27

49 7 0
                                    

BRAK!

Pintu rumah terbanting keras, suaranya menggema hingga ke seluruh ruangan. Papa Tiany masuk dengan langkah berat, wajahnya dipenuhi amarah yang sulit ia sembunyikan.

"TIANY! KELUAR KAMU!" serunya, suaranya bergetar oleh kemarahan yang ditahan.

"TIANY!" panggilnya lagi, kali ini lebih keras.

Mama Tiany segera menghampiri, mencoba meredakan suaminya yang terbakar emosi. "Papa, tenang dulu. Kita bicarakan baik-baik dengan Tiany," ucapnya pelan, mencoba menenangkan.

"Anak itu tidak akan pernah bisa diajak bicara dengan baik!" seru Papa Tiany, masih dengan suara tinggi. Pandangannya berkeliling, mencari Tiany dengan penuh kemarahan.

Di pojok ruangan, Arumi berdiri dengan wajah tegang. Ketakutan tergambar jelas di matanya, melihat sang papa yang biasanya tenang berubah menjadi sosok yang menakutkan.

Tak lama, Tiany muncul dari arah tangga dengan langkah santai. Wajahnya datar, tanpa ekspresi. "Kenapa?" tanyanya dingin, seakan tidak peduli pada kekacauan yang sedang terjadi.

"TIANY!" bentak papa Tiany, semakin marah. "Tidak sopan! Papa tidak pernah mengajarkanmu untuk bersikap seperti itu!"

Tiany hanya tersenyum sinis, kemudian menjawab dengan nada tajam. "Apa yang Papa ajarkan ke Tiany? Papa nggak pernah ngajarin apa-apa, kalau Papa lupa. Papa cuma fokus membanggakan anak pertama Papa, dan memanjakan anak bungsu Papa. Apa Papa pernah lihat Tiany? Nggak, kan?"

Kemarahan papa Tiany semakin meledak, wajahnya memerah. Namun, Tiany tidak berhenti.

"Bahkan, setiap hari Papa nggak pernah absen telepon Kakak. Tiap malam, Papa selalu bilang 'selamat tidur' ke Arumi. Tapi untuk Tiany? Tiany bahkan lupa kapan terakhir kali Papa ngajak Tiany ngobrol." Nada suaranya mulai melemah, ada kepedihan yang tersirat di balik kata-kata itu.

Mendengar itu, mama Tiany menunduk, terdiam. Papa Tiany pun terdiam, tapi bukan karena rasa bersalah, melainkan semakin terbakar oleh kemarahan yang ia pendam.

"Jadi, nggak kaget kalau yang Papa jodohkan itu Tiany, bukan Arumi. Karena masa depan Tiany nggak pernah penting buat Papa, kan?" Tiany menatap papa dengan mata penuh sarkasme, senyum pahit terlukis di wajahnya.

Papa Tiany masih tak berkata apa-apa, hanya menatap Tiany dengan sorot yang semakin kelam.

"Jadi, apa yang Papa tukar dengan Tiany? Saham? Uang?" Tiany menantang, suaranya semakin tajam.

PLAK!

Ruangan tiba-tiba senyap. Semua terkejut, tak ada yang menyangka bahwa papa Tiany akan menampar putrinya sendiri.

Tiany memegangi pipinya yang terasa panas, menatap sang papa dengan mata berkaca-kaca, bukan karena sakit fisik, tetapi karena kecewa. "Mas?" suara lirih mama Tiany terdengar, berusaha menghentikan suaminya.

Tanpa berkata lagi, Tiany berlari ke arah kamarnya. Papa Tiany hanya bisa berdiri di tempatnya, menatap tangan yang baru saja menampar putrinya sendiri. Dia terdiam, mungkin baru menyadari apa yang telah dilakukannya.

Mama Tiany menatap suaminya dengan penuh kekecewaan. "Kamu keterlaluan, Mas," katanya, suaranya bergetar. "Hanya karena perjanjian ini, kamu tega menampar putri kamu sendiri?" lanjutnya sambil menggelengkan kepala, tak percaya.

Dia kemudian meninggalkan papa Tiany tanpa sepatah kata lagi, diikuti oleh Arumi yang hanya bisa menunduk.

Papa Tiany masih diam di tempat, menatap tangan yang telah melukai putrinya. "Maaf," bisiknya pelan, penuh penyesalan, meski terlambat.

Di depan kamar Tiany, mama Tiany berdiri bersama Arumi. Wajahnya terlihat gelisah. Ia mengetuk pintu kamar Tiany dengan lembut.

"Sayang, Tiany, buka pintunya. Mama ingin bicara, Nak," panggilnya lembut.

Tidak ada jawaban.

"Kakak?" Arumi mencoba memanggil dengan suara pelan, berharap Tiany akan menjawab.

Tetap tidak ada respon dari dalam.

Mama Tiany menghela napas panjang. "Arumi sayang. Mending kamu masuk kamar, ya? Besok kan sekolah," ucapnya, mencoba menyembunyikan kegelisahan.

"Tapi, Ma, aku khawatir sama Kakak," kata Arumi, suaranya bergetar.

"Gak apa-apa, Sayang. Kakakmu cuma butuh waktu. Dia butuh istirahat."

Arumi menunduk, menuruti perintah sang ibu. Ia masuk ke kamarnya dengan langkah berat, sementara mama Tiany menatap pintu kamar Tiany untuk beberapa saat, sebelum akhirnya pergi, meninggalkan Tiany sendirian di dalam kamar.

--- SE - HATI ---

Se-Hati [ End ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang