✍️📚❣️HAPPY READING ❣️📚✍️
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _*•*•*•*
Malam hari Di Desa Aurora, angin berdesir pelan melalui celah jendela di rumah keluarga Derrick, membuat tirai-tirai kamar berayun lembut.Suasana hening melingkupi seluruh rumah, hanya terdengar detik jam yang berdenting pelan, mengikuti irama malam. Cahaya bulan menyelinap masuk dari sela-sela dedaunan di luar, memantulkan sinar lembut yang menembus kaca jendela, menerangi lorong rumah dengan cahaya perak yang tenang.
Derrick berjalan pelan di lorong itu, langkahnya terhenti di depan pintu kamar Rex, putra bungsunya. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya—suara lirih yang hampir tertelan oleh keheningan malam. Seperti suara seseorang yang sedang mengunyah atau mendesah pelan. Derrick mendekat, menempelkan telinga ke pintu, dan mendengar suara kecil yang meringis, diikuti oleh gumaman halus.
Rasa penasaran mendorongnya untuk membuka pintu dengan hati-hati, membiarkan cahaya lembut dari lorong masuk ke kamar Rex. Di bawah sinar remang-remang lampu tidur, Derrick melihat pemandangan yang menggelitik hati. Di atas ranjang, Rex yang terbungkus selimut tampak setengah tertidur, wajahnya damai dengan pipi bulatnya yang kemerahan. Di sampingnya ada Dex, putra sulungnya, yang duduk dengan ekspresi penuh kegemasan. Kedua tangannya menahan Rex yang tampaknya tidak menyadari apa yang terjadi, sementara bibir Dex terlihat menempel di pipi adiknya.
“Dex...” Derrick bertanya dengan nada geli, menahan tawa. "Apa yang kamu lakukan?"
Dex tersentak kaget, mengangkat wajahnya dengan pipi merah, tetapi senyum malu-malu masih tersisa di sudut bibirnya. "Daddy... maaf.Dex tidak tahan melihat pipi bulat Rex, Dex hanya... ya, menggigitnya sedikit."
Derrick tertawa pelan, menahan agar suaranya tidak membangunkan Rex sepenuhnya. Ia berjalan mendekat dan duduk di tepi ranjang, mengusap pelan kepala putra sulungnya. Mata Derrick tertuju pada pipi Rex yang masih kemerahan bekas gigitan. Rex, meskipun meringis kecil dalam tidurnya, tidak tampak terganggu—wajahnya tetap terlihat tenang, seolah terhanyut dalam mimpi manis.
“Pipinya memang lucu,” Derrick berbisik, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Tapi kamu tidak perlu sampai menggigit juga, Dex.”
Dex tertawa kecil, “Tapi Dad, pipinya kayak marshmallow! Rasanya manis dan kenyal.”
Derrick tersenyum lembut, merasa hangat oleh momen kebersamaan ini. Meski kadang Dex terlalu bersemangat, ia tahu bahwa di balik tingkah dingin dan cueknya, putra sulungnya itu sangat menyayangi adik-adiknya, terutama Rex. Kasih sayang itu tampak dalam cara Dex memperlakukan adik bungsunya, bahkan jika ekspresi kasih sayangnya terkadang agak... tidak biasa.
“Baiklah,” Derrick berkata sambil berdiri, mengusap kepala Dex sekali lagi. “Sekarang waktunya tidur. Besok kamu masih bisa mencubit-cubit, tapi malam ini biarkan Rex beristirahat dengan tenang.”
Dex mengangguk patuh, meskipun matanya masih berbinar dengan tatapan gemas ke arah Rex. "Baiklah Dad. Dex tidak akan mengganggu Rex lagi malam ini... tapi besok, siapa yang tahu,” gumamnya sambil menyeringai kecil.
Derrick menepuk pelan bahu Dex, lalu membimbingnya keluar dari kamar Rex. Keduanya kemudian menutup pintu dengan perlahan, memastikan tidak ada suara yang mengganggu tidur bocah kecil itu.
Malam di rumah Derrick kembali hening. Di luar, angin masih berbisik lembut, dan dedaunan berayun lambat dalam cahaya bulan. Derrick melirik Dex yang berjalan menuju kamarnya sendiri, tersenyum kecil melihat anak sulungnya itu menguap pelan. Meski kadang tingkah laku anak-anaknya membuatnya tertawa, Derrick merasa hatinya penuh dengan rasa syukur. Anak-anaknya tumbuh penuh cinta dan saling menyayangi—itu yang paling penting.
KAMU SEDANG MEMBACA
Daddy's Rays Of love
SonstigesMenceritakan kisah tentang seorang pria berusia 35 tahun yang sangat menginginkan anak dari pernikahannya namun harapannya harus kandas karna sang istri menolak mentah-mentah untuk melahirkan seorang anak demi menjaga penampilan tubuhnya. Hingga sua...