertingkah kayak gitu," bantah Tania, yakin dengan pengamatannya.

"Bener juga sih," Cesi ikut mengangguk.

Karisa mendongak, tertawa kecil. "Kalau Bang Esa suka sama Tiany, terus Angkasa gimana?"

"Ngapain lo bawa-bawa Angkasa?" Tiany melirik Karisa dengan tatapan tajam.

"Hehehehe, apakah akan ada drama cinta segitigong?" goda Karisa sambil tertawa.

"Cinta-cinta, makan tuh cinta!" Tiany berbalik meninggalkan mereka bertiga, sambil mengibaskan tangan.

"TIA, TUNGGU!" teriak Karisa.

"BERISIK!" jawab Tiany tanpa menoleh.





--- SE - HATI ---

Se-Hati [ End ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang