34

49 6 0
                                    

Angkasa berdiri di rooftop sekolah, terbenam dalam kesunyian yang mengelilinginya. Langit mulai gelap, dan bintang-bintang yang biasanya cerah tampak samar. Ia meninggalkan perayaan kemenangannya bersama Tiany, merasakan kesedihan yang mendalam. Di dalam hatinya, ada rasa bingung yang bercampur aduk—antara kegembiraan akan prestasi mereka dan kepedihan yang tak kunjung usai.

"Angkasa," suara lembut yang amat dikenalnya memecah lamunan.

“Ngapain lo di sini?” jawab Angkasa dengan nada dingin, berusaha menutupi ketidakpastian yang melanda hatinya.

“Selamat,” ucap Tiany, mengulurkan tangannya dengan harapan yang bersinar di matanya. Senyum tipis menghiasi wajahnya, tetapi di balik itu, ada keraguan.

Angkasa hanya diam, menatap tangan itu tanpa berbuat apa-apa. Ketidakpastian menyelimutinya, membuatnya merasa terjebak. Tanpa respon, Tiany menarik kembali tangannya, merasakan kehampaan yang menggigit di antara mereka.

“Sa… Kenapa sa?” Tiany bertanya lembut, suaranya penuh ketulusan.

“Lo ga capek?” Angkasa membalas dengan nada tajam, seolah berusaha mempertahankan jarak. “Lo ga capek terus-terusan bertanya kenapa?”

“Ngga, ga akan pernah,” jawab Tiany tegas, tekadnya tak tergoyahkan.

“Kenapa? Kenapa lo—”

“Karena gw sayang sama lo, Sa!” Tiany menjawab dengan berani, suaranya menggema di sekeliling mereka. “Gw sayang sama lo. Dari dulu. Gw berharap lo yang dijodohkan sama gw, bukan Bang Esa. Gw sayang sama lo, gw cinta sama lo, Angkasa!” Ucapnya sambil memukul pelan dada Angkasa, seakan ingin menunjukkan betapa dalamnya perasaannya.

Angkasa terdiam, menatap Tiany dengan ekspresi campur aduk. Rasa sakit dan kebingungan bercampur menjadi satu. “Gaboleh,” katanya pelan, suaranya penuh keraguan. “Lo ga bisa, Tia.”

“Kenapa ga boleh, Angkasa? Kenapa?” Tiany menatapnya bingung, mata penuh harapan.

“Lo ga boleh suka sama gw, Tia,” jawab Angkasa, suaranya mulai bergetar, seolah mengingatkan dirinya akan semua yang tidak mungkin.

“Angkasa, kenapa? Apa ga ada perasaan lo sedikit pun untuk gw?” Desak Tiany, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.

Angkasa terdiam, hatinya terasa berat, seolah tertekan oleh semua yang ingin ia ungkapkan.

“Jawab, Sa! Katakan kalau lo ga ada perasaan apapun ke gw!” Tiany memohon, suaranya penuh kepedihan. “Katakan, Sa! KATAKAN!”

“IYA IYA GW SAYANG SAMA LO TIANY, GW SAYANG SAMA LO!” teriak Angkasa tak kuasa lagi menahan perasaannya, suara yang keluar dari dalam hatinya menggema seperti petir di malam gelap.

Tiany langsung berhambur ke pelukan Angkasa, air mata mengalir di pipinya. “Gw sayang sama lo,” bisik Angkasa pelan, membiarkan diri merasakan kehangatan pelukan itu sejenak sebelum akhirnya melepaskan Tiany.

“Tapi kita ga bisa bersama,” ucapnya, nada suaranya tajam seperti belati.

Senyum di wajah Tiany perlahan memudar. “Apa maksud lo, Angkasa? Kita bisa katakan ke orang tua kita. Dengan begitu, janji Papa ga akan diingkar, dan kita bisa bersama, Sa.”

“Ga semudah itu, Tiany, dan ga akan pernah mudah,” jawab Angkasa, suaranya penuh ketegasan, seakan menggambarkan betapa terjebaknya dirinya dalam labirin ketakutan.

“Kenapa, Sa? Kita bisa katakan itu! Ayo, Sa, kita katakan itu!”

“Karena gw bukan bagian keluarga Dhananjaya,” ucap Angkasa, kalimat itu meluncur seperti panah yang menembus jantung Tiany.

“Gw bukan anak kandung Mama dan Papa,” lanjutnya, hatinya terasa hancur dengan setiap kata yang diucapkan.

“Gw ga akan pernah pantas bersanding sama lo.”

“Gw hanya anak jalanan yang beruntung dipungut oleh keluarga Dhananjaya,” ungkap Angkasa, kata-kata itu seperti pisau yang mengiris hatinya sendiri.

Semua kalimat Angkasa membuat Tiany mematung, tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

“Gw hanya anak pungut, Tia,” ucap Angkasa pelan, menundukkan kepalanya, merasa seolah dunia ini tak layak baginya.

“Sa…” Tiany merintih, berusaha menggapai harapan yang semakin pudar.

“Hanya Mahesa yang pantas buat lo, Tia,” tambahnya dengan nada putus asa.

“Gw ga punya identitas.”

“Cukup, Sa,” Tiany berusaha memotong, berjuang melawan air mata yang mengancam akan jatuh.

“Gw ga punya keluarga.”

“Saa, cukup,” Tiany berteriak, melingkarkan tangannya di sekitar Angkasa, merangkulnya erat-erat. “Cukup, Angkasa, cukup!”

Pelukan itu menjadi harapan terakhir bagi keduanya. Dalam keheningan, mereka berusaha mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi kenyataan yang menyakitkan.

“Jangan dilanjutkan, Sa,” bisik Tiany, berusaha menenangkan Angkasa yang tampak berjuang melawan ketidakpastian dalam hatinya.

Angkasa menatap Tiany, merasakan kehangatan yang ia tawarkan. Mungkin, hanya mungkin, jika mereka bersama, semua rasa sakit ini bisa terobati. Namun, keraguan itu tetap membayangi, membuatnya ragu untuk melangkah lebih jauh.

“Bisa kita buat ini berjalan, Sa? Kita bisa bersama meskipun tidak sempurna,” Tiany menambahkan, harapannya terlihat dalam tatapan matanya yang berbinar.

Angkasa menutup matanya, mencoba merasakan cinta yang tulus itu. Dalam pelukan Tiany, mungkin ada secercah harapan untuk masa depan yang lebih baik, meskipun jalan yang harus mereka tempuh masih panjang dan berliku.

Setelah momen penuh emosi itu, Angkasa dan Tiany duduk di tepi rooftop, suasana hening menyelimuti mereka. Kepala Tiany bersandar di pundak Angkasa, merasakan kehangatan dan kenyamanan yang membuatnya sedikit tenang. Namun, di dalam hatinya, masih ada banyak yang ingin ia ketahui.

“Lo ga mau cerita apapun, Sa?” Tanya Tiany, suaranya lembut namun penuh harapan.

“Cerita apa? Gw ga jago dongeng,” jawab Angkasa sambil tersenyum tipis, berusaha mencairkan suasana.

“Ish,” Tiany memukul pelan lengan Angkasa, tetapi senyum di wajahnya menunjukkan bahwa ia tidak benar-benar marah.

“Hahhahah,” Angkasa tertawa kecil, merasakan momen kebersamaan yang hangat. “Apa yang mau lo tau, Tiany?” ucapnya sambil mengelus kepala Tiany

“Semua, semua, Sa. Gw pengen tahu tentang lo, tentang apa yang lo rasakan, tentang apa yang ada di pikiran lo sekarang,” kata Tiany, matanya menatap Angkasa dengan penuh ketulusan.

Angkasa terdiam sejenak, merenung.



--- SE - HATI ---

Se-Hati [ End ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang