26

59 5 0
                                    

Keheningan mendadak memenuhi ruangan setelah papa Tiany selesai bicara.

"Papa bercanda, kan?" tanya Tiany, suaranya penuh keraguan.

"Tidak," jawab papa Tiany tegas, tanpa sedikit pun keraguan.

Tiany terkekeh sinis. "Lalu siapa yang akan Papa jodohkan? Tiany? Aish, buat apa Tiany bertanya. Sudah pasti bukan putri kesayangan Papa, kan? Iya, kan, Pa?" tanyanya dengan sarkasme yang menusuk.

"Tiany, jaga bicaramu!" suara papa Tiany terdengar lebih keras, mencoba menahan amarah.

"Untuk apa, Pa? Supaya Tiany terlihat gadis baik-baik di depan calon yang Papa jodohkan sama Tiany?" lanjutnya dengan nada semakin panas, mata Tiany berkobar.

"Tiany, cukup! Dengarkan Papa dulu," tegur mama Tiany dengan suara penuh peringatan.

"Bahkan sampai sekarang, Tiany masih mendengarkan Papa, Ma," Tiany menatap tajam ke arah ayahnya.

"Sikapmu yang seperti ini justru yang membuat Papa tanpa ragu menjodohkan kamu, Tiany," suara papa Tiany dingin, penuh otoritas.

Tiany hanya bisa tertawa kecil, sinis. "Oh, ya? Tiany—"

"Cukup, Tiany!" bentak mama Tiany, memotong ucapannya. Bentakan itu menghentikan semua orang di ruangan, membuat suasana membeku.

"Jeng, sabar, jeng," suara mama Angkasa terdengar pelan, mencoba menenangkan.

"Tidak sopan! Apa ini yang Mama dan Papa ajarkan padamu, Tiany?" Mama Tiany menatap putrinya dengan mata yang penuh kecewa.

"Sudahlah, jeng," mama Angkasa kembali menenangkan, tetapi amarah di udara terasa sulit diredakan.

"Baik, sudah, mari kita bicarakan ini dengan tenang. Tiany sayang, coba dengarkan dulu ya," suara papa Angkasa lembut, berusaha mencairkan suasana.

Akhirnya, ruangan kembali tenang, meskipun ketegangan masih terasa di udara.

"Papa akan melanjutkan apa yang tadi om Putra katakan," lanjut papa Angkasa. "Benar, kami pernah punya janji untuk menikahkan anak-anak kami. Namun, karena jarak usia antara Mahesa dan Mentari terlalu jauh, kami berniat menjodohkan Mahesa dengan salah satu dari kalian, Tiany atau Arumi."

Papa Tiany menegakkan tubuhnya, suaranya lantang dan tegas. "Dan saya memutuskan untuk menjodohkan Mahesa dengan Tiany."

Tiany langsung berdiri dengan ekspresi penuh kemarahan. "Apa?!"

"Putra—" papa Angkasa mencoba bicara, namun papa Tiany memotongnya.

"Tidak, Dhan. Tiany butuh seseorang yang mampu mengontrol sikapnya, dan saya yakin Mahesa bisa melakukan itu," kata papa Tiany penuh keyakinan.

Senyum muncul di wajah Mahesa, seolah menanti kesempatan ini sejak lama. Namun, Angkasa, yang duduk diam di sudut ruangan, hanya menatap datar tanpa ekspresi. Tidak jelas apa yang sedang dia rasakan saat itu.

"Tiany menolak!" seru Tiany dengan tegas, matanya memerah, bibirnya bergetar marah. Tanpa menunggu balasan, dia berbalik dan berjalan keluar ruangan.

"Tiany, duduk!" seru mama Tiany, namun Tiany tak menggubrisnya.

"Tiany tidak mau!" jawab Tiany tegas, langkahnya cepat meninggalkan ruang VVIP.

Arumi, yang melihat kakaknya pergi, refleks ingin mengejar. Namun, tangan ibunya menahan lengannya. "Diam, Arumi," perintahnya tegas.

Arumi hanya bisa menatap kakaknya yang semakin jauh, dengan tatapan penuh kesedihan.

"Lebih baik kita lanjutkan pembicaraan ini lain kali," usul papa Angkasa, mengakhiri percakapan malam itu dengan suara pelan.

"Maafkan sikap Tiany, ya, Jeng," ucap mama Tiany penuh penyesalan.

"Tidak apa-apa, Jeng. Itu wajar, Tiany pasti sangat terkejut dengan semua ini," jawab mama Angkasa, berusaha memahami.

Percakapan mereka berakhir dengan perasaan yang tertahan, dan malam itu menjadi saksi bisu dari janji yang akhirnya menciptakan kekacauan.



--- SE - HATI ---

Se-Hati [ End ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang