30

53 6 0
                                    

Flashback On

12 tahun yang lalu…

Di bawah terik matahari yang menyengat, seorang anak laki-laki berusia 5 tahun berjalan ke sana kemari dengan kantong plastik berisi tisu di tangannya. Wajah kecilnya yang polos terlihat lelah, namun tekadnya tetap kokoh. Dia berkeliling menawarkan dagangannya, berharap bisa menjualnya dan pulang dengan sedikit uang untuk membeli makanan.

Anak itu bernama Angkasa.

Angkasa adalah anak yatim piatu. Kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan ketika ia baru berumur 4 tahun. Setahun sudah ia hidup sendirian, sebatang kara, dan bekerja keras demi sesuap nasi. Meskipun sering kali hanya mendapatkan nasi dan kerupuk, atau bahkan tak makan sama sekali, ia tak pernah menyerah.

Jika kalian bertanya di mana keluarganya? Kakek, nenek, bibi, atau paman? Angkasa tidak tahu. Sejak kecil, ia hanya mengenal ayah dan ibunya. Setelah mereka tiada, keluarga lain seakan tidak pernah ada. Kini, ia tinggal sendiri di sebuah rumah kecil, satu-satunya peninggalan orang tuanya. Sesekali, tetangganya membantu, namun ia menolak untuk dibawa ke panti asuhan. Baginya, rumah kecil itu adalah tempat di mana kenangan bersama ayah dan ibunya masih hidup.

"Tisu, tisu, tisu-nya, Pak! Tisu!" Angkasa kecil berjalan mengitari trotoar, menawarkan dagangannya.

"Ibu, tisu Bu?" Panggilnya, namun tak ada yang menoleh.

Keringat membasahi dahinya. Ia menyeka keringat itu dengan punggung tangannya dan berhenti sejenak. "Panas... Asa haus. Tapi, Asa nggak punya uang." Ia menunduk, sedih.

Tiba-tiba, sebuah suara lembut memanggilnya, "Hei, sayang."

Angkasa mendongak, melihat seorang wanita berdiri di depannya, tersenyum ramah. "Iya, Tante?"

"Kamu haus ya?"

Angkasa kecil mengangguk pelan. "Iya, Tante. Asa haus tapi Asa nggak punya uang."

Wanita itu merogoh tasnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang. "Ini, Tante ada sedikit rezeki buat kamu. Gih, beli minum."

Angkasa kecil menatap uang itu. Rasa tak enak menyelimutinya. "Tante, kalau Tante mau beli dagangan Asa aja."

Wanita itu tersenyum lembut, mengerti maksud Angkasa yang tidak ingin diberi secara cuma-cuma. "Tentu, Tante beli semua dagangan kamu."

Wajah Angkasa seketika cerah. Matanya berbinar-binar. "Wah, beneran Tante? Yey, terima kasih, Tante!"

"Sama-sama, sayang." Wanita itu tersenyum hangat.

"Oh ya, nama kamu Angkasa?" Tanya wanita itu lagi.

"Iya, Tante. Nama aku Angkasa."

"Tante Widi," jawabnya sambil tersenyum. "Ingat ya, nama Tante Widi."

"Tante Widi, terima kasih banyak!"

Wanita itu tertawa kecil. "Sama-sama, sayang."

Tiba-tiba, seorang anak laki-laki lain berlari mendekati mereka. "Mama!" panggilnya.

"Iya, sayang. Sebentar," jawabnya sambil melirik anaknya.

Tante Widi kembali menatap Angkasa. "Tante pamit dulu ya, Angkasa. Sampai jumpa."

"Sampai jumpa, Tante baik!" Angkasa melambaikan tangan kecilnya, tersenyum lebar.

Flashback Off

Angkasa terbangun ia melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 3 pagi. Dengan segera, ia turun dari tempat tidurnya, mengambil wudhu, dan melaksanakan shalat tahajud.

Setelah selesai beribadah, ia berjalan keluar menuju balkon, menatap langit malam yang dipenuhi bintang-bintang. Hembusan angin malam menyapa lembut wajahnya.

Angkasa tersenyum samar sambil menatap langit. "Ayah, Ibu, kalian apa kabar di sana? Angkasa rindu…"

Angkasa mengingat kembali bagaimana ia bertemu dengan seorang malaikat yang saat ini menjadi alasan ia bertahan sampai saat ini, mamanya. Mama Widi.

Angkasa Septian Dhananjaya, itulah namanya sekarang. Tapi sebenarnya, Angkasa bukanlah anak kandung dari keluarga Dhananjaya. Dia hanyalah seorang anak yatim piatu yang diadopsi oleh mereka.

***

Di tempat lain, Tiany perlahan menuruni tangga. Di meja makan, keluarganya sedang sarapan. Langkah kakinya yang lembut terdengar di ruangan, membuat sang mama menoleh ke arahnya. Begitu melihat Tiany, sang mama langsung berdiri dan memeluknya erat.

“Sayang, cantiknya mama. Maafin mama, maaf sayang,” ucap sang ibu dengan suara bergetar. Pelukan hangat itu membuat Tiany tak bisa lagi menahan air matanya. Dengan cepat, dia membalas pelukan ibunya.

“Mama, maaf. Maafkan Tiany. Maaf, Ma…” isak Tiany di antara tangisnya.

Mereka masih saling berpelukan, menumpahkan segala rasa yang selama ini tertahan. Sang ibu kemudian melepaskan pelukannya, mengusap lembut pipi Tiany yang basah oleh air mata. “Mama salah. Mama harusnya bisa lebih ngerti kamu. Maaf ya, sayang. Mama bukan ibu yang baik buat kamu.”

“Ngga, Ma. Jangan ngomong kayak gitu. Mama terbaik buat Tiany,” balas Tiany, suaranya serak, namun penuh ketulusan.

Senyuman hangat muncul di wajah sang ibu, dan tanpa ragu, ia kembali merengkuh putrinya dalam pelukan. Arumi, adik Tiany, yang duduk di meja makan, ikut terharu. Tak ingin ketinggalan, Arumi segera bangkit dan memeluk kakaknya. Kini, ketiganya berpelukan erat, merasakan kehangatan keluarga yang sudah lama hilang.

Setelah melepaskan pelukannya, Tiany mengalihkan pandangannya kepada sang papa. Dengan langkah pelan, dia berjalan mendekat.

“Papa…” Suaranya pelan dan ragu. “Papa, maaf. Tiany—”

Namun, sebelum ia sempat melanjutkan ucapannya, sang papa sudah lebih dulu menariknya dalam pelukan yang erat, seolah tak ingin melepaskannya lagi.

“Maaf, sayang. Maafkan papa. Papa sayang sekali sama Tiany,” ucap sang papa dengan suara bergetar. Pelukan itu terasa seperti janji baru, janji akan keutuhan keluarga yang selama ini mereka rindukan.

Tiany hanya bisa membalas pelukan itu, membiarkan dirinya tenggelam dalam rasa aman yang selama ini ia cari.

Sang papa melepaskan pelukannya perlahan, kemudian ia mengusap lembut pipi Tiany yang semalam telah ia tampar. Rasa bersalah terpancar jelas di matanya.

"Sakit?" tanyanya lembut, suaranya hampir berbisik.

Tiany tersenyum kecil. "Sedikit... tapi lebih sakit di sini," jawabnya sambil menunjuk dadanya.

Papa kembali merengkuhnya dalam pelukan hangat. "Maafkan papa, sayang."

Tiany menarik napas dalam dan menggeleng pelan. "Sudah, Pa. Jangan terus minta maaf, Tiany laper. Yuk, makan."

Sang papa tertawa kecil, diikuti senyum lega yang mulai muncul di wajahnya. "Hahaha, ya sudah, ayo kita makan. Setelah itu, kalian berangkat sekolah."

Tawa hangat menggema di ruangan itu. Keluarga Tiany kembali utuh. Mereka duduk bersama di meja makan, seolah semua masalah kemarin—termasuk soal perjodohan—lenyap begitu saja. Rasa cinta dan kebersamaan menghangatkan hati mereka, menggantikan luka yang sempat memisahkan.


--- SE - HATI ---

Se-Hati [ End ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang