39

52 3 0
                                    

Hari ini adalah hari pertunangan Mahesa dan Tiany. Tiany duduk diam di depan cermin, bersiap ditemani oleh ibunya dan Arumi, adik perempuannya yang masih remaja.

“Kakak cantik sekali,” puji Arumi, matanya berbinar kagum melihat Tiany yang sudah mengenakan gaun elegan dan hijab rapi.

Namun, Tiany tak merespons. Pandangannya kosong, terjebak dalam pikirannya sendiri. Ibu mereka yang menyaksikan itu hanya bisa menatap Tiany dengan sedih. Hatinya teriris melihat putrinya yang begitu berbeda hari ini, namun ia tak bisa berbuat banyak. Keputusan suaminya sudah bulat—perjodohan ini harus terjadi.

“Sayang…” Ibu mengusap lembut hijab Tiany, berusaha menarik putrinya kembali dari lamunannya.

Tiany tersadar, menatap ibunya yang langsung merengkuhnya dalam pelukan hangat. Air mata ibu tak dapat lagi dibendung, perlahan menetes di bahu putrinya.

“Maafkan Mama, sayang. Mama nggak bisa bantu apa-apa,” bisik Ibu dengan suara bergetar.

Tiany menggelengkan kepala pelan. “Tiany nggak apa-apa, Ma,” jawabnya lemah, berusaha tersenyum meski perasaannya masih diliputi kebimbangan.

Ibu mengusap air matanya, memandang Tiany dengan bangga. “Terima kasih, Nak, kamu kuat sekali,” ucapnya tulus dengan senyum getir yang tersisa.

Tiany membalas senyuman itu, meskipun hatinya berat.

Kini mereka tengah dalam perjalanan menuju hotel tempat pertunangan Mahesa dan Tiany. Hotel tersebut sudah dipesan khusus untuk acara besar ini. Semua teman-teman dan keluarga hadir. Sebelumnya, saat kabar perjodohan Tiany tersebar, banyak yang terkejut. Ketiga sahabatnya pun merasa prihatin setelah mendengar cerita Tiany, tapi tak banyak yang bisa mereka lakukan selain memberi semangat dan doa.

Ketika pintu hotel terbuka, Tiany beserta keluarganya memasuki ruangan yang telah didekorasi megah. Keluarga Mahesa sudah menunggu di sana. Tepat saat ia masuk, mata Tiany langsung bertabrakan dengan mata teduh Angkasa, adik angkat Mahesa. Angkasa tersenyum lembut, namun Tiany cepat-cepat memalingkan wajahnya, merasa tak sanggup menahan perasaan yang berkecamuk.

“Sayang, kamu cantik sekali,” puji Mama Mahesa, menyambut dengan ramah.

“Selamat datang,” sapa Mama Mahesa pada keluarga Tiany, senyum hangat menghiasi wajahnya.

Acara pertunangan berlangsung lancar. Prosesi demi prosesi dijalani hingga tiba saatnya pertukaran cincin. Mahesa dan Tiany kini berdiri bersebelahan, resmi bertunangan di hadapan keluarga besar mereka.

“Kamu begitu cantik, Tia,” bisik Mahesa penuh pujian, mengagumi tunangannya.

Namun, Tiany tak merespons. Ia hanya terdiam, matanya tanpa sengaja kembali terarah pada Angkasa yang berdiri di seberang ruangan. Angkasa menatapnya dalam, namun Tiany cepat-cepat mengalihkan pandangannya lagi, berusaha mengendalikan hatinya yang bimbang.

Merasa diabaikan, Mahesa memperhatikan Tiany dengan cermat. Ia menangkap dengan jelas bagaimana tatapan Tiany dan Angkasa saling bertemu. Perlahan, wajah Mahesa menegang, tangannya terkepal di sisi tubuhnya, menahan rasa tidak nyaman yang mulai merayap.

“Tia…” panggil Mahesa akhirnya, nadanya terdengar sedikit keras.

“Iya, Bang?” jawab Tiany cepat-cepat, tersadar dari lamunannya.

“Kamu lapar?” tanya Mahesa, berusaha menjaga nada suaranya agar terdengar biasa.

Tiany tersenyum kecil, menggelengkan kepalanya. “Nggak, Bang,” jawabnya singkat.

Setelah itu, tak ada percakapan lagi di antara mereka. Keduanya terjebak dalam diam, sementara acara terus berjalan.

Setelah rangkaian acara selesai, keluarga Tiany berpamitan kepada keluarga Mahesa. Namun di balik kesopanan dan senyum yang diberikan, Tiany menyimpan banyak perasaan yang tak terucap, memikirkan masa depan yang kini sudah tergenggam di tangan orang lain.

Se-Hati [ End ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang