41

50 4 0
                                    

Plak!

Tamparan keras menghantam wajah Angkasa saat ia melangkah masuk ke dalam rumah. Suara marah sang papa menggema di seluruh ruangan.

"PEMBANGKANGAN! TIDAK TAU MALU!" teriak sang papa, suaranya penuh amarah. "Sudah saya katakan, jangan dekati Tiany lagi! Namun, bukannya menjauh, kamu malah semakin dekat dengan dia, anak sialan!"

Angkasa hanya diam, menahan semua perasaan yang ingin ia ungkapkan.

"Angkasa!" teriak sang mama, suaranya penuh kepanikan. Ia langsung menangkap pipi Angkasa dengan lembut namun terlihat khawatir.

"Jangan!" Angkasa mengelak, menatap tajam sang papa yang dengan kasar menarik tangan mama menjauh.

"Sudah saya katakan, jika kamu berani mendekati Tiany, maka silakan kamu keluar dari rumah ini!" ucapan papa membuat mama terkejut.

"Ngga!" teriak mama, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengar.

"Ngga boleh, Mas! Apa-apaan sih, ngga boleh Angkasa!" Mama mendekati Angkasa, berusaha untuk menenangkannya.

"Kalau kamu ingin bersama Angkasa, maka silakan kamu ikut dia angkat kaki dari rumah ini," sang papa menegaskan, suara dingin dan tegas.

"Tidak!" Angkasa menolak keras. Ia menatap teduh sang mama, mengelus pipi mamanya dengan lembut.

"Angkasa akan pergi," katanya pelan, dan semua terkejut, termasuk Mahesa yang berada di sudut ruangan.

"Ngga, ngga, ngga boleh!" Mama histeris, air matanya mulai mengalir.

"Papa, mama mohon beri Angkasa kesempatan lagi. Mama yang akan menjamin Angkasa tidak akan bertemu lagi dengan Tiany, mama mohon, pa!"

Angkasa melihat mama memohon, hatinya terasa hancur. "Mama, cukup," katanya, menahan tangis yang sudah hampir pecah.

Mama menggeleng, memeluk erat sang putra seolah tak ingin melepaskannya. "Saya akan pergi, tapi saya mohon, tolong jaga mama saya," ujarnya dengan penuh harap.

Angkasa melepaskan pelukan sang ibu dan menatapnya dengan penuh kasih sayang. Kemudian, ia beralih kepada sang kepala keluarga.

"Papa," panggilnya pelan, suara bergetar.

"Maaf dan terima kasih," Angkasa tersenyum getir, air mata mulai menggenang di matanya. "Terima kasih, pa, terima kasih sudah menerima Angkasa, sudah memberikan identitas kepada Angkasa, dan terima kasih sudah memberikan Angkasa kesempatan mendapatkan kasih sayang."

Papa diam, mendengarkan semua ucapan Angkasa dengan ekspresi yang sulit dibaca.

"Maaf, pa. Maaf jika Angkasa selalu membuat papa kecewa. Maaf Angkasa selalu menjadi beban kalian," ucapnya, suara pelan namun penuh penyesalan. Mama menggeleng dengan keras, tangisnya semakin menjadi.

Angkasa mulai mengumpulkan semua barang-barangnya dan memberikannya kepada sang papa. "Angkasa tidak pantas mendapatkan itu semua. Yang kalian berikan kepada Angkasa sudah cukup. Angkasa anak tanpa identitas dan keluarga. Kalian sudah memberikan itu semua."

"Pa, Angkasa tahu papa sangat membenci Angkasa. Angkasa tahu papa sama sekali tidak menginginkan Angkasa ada. Tapi bagi Angkasa, papa tetaplah seorang ayah yang hebat. Angkasa tidak pernah mendapatkan kasih sayang papa, tapi Angkasa sangat menyayangi dan menghormati papa selayaknya seorang ayah."

Papa masih diam

"Maaf dan terima kasih, pa. Angkasa pergi sebelum Angkasa bisa membalas semua kebaikan kalian. Tapi Angkasa berharap kepergian Angkasa akan membawa kebahagiaan bagi kalian."

Kini, Angkasa beralih kepada sang ibu. "Ma," panggilnya lembut.

Mama langsung memeluk Angkasa dengan erat, tangisnya semakin tidak terelakkan. "Jangan pergi, nak!"

Angkasa tersenyum, meskipun hatinya penuh duka. "Ma, terima kasih. Terima kasih atas segala yang mama kasih ke Angkasa. Maaf Angkasa belum bisa membalas semua kebaikan mama." Mama menggeleng, air matanya mengalir deras.

"Janji sama Angkasa, mama harus sehat. Mama tidak boleh capek-capek, minum obat dengan teratur, okey?"

Angkasa menatap Mahesa yang berdiri di belakang sang papa

"Angkasa pamit."

"Ngga! Angkasa ngga!" Mama histeris, tidak ingin kehilangan putranya.

"ANGKASAA!"

"Angkasa!"

Dengan satu langkah terakhir, Angkasa berbalik dan menutup pintu di belakangnya, meninggalkan semua kenangan yang indah dan pahit dalam satu detakan jantungnya.

"Ma!" Mahesa memanggil, berharap mendapat perhatian ibunya.

Mama menepis tangan Mahesa, matanya berkaca-kaca penuh emosi. "Apa yang sudah Angkasa lakukan sampai kalian membenci dirinya begitu?!!" teriak mama, suaranya penuh kepedihan.

"Apa yang telah Angkasa lakukan kepadamu, Mas? Apa kamu tahu?" Ia beralih ke suaminya. "Dari dulu, dia selalu berusaha mendapatkan perhatianmu! Dia belajar musik karena dia tahu kamu sangat menyukainya. Namun, apa yang dia dapat? Sikap dinginmu!"

Papa masih terdiam

Mama menatap Mahesa, suaranya meningkat. "Dan kamu? Apa yang tidak Angkasa lakukan untukmu, Mahesa?!? Berulang kali dia mempertaruhkan nyawanya demi kamu!"

Ucapan sang istri berhasil membuat papa menolehkan kepalanya, wajahnya menunjukkan kebingungan. "Apa maksudmu, Widi?" tanyanya, mencoba memahami situasi yang rumit ini.

"Benar," mama melanjutkan. "Angkasa berulang kali mempertaruhkan nyawanya untuk Mahesa. Dia melindungi Mahesa yang akan tertabrak, dia melindungi Mahesa dari kebakaran, bahkan dari hukumanmu, Mas!"

Kata-kata mama mengguncang pikiran papa.

"Jangan kamu pikir aku tidak tahu, kalau kamu dulu mengurung Angkasa tanpa memberinya makan dan minum. BI Sum telah bercerita semua. Kamu jahat, Mas! Apa kamu tahu? Yang menyebabkan kebakaran itu Mahesa, bukan Angkasa!"

Pernyataan mama membuat papa terkejut, tatapannya kini beralih pada Mahesa yang menundukkan kepalanya, tidak berani menatap ayahnya.

"Apa? Mahesa?" tanyanya, bergetar.

"IYA, PUTRA KESAYANGANMU!"

"Selama ini aku ditahan oleh Angkasa. Ia membuatku berjanji tidak menceritakannya padamu, demi Mahesa. Asal kamu tahu, Angkasa begitu menyayangi kalian. Ia tidak mau hubungan kalian retak!"

Ucapan mama membuat papa tertegun, seolah dunia di sekelilingnya runtuh. Ia kehilangan keseimbangannya, dan untuk sesaat, semua yang ada di sekitarnya terasa kabur.

"Papa!" Mahesa berusaha meraih perhatian ayahnya.

Plak!

Tamparan keras dari papa mendarat di pipi Mahesa, suara kerasnya memecah kesunyian yang tegang.

"Keterlaluan! Papa kecewa sama kamu, Mahesa! Papa selalu menuruti keinginanmu, papa memercayai perkataanmu. Tapi kamu? Kamu mengkhianati kepercayaan papa!"

Sang mama masih menangis, matanya tidak bisa menahan air mata, melihat keretakan dalam keluarga yang seharusnya harmonis. Papa menyesali perbuatannya, merasa bersalah dan bingung, kini ia tak tahu ke mana putra bungsunya pergi.

Mahesa diam, hatinya terasa perih. Melihat tangis mama dan penyesalan papa membuat hatinya teriris. “Semua ini salahku,” pikirnya dalam keheningan, menyesali semua pilihan yang telah ia buat.

Kedamaian yang dulu pernah ada di rumah itu kini tergantikan dengan ketegangan dan kesedihan yang dalam, membayangi setiap sudut ruangan. Mahesa merasa terjebak dalam badai emosinya sendiri, di antara cinta dan tanggung jawab, tanpa tahu harus melangkah ke mana selanjutnya.


--- SE - HATI ---

Se-Hati [ End ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang