35

90 8 1
                                    

Flashback On

Pertemuan singkat antara Angkasa kecil dan seorang wanita bernama Widi itu sangatlah berkesan dan membekas bagi mereka berdua. Kini, Widi, suaminya Dhananjaya, dan putra mereka, Mahesa, tengah dalam perjalanan menuju kebun binatang. Mahesa, dengan penuh semangat, tak henti-hentinya bercerita tentang semua hewan yang ingin dilihatnya.

“Ma, aku ingin melihat singa! Dan gajah!” seru Mahesa, wajahnya bersinar ceria.

“Tenang, sayang. Kita akan melihat semuanya,” jawab Widi sambil tersenyum, merasakan kebahagiaan yang sederhana.

Namun, kebahagiaan itu seketika sirna ketika mobil yang mereka tumpangi mogok di pinggir jalan. Dhananjaya, setelah berusaha menyalakan mesin berkali-kali, akhirnya menggelengkan kepala.

“Sepertinya kita harus menunggu montir. Widi, bisa tolong beli air? Aku akan telepon dia,” katanya, seraya menunjukkan arah ke warung terdekat.

“Baiklah, Sayang. Aku cepat kembali,” Widi menjawab, lalu melangkah menuju warung dengan hati yang penuh harap.

Sementara itu, Mahesa merasa bosan dan tanpa disadari, ia berjalan ke arah jalan raya. Dhananjaya, yang sibuk menelfon montir, tidak menyadari putranya yang berjalan menjauh.

“Mahesa, tunggu!” teriak Dhananjaya, matanya melebar saat melihat putranya hampir tertabrak oleh mobil yang melaju kencang.

Suasana seketika hening. Widi, yang baru saja membeli air, mendengar teriakan panik dari arah jalan.

“Apa yang terjadi?” tanyanya, berlari menuju kerumunan.

“Di sana! Ada anak kecil yang tertabrak!” seru seorang pejalan kaki, membuat jantung Widi berdegup kencang.

“Mahesa!” teriak Widi, panik dan berlari semakin cepat.

Dhananjaya, yang baru saja menyadari bahaya yang mengancam putranya, ikut berlari menyusul Widi. Dan betapa terkejutnya mereka saat melihat bahwa anak yang tertabrak adalah Angkasa kecil, anak yang pernah mereka temui. Angkasa, dengan keberaniannya, telah menyelamatkan Mahesa.

Tanpa pikir panjang, mereka menggendong Angkasa ke dalam mobil dan bergegas ke rumah sakit.

“Bertahanlah, Nak. Kita segera sampai,” kata Widi, berdoa dalam hati agar Tuhan memberikan keajaiban.

Di rumah sakit, suasana dipenuhi ketegangan. Dokter berjuang keras untuk menyelamatkan Angkasa, sementara Widi dan Dhananjaya menunggu di ruang tunggu, hati mereka berdegup kencang.

“Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi?” Widi bertanya, air mata menggenang di pelupuk matanya.

“Jangan berpikir begitu, Widi. Dia kuat,” jawab Dhananjaya, berusaha menenangkan istrinya dengan senyuman yang menyimpan harapan.

Setelah beberapa jam yang terasa seperti seabad, dokter akhirnya keluar. “Anak itu berhasil diselamatkan, tapi kondisinya masih kritis.”

“Syukurlah,” desah Widi, lega sejenak. Namun, rasa syukur itu segera digantikan oleh keinginan mendalam di hatinya.

“Mas, apa boleh kita mengadopsinya?” ujarnya, tatapan penuh harap mencerminkan keinginan untuk memberikan kasih sayang dan perlindungan kepada Angkasa.

“Tidak,” tolak tegas Dhananjaya, wajahnya tampak serius.

“Mas, aku mohon, kasihanilah dia. Dia tidak punya siapapun di dunia ini, dan lagi dia sudah menyelamatkan Mahesa kita. Jika saja dia tidak ada, mungkin—”
Kata-kata Widi terhenti, terbayang potensi kehilangan yang mungkin terjadi.

“Widi, cukup!” Dhananjaya memotong, suaranya penuh ketegasan.

“Mas, aku mohon,” desak Widi, dengan nada penuh harapan. “Aku janji aku yang akan merawatnya. Aku akan berlaku adil antara Angkasa dan Mahesa, aku janji, Mas.”

Dhananjaya menghela napas, menatap wajah penuh harap Widi. “Baiklah, tapi pastikan anak itu tidak membuat kekacauan.”

“Iya, iya, Mas. Aku akan memastikan semuanya baik-baik saja.”
Senyum lega menghiasi wajah Widi, harapan baru tumbuh di dalam hatinya.

Dengan keputusan itu, Angkasa pun diangkat menjadi anggota keluarga Dhananjaya, sebuah langkah yang akan mengubah hidup mereka selamanya.

Flashback Off

Tiany memeluk erat Angkasa setelah mendengarkan cerita menyakitkan yang selama ini disimpannya sendiri.

"Angkasa hebat, sangat hebat," bisik Tiany lembut, suaranya penuh emosi.

Angkasa tersenyum tipis, namun tak mampu menyembunyikan keraguan di matanya. "Oh ya?"

Tiany mengangguk bersemangat, wajahnya penuh keyakinan. "Sa, mereka benar-benar sayang sama Lo. Mereka nggak pernah bedain Lo dan Bang Esa. Kalau kita ngomong jujur, mereka nggak akan keberatan. Lo harus percaya."

Tapi senyum Angkasa langsung memudar. Tatapannya meredup. "Nggak, Tiany. Jangan katakan apapun pada mereka."

Tiany terkejut dan bingung. "Kenapa, Sa? Ini bisa mengubah segalanya."

Angkasa menggeleng pelan, menundukkan pandangannya. "Semua nggak berjalan seperti yang Lo bayangkan."

"Sa, apa Lo nggak mau berjuang? Lo nggak mau hidup dengan jujur?"

Angkasa menarik napas panjang. "Mau, dan pasti. Tapi untuk saat ini, gw belum bisa."

"Kenapa, Sa? Apa yang bikin Lo takut?" tanya Tiany, semakin penasaran.

Angkasa hanya menggeleng lagi. "Gw nggak bisa ngasih tahu sekarang."

Tiany mendesah, frustasi. "Kalau gitu, gw yang bakal bilang ke Papa."

"Jangan, Tiany!" Angkasa langsung berdiri, memegang tangan Tiany dengan tegas. "Jangan lakukan itu."

"Kenapa nggak, Sa? Lo masih mikirin diri Lo sendiri, ya?"

Angkasa menatap Tiany dengan tatapan berat, seolah mencoba mencari kata yang tepat. "Jangan, Tiany. Lo nggak ngerti semuanya."

Tiany mundur, menarik tangannya. "Gw pikir, Lo udah siap berbagi segalanya sama gw. Gw jadikan Lo rumah gw, tempat gw bisa pulang. Tapi ternyata, Lo nggak anggap gw begitu, ya?"

Angkasa terdiam, matanya terlihat terluka, tapi ia tidak mengatakan apa-apa.

Dengan hati yang kecewa, Tiany berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Angkasa yang masih terpaku dalam diam.



--- SE - HATI ---

Se-Hati [ End ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang