37

50 4 0
                                    

Keesokan harinya, setelah pulang sekolah,  Angkasa mengajak Tiany ke pantai. Tempat itu selalu memberi ketenangan bagi Angkasa, dan ia merasa Tiany juga membutuhkannya. Ia sebenarnya ingin meminta izin langsung kepada papa Tiany, namun situasi di rumah sedang tidak memungkinkan. Jadi, ia memutuskan untuk berbicara kepada mama Tiany saja.

“Tante, boleh tidak Angkasa mengajak Tiany keluar sebentar? Angkasa akan mengantarkannya pulang sebelum malam,” kata Angkasa dengan sopan, namun ada sedikit kecemasan di suaranya.

Mama Tiany menatap Angkasa, menilai ketulusan yang terlihat jelas di matanya. Ia tahu bahwa Angkasa adalah anak yang baik, dan kali ini tampaknya ada sesuatu yang penting yang ingin ia bicarakan dengan Tiany.

"Baiklah, Angkasa. Tapi pastikan Tiany pulang dengan selamat ya,” ujar mama Tiany sambil tersenyum tipis, memberikan izin.

Tiany merasa senang mendengar ajakan Angkasa. Meskipun pikirannya masih kacau dengan konflik keluarganya, bersama Angkasa ia selalu merasa tenang. Setelah meminta izin, Tiany segera bersiap dan menemui Angkasa yang sudah menunggu di depan rumahnya.

Saat Tiany keluar, Angkasa menyambutnya dengan senyum hangat. "Ayo, kita berangkat. Gw ingin menunjukkan sesuatu."

Tiany mengangguk, "Yuk, Sa. Gw sudah siap."

Mereka berdua berjalan menuju pantai, ditemani oleh suara ombak dan angin laut yang menenangkan. Ada ketenangan di antara mereka, tapi di balik senyumnya, Tiany merasakan bahwa Angkasa mungkin ingin mengatakan sesuatu yang penting. Namun, kali ini Angkasa tampak lebih santai, melupakan kekhawatirannya atas permintaan papa Tiany agar menjauhi Tiany. Hari ini, ia hanya ingin menikmati waktu bersama orang yang ia sayangi.

"Sa, Lo baik-baik aja?" tanya Tiany pelan, sambil menatap Angkasa.

Angkasa tersenyum lembut, “Tentu. Gw baik-baik aja.”

Sesampainya di pantai, mereka duduk di atas sebuah batu besar, menunggu matahari tenggelam di ufuk barat. Tiany memandangi laut yang tenang, sementara langit mulai berubah warna menjadi lebih hangat.

"Cantik banget," ucap Tiany sambil tersenyum melihat senja yang perlahan turun.

"Iya, cantik banget," balas Angkasa, namun pandangannya tertuju pada Tiany.

Tiany merasakan tatapan Angkasa dan langsung menoleh dengan wajah sedikit malu, “Apaan sih,” ujarnya, setengah tertawa.

"Tia," panggil Angkasa dengan nada serius.

"Iya, Sa?" Tiany menjawab, kini perhatiannya penuh pada Angkasa.

“Gw mau Lo janji ke gw,” kata Angkasa, suaranya pelan namun tegas.

“Janji? Tentang apa?” Tiany bertanya, bingung.

"Janji jangan pernah menyerah buat gapai cita-cita Lo. Jadi musisi yang hebat, ciptakan karya yang indah," ujar Angkasa, matanya penuh harap.

Tiany tertegun. Ia terdiam sejenak, meresapi permintaan Angkasa yang begitu tulus.

"Sa, gw janji. Tapi Lo juga harus berjanji sama gw, Lo akan membersamai gw untuk mencapai cita-cita gw," jawab Tiany, menatap Angkasa dengan sungguh-sungguh.

Angkasa tersenyum lembut. "Iya, gw janji."

Mereka saling tersenyum, merasakan kehangatan satu sama lain. Sore itu, di tengah deburan ombak dan angin pantai, janji mereka terucap. Mereka hanya ingin menikmati waktu mereka bersama, tanpa harus memikirkan apa yang akan terjadi esok hari.

***

Di perjalanan pulang, suasana di antara mereka terasa hening. Hanya suara gemerisik daun dan langkah kaki yang terdengar di bawah langit yang semakin gelap.

"Sa..." Tiany memecah kesunyian, suaranya lembut namun penuh dengan keraguan.

"Hmm?" sahut Angkasa tanpa menoleh, masih menatap lurus ke depan.

"Besok..." Tiany melanjutkan, suaranya sedikit bergetar.

Angkasa menoleh ke arahnya, menunggu Tiany melanjutkan kata-katanya.

"Pertunangan" Tiany akhirnya berkata, suaranya melemah saat menyebut kata itu.

Angkasa tersenyum kecil, meski senyumnya tidak sampai ke matanya. "Sa, gw—"

"Tiany," potong Angkasa lembut, menggelengkan kepalanya perlahan. "Ngga perlu dibahas."

Angkasa seakan memberi isyarat bahwa tidak ada yang perlu dikatakan lagi tentang hal itu. Tiany menatapnya, bibirnya setengah terbuka seakan ingin mengatakan sesuatu, tapi ia tahu Angkasa sedang mencoba melindungi perasaannya, bahkan di saat yang sulit sekalipun.

Tiany menghela napas, lalu mengangguk pelan. Mereka melanjutkan perjalanan dalam keheningan, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri. Meski banyak yang ingin Tiany ungkapkan, ia tahu ini bukan waktunya. Angkasa masih berada di sampingnya, dan itu sudah cukup untuk saat ini.

***

Angkasa memasuki rumahnya yang sunyi, perasaan aneh muncul di dadanya. Rumah ini biasanya hangat dengan suara lembut sang ibu. Tapi kali ini, semuanya begitu sepi.

"Maa... Mama di mana?" panggil Angkasa sambil melangkah ke ruang tengah.

Tidak ada jawaban. Saat ia berjalan lebih jauh ke dalam rumah, tiba-tiba terdengar suara napas yang berat. Hatinya berdegup kencang.

"Mama?" Suara Angkasa bergetar.

Ketika ia sampai di ruang keluarga, ia terkejut melihat ibunya di sofa, kesulitan bernapas. Wajah Widi pucat, tangannya gemetar saat mencoba menggapai udara.

"Ang... an... Angkasa," panggilnya dengan napas tersengal.

"Mama!" Angkasa panik, ia langsung menghampiri sang ibu dan memegang bahunya dengan cemas.

"In...ha...ler," Widi terbata-bata mencoba mengucapkan kata itu.

Mendengar kata tersebut, Angkasa segera berlari mencari inhaler. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, ia menemukannya di meja kecil. Dengan cepat ia memberikan inhaler itu kepada ibunya.

"Ini, Ma. Tarik napas pelan-pelan, Ma," Angkasa membimbing ibunya dengan tenang, meski jantungnya berdegup kencang.

Setelah beberapa isapan, napas Widi mulai tenang kembali. Wajahnya masih pucat, tapi setidaknya dia bisa bernapas lebih baik. Angkasa mengangkat tubuh ibunya dengan hati-hati dan membawanya ke kamar.

"Terima kasih, sayang..." Widi berbisik lemah saat Angkasa membaringkannya di tempat tidur.

"Mama, dokter sudah bilang kalau Mama ga boleh capek-capek," ucap Angkasa, suaranya lembut tapi tegas.

Widi tersenyum samar. "Mama hanya ingin mengisi waktu luang, Nak. Maaf ya, Mama bikin kamu khawatir."

Angkasa menatap teduh pada ibunya. Ada rasa sedih dan bersalah yang menggenang di matanya. "Maafkan Angkasa, Ma," katanya pelan.

Widi menggeleng lemah. "Tidak, ini bukan kesalahan kamu, sayang. Jangan pernah merasa bersalah. Kamu sudah berbuat yang terbaik."

Angkasa menunduk, menahan emosi yang meluap dalam dirinya. "Sekarang Mama istirahat dulu ya. Biar Angkasa jaga Mama."

"Iya, Nak. Terima kasih..." jawab Widi sambil menutup mata.

Melihat ibunya tertidur, Angkasa mengelus pipinya dengan penuh kasih sayang. Di dalam hatinya, kenangan pahit dan rasa bersalah kembali menyeruak. Tangannya terkepal erat, menahan gejolak emosi yang hampir meledak.



--- SE - HATI ---

Se-Hati [ End ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang