22

57 8 0
                                    

Keesokan Harinya

Ini kali kedua Angkasa dan Tiany latihan. Mereka latihan tiga kali dalam seminggu-setiap Selasa, Rabu, dan Kamis. Kali ini, Angkasa tampak lebih bersemangat. Ia sudah memutuskan bahwa hari ini, bagaimanapun caranya, ia harus meminta maaf pada Tiany.

Sebenarnya, sejak pagi Angkasa sudah berusaha. Namun, setiap kali mencoba, selalu ada saja yang membuatnya gagal. Entah kenapa, perasaan bersalah yang ia rasakan semakin menggelisahkannya.

Latihan berjalan lancar. Ketika semuanya bersiap-siap untuk pulang, Angkasa mengambil langkah cepat. Tanpa ragu, ia menarik tangan Tiany menjauh dari teman-teman mereka.

"Apaan sih, nggak sopan banget lo," Tiany meliriknya tajam.

"Hehe, maaf, maaf," Angkasa cengengesan, tak menghiraukan tatapan malas dari Tiany.

"Udah, dong. Jangan ngambek terus. Gw bener-bener minta maaf ini," ucap Angkasa, suaranya penuh permohonan.

Tiany masih tak bergeming. Ia melipat tangan di depan dada, tak peduli.

"Ti, ayolah. Maafin gw, plis," suara Angkasa semakin lembut, hampir memohon.

Tiany terdiam sebentar sebelum akhirnya membuka mulut. "Gw akan maafin lo."

Mata Angkasa berbinar, senyum lebarnya mengembang. "YES!"

"Tapi ada syaratnya," lanjut Tiany dengan nada dingin.

Senyuman Angkasa langsung memudar. "Hah? Syarat? Kok nggak ikhlas sih, lo. Awas nanti kuburannya sempit," candanya, mencoba mencairkan suasana.

Tanpa berpikir panjang, Tiany langsung memukul lengannya.

"Awss! Sakit tahu!" Angkasa meringis.

"Yaudah, kalo nggak mau, bye." Tiany mulai berbalik meninggalkannya.

"Eh, eh! Bercanda doang, serius gw! Jadi apa syaratnya, nyonya? Hamba siap menaatinya!" Angkasa buru-buru menahan Tiany.

Tiany memutar badannya lagi, menatap Angkasa dengan pandangan menyelidik. "Bener?"

"Iya, iya, serius!" jawab Angkasa cepat, meski hatinya mulai was-was.

Tiany mendekat, tatapannya semakin tajam. "Jujur sama gw."

Angkasa mengernyit, kebingungan. "Jujur? Tentang apa?

"Ohh oke gw jujur. Iya, gw yang ngilangin buku Bagas."

"Ck, bukan itu," Tiany menghela napas panjang.

"Terus?" Tanya angkasa bingung

"Ohh gw tau, ti gw mau jujur" angkasa terdiam sebentar "sebenarnya yang robekin celana bokap lo dulu itu gw," jawab Angkasa sambil tersenyum malu-malu.

Tiany menghela nafas mendengar itu
"Bukan itu angkasa"

"Lalu apa Tiany" tanya angkasa frustasi

"Tapi tunggu, Apa? JADI LO YANG NGEROBEK CELANA BAPAK GW?!"

BUG! BUG! Tiany meninju lengannya keras-keras.

"Aw, aduh! Ampun, Ti! Ampun!" Angkasa meringis, menghindar dari pukulan Tiany.

"KURANG AJAR LO YA! GW DIHUKUM GARA-GARA LO!" Tiany masih terus memukulnya tanpa ampun.

"Ya ampun! Maaf, maaf! Gw salah. Maaf!" Angkasa memohon, mencoba melindungi dirinya.

Setelah puas memukul, Tiany akhirnya berhenti dan melengos.

"Maaf sih maaf, tapi lo harus traktir gw seminggu. Gak ada kompromi. Titik."

"Buset, habis deh duit gw," Angkasa mengeluh pelan.

"Angkasa serius," Tiany melanjutkan, tatapannya kembali dingin.

"Apalagi ti? Kayaknya dosa gw ga banyak banyak amat, ya cukup lah buat masuk neraka," keluh Angkasa, setengah bercanda.

"Moncong lo ya! Dengerin baik-baik, Sa." Tiany menarik napas dalam. "Ada apa sama lo sama Bang Esa?"

Angkasa langsung terdiam. Pertanyaan itu menghantamnya lebih keras dari pukulan Tiany sebelumnya.

"Sa, jawab," desak Tiany.

"Ga ada apa-apa," Angkasa mencoba mengelak.

"Terus, kemarin itu? Kalian sampe berantem begitu? Ga ada apa-apa?"

"Itu kan gw bela lo," Angkasa menjawab cepat, tapi Tiany tidak semudah itu diyakinkan.

"Gw nggak bodoh, Sa. Gw tau bedanya berantem buat bela sama berantem beneran."

"Emang apa bedanya?" Angkasa mencoba melucu lagi, tapi Tiany tak tertawa.

"Angkasa, nggak usah bercanda. Jawab."

Angkasa menghela napas panjang. Ini sudah ke sekian kali hari ini ia menarik napas dalam-dalam. Seolah-olah beban yang dipikulnya semakin berat setiap menitnya.

"Iya, gw sama Bang Esa ribut," akhirnya ia mengakui.

Tiany hendak berbicara, tetapi Angkasa memotongnya. "Tapi, cuma ribut biasa. Selayaknya adik sama abang."

"Mana ada adik abang berantem sampe segitunya?" Tiany tak percaya.

"Emang lo sama Rumi nggak pernah ribut?"

"Tapi gw sama Rumi nggak pernah main fisik, ya," Tiany menjawab dengan tegas.

"Yaelah, gw cowok, lo cewek. Beda," jawab Angkasa dengan nada pasrah.

"Alesan lo. Bilang aja lo nggak mau jujur sama gw." Tiany mendengus kesal. "Bodo amat, gw masih kesel sama lo. Dan gw nggak lupa soal traktiran itu. Sekarang nambah jadi dua minggu. Titik."

Tiany berbalik dan pergi, meninggalkan Angkasa yang hanya bisa menatap punggungnya dengan pandangan kosong.

"Belum saatnya, Ti. Dan mungkin lo memang nggak perlu tau soal ini," gumam Angkasa pelan, seraya menghela napas panjang lagi.


--- SE - HATI ---

Se-Hati [ End ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang