18

54 5 0
                                    

Malam itu, seperti biasa, balkon menjadi tempat pilihan mereka untuk membahas segala hal soal musik.

Namun, kali ini, Angkasa berada di balkon seorang diri. Tiany sedang sibuk di dapur, mempersiapkan makanan yang ia janjikan sebelumnya. Angkasa sengaja menahan lapar, langsung pulang, membersihkan diri, lalu menuju rumah Tiany tanpa makan.

Saat Angkasa datang ke rumah Tiany, semua orang tampak tercengang. Mama Tiany bahkan sempat mengira Angkasa datang untuk menemui Arumi, adik Tiany, seperti biasanya. Tetapi, begitu Angkasa mengatakan bahwa ia datang untuk bertemu Tiany, ekspresi keheranan terpampang jelas di wajah mama Tiany.

"Kamu beneran mau ketemu Tiany?" Mama Tiany menatap Angkasa, alisnya terangkat. "Bukan Arumi?"

Angkasa tersenyum kecil, merasa sedikit geli melihat reaksi itu. "Iya, Tante, saya mau ketemu Tiany," jawabnya tenang, namun terdengar lucu di telinga mereka berdua.

Mama Tiany termenung sejenak, tampaknya masih berusaha mencerna ucapan Angkasa. "Oh... ya sudah, masuklah. Tiany di dapur," ujarnya, masih terlihat agak bingung.

Angkasa masuk ke dalam, tapi tak bisa menahan tawa kecil di dalam hatinya. "Segitunya kah gue dan Tiany nggak akur, sampai semua orang pada heran? Bahkan mamanya sendiri tampak nggak percaya."

Bahkan setelah beberapa langkah memasuki rumah, Angkasa masih bisa merasakan pandangan keheranan dari mama Tiany, seolah menanyakan dalam hati, "Benar kamu mau ketemu Tiany?"

Sambil menunggu Tiany, Angkasa memutuskan untuk duduk di balkon dan menikmati angin malam. Dalam benaknya, ia menyadari betapa anehnya hubungan mereka yang penuh canda tawa tapi juga diwarnai ketidakakuran. Namun, hari ini terasa berbeda. Ada sedikit kehangatan yang merayap pelan di antara canda tawa mereka tadi siang.

Dan di tengah-tengah lamunan Angkasa, pintu balkon terbuka, dan Tiany muncul sambil membawa nampan penuh makanan.

"Udah nunggu lama, ya?" Tiany bertanya, sambil menyodorkan makanan yang sudah ia siapkan.

Angkasa tersenyum, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. "Nggak juga, tapi kayaknya gue mulai ngerti kenapa semua orang heran gue ada di sini," candanya, membuat Tiany tertawa kecil.

"Ini lo yang masak semua?" tanya Angkasa sambil memandangi meja yang penuh dengan hidangan.

"Ya iyalah, lo nggak nyium nih badan udah bau bumbu?" jawab Tiany, setengah bercanda.

"Aman nggak nih?" Angkasa mulai melirik makanan dengan ekspresi waspada.

"Aman, kok. Gue cuma kasih sianida dikit tadi," sahut Tiany sambil mengangkat bahu.

"Serius lo?" Angkasa langsung mengernyit, setengah percaya.

"Ya kali anjir, ngapain ribet-ribet ngasih sianida. Tinggal dorong lo dari balkon sini, lebih cepet," jawab Tiany dengan senyum setengah jahil.

"Buset, ngerinya," Angkasa terdiam sesaat, lalu tertawa. "Udah deh, nggak usah banyak ngomong. Sana makan," Tiany menyuruhnya dengan suara setengah serius.

"Gue makan ya... eh wait, ambilin gue kertas sama pulpen dong," pinta Angkasa tiba-tiba.

"Buat apa?" Tiany mengernyit, bingung.

"Gue mau nulis surat wasiat. Siapa tau abis makan ini gue...," Angkasa menggantung kalimatnya dengan nada bercanda.

Mendengar itu, Tiany langsung merebut piring Angkasa. "Jadi lo nggak percaya sama gue?! Nggak usah lo makan makanan gue!" ucapnya kesal.

"Eh eh, bercanda anjir," Angkasa buru-buru menarik piringnya kembali.

"Bodo amat," Tiany pura-pura merajuk, memalingkan wajah.

Se-Hati [ End ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang