28

51 4 0
                                    

Di lain tempat, di balik jendela kamar yang terbuka, Angkasa duduk termenung di depan meja belajarnya. Pikiran-pikiran tentang kejadian hari ini terus mengganggunya. Tiba-tiba, sebuah alunan gitar terdengar lembut, mengalir begitu indah dari luar kamar. Angkasa tahu pasti siapa yang memainkannya. Itu petikan gitar Tiany.

Tanpa ragu, ia berdiri dan melangkah keluar ke balkon kamarnya. Dari sana, ia bisa melihat Tiany yang duduk di balkon sebelah, dengan gitar di pangkuannya, jari-jarinya terus memainkan melodi yang seolah membawa seluruh kesedihannya.

Setelah melihat Tiany, Angkasa kembali masuk sebentar ke dalam kamarnya, mengambil sesuatu dari atas meja belajar, lalu berjalan menuju balkon tempat Tiany berada. Langkah kakinya terdengar di lantai, tapi Tiany hanya meliriknya sekilas tanpa menghentikan petikannya.

"Nih," kata Angkasa sambil menyerahkan sebatang cokelat yang dibawanya.

Tiany melirik sekilas, lalu mengabaikannya dan kembali fokus pada gitarnya.

Angkasa menghela napas pelan. Ia tahu Tiany sedang tidak ingin bicara, tapi ia tidak menyerah begitu saja. Ia duduk di sebelah Tiany, menatap langit malam yang gelap.

"Sorry," ucap Angkasa tiba-tiba.

Tiany menghentikan petikan gitarnya. Ia menoleh ke arah Angkasa dengan ekspresi bingung. "Untuk apa?"

Angkasa tersenyum tipis, sedikit malu. "Nih, cokelat. Katanya, kalau lagi kesel terus makan yang manis-manis, mood-nya bisa balik lagi."

Tiany memutar bola matanya, jelas merasa malas. "Pergi, Sa. Gue nggak mau diganggu," katanya dengan nada dingin.

Angkasa tidak mundur. "Gue akan pergi… setelah lo tersenyum," jawabnya dengan nada lembut.

Tiany mendesah kesal. "Ck, gue bilang pergi, Sa."

"Tia—" Angkasa masih mencoba bicara.

"Pergi!" potong Tiany, suaranya mulai naik.

Angkasa menghela napas lagi, kali ini lebih dalam. "Tia, gue tau lo kecewa sama bokap lo, tapi dengan lo bertingkah kayak gini, masalah nggak akan selesai, Ti."

"Lo nggak usah ikut campur," jawab Tiany tajam.

"Gue harus ikut campur," tegas Angkasa.

Tiany menatap Angkasa tajam. "Kenapa?"

Angkasa terdiam sesaat, tak siap dengan pertanyaan itu. "Kenapa, Sa?" desak Tiany lagi, kali ini suaranya mulai bergetar. "KENAPA BUKAN LO?" Ucapannya mulai melemah, air mata sudah terlihat menggenang di matanya.

Angkasa tersenyum pahit. "Karena gue nggak pantas buat dapat itu semua, Ti."

Tiany mengernyit, bingung. "Maksud lo apa?"

"Enggak... bukan apa-apa," Angkasa mengalihkan pandangannya. "Tia, nggak ada orang tua yang ingin menghancurkan hidup anaknya."

Tiany tersenyum sinis. "Ada, orang tua gue."

Angkasa menggeleng pelan. "Tiaaa..."

Tiany tetap menatapnya dengan pandangan kecewa.

"Dengerin gue," lanjut Angkasa. "Kalau lo terus-terusan kayak gini, masalah nggak akan selesai, Ti. Lo bisa bicara baik-baik sama mereka."

"Bokap gue—"

"Stop menyalahkan bokap lo, Ti. Lo juga harus bisa tenang," potong Angkasa tegas.

Tiany terdiam, untuk pertama kalinya malam itu, ia terlihat mendengarkan dengan sungguh-sungguh.

"Kalau orang tua lo benar-benar berniat menghancurkan hidup lo, buat apa mereka biayain lo sekolah sampai sekarang? Buat apa mereka urus lo sampai sejauh ini?" ujar Angkasa, nadanya lembut tapi tegas.

Tiany terdiam lama, menatap ke bawah, memikirkan kata-kata Angkasa.

"Saa…" panggilnya pelan.

"Hmm?" sahut Angkasa sambil menatap Tiany dengan penuh perhatian.

Tiany menoleh padanya, ragu-ragu. "Gue boleh peluk?"

Angkasa terdiam sejenak, terkejut dengan permintaan itu. "A-a-apa? Peluk?"

Tiany mengalihkan pandangannya dengan canggung. "Nggak boleh ya? Yaudah, sorry—"

"Sini." Angkasa merentangkan kedua tangannya, menyambut Tiany.

Tiany tersenyum kecil, lalu tanpa ragu masuk ke dalam pelukan Angkasa. "Makasih, Sa," ucapnya pelan, merasakan kehangatan yang jarang ia rasakan.

Angkasa tersenyum di atas kepala Tiany, hatinya perih tapi ia tetap berusaha menyemangati temannya. "Maaf, Ti, karena gue lo harus hadapi ini semua. Maaf…" batin Angkasa dalam hati.

Setelah beberapa saat dalam pelukan, Angkasa melepaskan pelukannya dengan lembut dan mengeluarkan cokelat dari saku jaketnya. "Udah deh, makan cokelatnya, biar nggak cemberut terus tuh mukanya."

Tiany tertawa kecil sambil memukul lengan Angkasa pelan. "Ish, lo tuh ya…"

Mereka pun duduk berdampingan, menghabiskan waktu berdua, di bawah langit malam yang hening, menikmati momen-momen kecil yang menenangkan hati Tiany.

"By the way, lo nggak mau sama abang gue kenapa?" tanya Angkasa tiba-tiba, memecah keheningan.

Tiany melirik sekilas sambil memainkan senar gitarnya. "Gue nggak suka."

Angkasa tersenyum kecil, mencoba menggoda. "Terus, lo sukanya sama siapa?"

Tiany berhenti sejenak, lalu menatap Angkasa. "Lo."

"Uhukk!" Angkasa tersedak air liurnya sendiri, kaget mendengar jawaban Tiany yang tak terduga.

Tiany tersenyum miring, merasa menang. "Lo nggak usah kepo," katanya sambil tertawa kecil, melanjutkan petikan gitarnya.

Angkasa yang masih terkejut, mencoba mengendalikan dirinya. "Kalau gue yang dijodohin sama lo, apa lo bakal memberontak kayak gini juga, Ti?"

"Hm... tentu," jawab Tiany santai. "Karena ini bukan soal perjodohan, Sa. Masih ada cita-cita gue yang pengen gue capai. Gue pengen jadi musisi, Sa. Gue mau punya konser sendiri, gue mau karya gue dikenal di mana-mana. Kalau gue menikah, gimana gue bisa mencapai itu semua?"

Angkasa terdiam, mendengarkan dengan seksama.

"Gue tahu, mungkin Bang esa bakal mendukung cita-cita gue," lanjut Tiany. "Tapi gimana pun juga, gue punya tanggung jawab. Gue belum siap kalau harus membawa tanggung jawab pernikahan dan cita-cita gue sekaligus."

Angkasa menatap Tiany dengan penuh pemahaman. Dia tahu betapa pentingnya impian itu bagi sahabatnya. Dengan lembut, ia mengusap kepala Tiany. "Cita-cita lo pasti tercapai, Ti."

Tiany tersenyum, merasa didukung sepenuhnya oleh Angkasa. "Thanks, Sa," bisiknya pelan, kembali larut dalam melodi gitarnya.

Tanpa mereka sadari, sejak awal percakapan mereka diamati oleh seseorang yang berdiri di balik balkon kamar Angkasa. Sosok itu mengintip dari balik tirai, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Tiany dan Angkasa. Mata sosok tersebut tajam, memperhatikan interaksi hangat antara dua sahabat yang tampaknya semakin akrab.

Bayangan tubuhnya samar-samar terlihat, namun tidak ada tanda-tanda keberadaannya disadari oleh Tiany maupun Angkasa, yang sibuk larut dalam obrolan dan canda. Si pengamat itu menarik napas dalam-dalam, seolah menyimpan sesuatu dalam pikirannya, sebelum perlahan-lahan mundur ke dalam kamar, menghilang tanpa jejak.


--- SE - HATI ---

Se-Hati [ End ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang