16

70 5 0
                                    

Saat ini, Angkasa dan Tiany sedang berada di ruangan Bu Mai. Mereka akan memberikan jawaban mengenai partisipasi mereka dalam lomba musik yang diadakan di sekolah.

"Jadi, bagaimana Angkasa? Tiany?" tanya Bu Mai dengan penuh harap.

"Kami siap, Bu," jawab Angkasa dengan tegas, suaranya penuh keyakinan.

Angkasa tersenyum sekilas ke arah Tiany, seolah memberikan isyarat bahwa mereka satu suara dalam keputusan ini.

"Alhamdulillah, keputusan yang baik," ucap Bu Mai lega. "Baiklah, Ibu akan segera informasikan kepada Bapak Kepala Sekolah. Nanti sepulang sekolah, kalian datang ke ruang musik, kita akan bicarakan soal latihan dan lagu yang akan kalian nyanyikan."

"Baik, Bu," jawab mereka bersamaan.

"Bagus. Kalau begitu, kalian bisa kembali. Tapi ingat, pulang sekolah jangan terlambat, ya," pesan Bu Mai.

"Siap, Bu," jawab Angkasa dan Tiany serempak sebelum meninggalkan ruangan dengan perasaan lega.

Selepas keluar dari ruangan Bu Mai, Angkasa tiba-tiba bertanya, "Anak-anak ada di kantin, mau ikut?"

"Hah? Oh, apa ada teman-teman gue?" tanya Tiany, agak kaget dengan tawaran itu.

"Iya," jawab Angkasa singkat.

"Oke, gue ikut," Tiany setuju.

Mereka berjalan bersamaan menuju kantin, namun suasana terasa canggung di antara mereka. Entah karena mereka tak pernah bersama seperti ini sebelumnya, atau mungkin karena percakapan yang jarang terjadi.

"Sa/Ti," mereka memanggil satu sama lain bersamaan, membuat situasi semakin kikuk.

"Lo dulu/Lo dulu," lagi-lagi mereka berbicara serempak.

"Yaudah, gue/yaudah, gue,"

"Ladies first," ujar Angkasa sambil tersenyum kecil.

Tiany berpikir sejenak, sebenarnya dia bingung mau bicara apa. Dia hanya ingin mengisi keheningan yang menyelimuti mereka. "Ehm... Lo berhenti jajanin Rumi, ya sa" Tiany akhirnya mengeluarkan topik yang terpikirkan olehnya.

"Hm?"

"Maksud gue, kalau lo terus-terusan nurutin Rumi, dia akan makin manja, Sa. Dan dia makin bergantung sama lo."

Angkasa tertawa pelan. "Wkwkwk, ya gapapa dong. Bagus malah, daripada dimanja sama cowok yang ga bener."

"Astaga, bukan gitu, Angkasa..."

"Terus gimana, Tiany?"

Tiany bingung, gelisah dengan jawaban Angkasa. Dia tak tahu bagaimana menjelaskan lebih lanjut tanpa terdengar terlalu khawatir.

Melihat Tiany yang terlihat gelisah, Angkasa segera berkata, "Ti, denger. Arumi itu udah gue anggap kayak adik gue sendiri. Gue ga punya adik, jadi setelah ada Rumi, gue benar-benar sayang sama dia. Gue tau lo khawatir Rumi makin manja, tapi percaya deh, gue nggak keberatan sama tingkah dia."

"Hm, tapi dia jadi makin nempel sama lo," gumam Tiany pelan.

"Kenapa, Ti?"

"Hah? Oh, nggak ada apa-apa." Tiany buru-buru mengalihkan topik. "Eh, tadi lo juga mau ngomong sesuatu, kan?"

"Hm?" Angkasa tampak sedikit bingung.

"Lo mau ngomong apa?"

"Gue mau ngomong... kalau kita udah sampai di kantin. Yuk, itu mereka," jawab Angkasa sambil menunjuk ke arah teman-teman mereka.

"Apaan sih," Tiany mendesah, merasa sedikit kesal tapi juga lega.

Sesampainya di meja teman-temannya, suasana langsung berubah ceria.

Se-Hati [ End ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang