29

48 6 0
                                    

Jam menunjukkan pukul 10 malam ketika Angkasa berjalan pelan menuju dapur untuk mengambil air, setelah perbincangan panjang dengan Tiany. Dia merasa lelah, pikirannya masih dipenuhi dengan berbagai hal yang mereka bicarakan.

Setelah mengambil segelas air, Angkasa bergegas kembali menuju kamarnya. Namun, langkahnya terhenti ketika sebuah suara dingin memanggil dari belakang.

"Angkasa."

Dia menoleh dan melihat sang papa berdiri di ujung lorong, menatapnya dengan tajam.

"Papa?" Angkasa mengernyit, tidak menyangka akan dipanggil di jam selarut ini.

"Ayo ikut saya. Ada yang perlu kita bicarakan," ujar papanya tegas, tanpa ekspresi.

Tanpa banyak bicara, Angkasa mengikuti langkah sang papa yang menuju ruang kerjanya. Ruangan itu tampak gelap dan sepi, hanya diterangi oleh lampu meja yang suram. Papanya berdiri di depan jendela, punggungnya menghadap Angkasa.

"Jauhi Tiany," suara papa terdengar dingin, memecah keheningan.

Angkasa menatap punggung ayahnya, terdiam beberapa saat sebelum bertanya, "Kenapa?" Suaranya tenang, tapi ada ketegangan yang tertahan di dalamnya.

"Saya rasa kamu cukup pintar untuk memahami maksud saya tanpa harus saya jelaskan," balas papanya, masih dengan nada datar namun penuh perintah.

Tangan Angkasa mengepal erat di samping tubuhnya. Dia mencoba mengendalikan emosinya, namun giginya bergemeletuk menahan amarah. "Angkasa hanya ingin berteman dengan Tiany, Pa," ucapnya, kali ini dengan suara yang lebih dalam.

"Pertemanan kalian sudah cukup lama," kata sang papa tanpa menoleh. "Sudah saatnya kamu berhenti."

"Angkasa menolak," jawabnya tegas, tanpa ragu.

Sang papa berbalik, menatap Angkasa dengan tatapan tajam. "Kalau begitu, kamu boleh angkat kaki dari rumah ini," katanya pelan, namun penuh ancaman.

Angkasa mendongak, menatap papanya dengan penuh ketidakpercayaan. Dadanya berdebar hebat. "Sebegitu pengecutkah putramu, Pa, sampai Papa harus turun tangan hanya untuk mendapatkan obsesinya?" kata Angkasa dengan suara serak, penuh kemarahan yang tertahan.

BRAK!

Vas bunga yang berada di atas meja kerja pecah berkeping-keping setelah dilempar dengan kasar oleh papanya. Suara pecahannya menggema di seluruh ruangan.

"ANGKASA!" teriak papanya dengan marah. "Yang kamu sebut pengecut itu adalah putra saya, putra Dhananjaya!" katanya, suaranya semakin keras. "Kalau kamu lupa, Angkasa."

Angkasa terkekeh sinis, tawa yang penuh kepahitan. "Angkasa tidak pernah lupa, Pa. Dan Angkasa tidak akan pernah lupa," ucapnya dengan lirih namun tajam, seolah setiap kata yang keluar adalah sebuah tamparan.

Tanpa menunggu respons, Angkasa melangkah menuju pintu, bersiap meninggalkan ruangan itu. Namun sebelum tangannya sempat memutar gagang pintu, suara papanya kembali terdengar, kali ini lebih dingin dan penuh ancaman.

"Kalau kamu masih sayang sama mamamu, jauhi Tiany."

Tangan Angkasa berhenti di gagang pintu. Selama beberapa detik, dia hanya diam, menggenggam gagang pintu dengan erat. Kemudian, tanpa berkata apa-apa lagi, dia membuka pintu dan membantingnya dengan keras, membuat suara dentumannya menggema di seluruh rumah.

Angkasa keluar dari ruang kerja itu dengan hati yang dipenuhi amarah dan kebingungan

***

Angkasa berjalan cepat menuju ruang favoritnya—tempat cucian. Dia selalu merasa damai di sana, di balik keheningan mesin cuci yang berputar, sebuah sudut yang memberinya ketenangan. Tempat ini bukan sekadar ruang biasa bagi Angkasa. Di sana, terukir cerita lama, kenangan yang selalu menguatkannya saat dunia terasa runtuh.

Dia berdiri di depan jendela kecil, menatap ke luar dengan napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang kusut. Namun, belum lama menikmati kedamaian itu, suara yang sangat dikenalnya kembali menghancurkan ketenangan.

"Gimana, Angkasa?" Suara itu bergema di ruang kecil itu, semakin dekat.

Angkasa tidak berbalik, tapi dia bisa merasakan kehadiran orang itu yang sekarang sudah berdiri di belakangnya. Suaranya terdengar dingin dan penuh ejekan.

"Masih ingin melawan?" Orang itu mendengus, tertawa sinis. "Lo ga akan pernah bisa menang dari gw, Angkasa. Hanya gw yang pantas untuk menang. Mahesa... hahahaha." Tawanya menggelegar, seperti bunyi yang sangat dibenci Angkasa.

Mahesa melangkah lebih dekat, berdiri tepat di belakang Angkasa. "Lo ga akan pernah sebanding sama gw. Lo cuma bayang-bayang."

Angkasa tersenyum miring, sinis. Dia berbalik perlahan, menatap Mahesa dengan tatapan penuh kebencian. "Lo benar," ucapnya tenang, tapi berbahaya. "Gw ga akan pernah sebanding sama orang pengecut yang cuma bisa berlindung di balik bokapnya."

Wajah Mahesa langsung berubah merah. Amarah berkobar di matanya. Dengan kasar, dia menarik kerah baju Angkasa, mendekatkan wajahnya dengan penuh ancaman. "Jaga bicara Lo!" desis Mahesa. "Kalau bukan karena gw dan nyokap gw, Lo ga akan ada di sini, anak pungut!" Setelah itu, dia mendorong Angkasa dengan kasar, melepaskan cengkeramannya.

Tapi sebelum Mahesa sempat merasa puas, tiba-tiba—

BUG!

Sebuah tinju keras mendarat di wajah Mahesa. Mahesa mundur beberapa langkah, terhuyung. Dia mengusap bibirnya, dan melihat darah di tangannya.

Angkasa menatapnya dengan dingin. "Dan kalau Lo lupa," katanya dengan nada rendah tapi penuh kekuatan, "anak pungut ini yang menyelamatkan nyawa Lo dulu. Kalau aja anak pungut ini nggak nyelamatin Lo, mungkin sekarang Lo yang nggak ada di sini, Mahesa."

Mahesa terdiam, sementara Angkasa tanpa menunggu balasan berbalik dan keluar dari ruang cucian itu. Tanpa berkata apa-apa lagi, meninggalkan Mahesa yang masih ternganga, marah, dan mungkin sedikit terpojok oleh kenyataan yang tak bisa ia bantah.



--- SE - HATI ---

Se-Hati [ End ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang