"Daddy!" Teriak Aurora dengan semangatnya ketika melihat Alix baru saja tiba di depan rumah.
Alix tersenyum lebar melihat Aurora dan Lia, istrinya, yang selalu menunggu di teras depan. Tanpa ragu, Alix langsung mengangkat gadis kecilnya yang baru berusia tiga tahun itu ke dalam gendongannya.
"Daddy, bawa mochi nda?" tanya Aurora polos dengan matanya yang berbinar.
Alix terkekeh sambil mengangguk, "Bawa, sayang," jawabnya, membuat Aurora semakin girang.
Setelah itu, Alix melirik ke belakang, melihat Aldo yang masih setia mengikutinya. "Kamu kembali ke perusahaan. Tapi sebelum itu, tolong bawakan pesanan saya ke dalam," perintah Alix dengan nada tenang namun tegas. Aldo mengangguk patuh, lalu berjalan menuju mobil untuk mengambil jajanan yang diminta.
Alix kemudian mendekat ke arah Lia yang sudah menunggunya dengan senyum lembut. Dengan penuh kasih, ia mengecup dahi Lia. "Sayang," ucapnya lirih, seolah segala kepenatan hari itu menghilang begitu saja saat berada di dekat keluarganya.
"Seharusnya kamu menunggu di dalam saja," ujar Alix lembut, meski ada nada khawatir di suaranya. Setelah menurunkan Aurora dari gendongannya, dia segera menggandeng tangan anak dan istrinya, mengajak mereka berjalan masuk ke dalam rumah.
Lia tersenyum kecil. "Pengen aja nunggu kamu di luar," jawabnya ringan.
"Nanti malam mami sama daddy akan berkunjung," ujar Lia memberi tahu.
Sedangkan Alix menghela napasnya kasar. Semenjak kedatangan Zira, Adeeva sering kali mewanti-wanti dirinya.
"Kamu takut di tanyai Zira?" Tanya Lia sinis.
Alix memejamkan matanya mencoba menahan diri, "Jangan mulai, lia," ucap Alix.
"Kenyataannya. Bahkan sekarang kamu bekerja sama dengan suaminya. Apa itu rencana kamu biar bisa deket sama Zira?" Lia kembali menyerang dengan emosi meluap-luap
"Daddy," Aurora merasa takut melihat Lia yang tampak marah.
"Sini Daddy gendong lagi," Alix kembali membawa Aurora kedalam gendongannya.
"Aku sudah belikan pesanan kamu, Lia. Setelah itu kamu istrahat, aku mau nemenin Rora," Alix memilih tidak memperpanjang perdebatan.
Lia mengepalkan kedua tangannya menahan amarah. Sepertinya dia harus menemui Zira, agar wanita itu tidak gatal menemui suaminya.
______
"Kakekkkk!!" seru Aurora dengan suara riangnya, sambil berlari kecil menuju Arga, sang kakek. Dia merentangkan kedua tangannya, meminta agar bisa dipangku.
Arga hanya terkekeh gemas melihat cucunya yang selalu penuh semangat. Dengan penuh kasih sayang, ia mengangkat Aurora ke dalam gendongannya. "Kakek bawain kamu boneka besar," ucap Arga dengan senyum lebar.
Mata Aurora langsung berbinar. "Wahhhh!" serunya kegirangan saat melihat Asisten Arjuna berjalan ke arahnya, membawa boneka beruang besar yang hampir seukuran dirinya. Setiap kali berkunjung, Arga atau Adeeva tak pernah lupa membawakan hadiah untuk cucu kesayangan mereka, membuat Aurora selalu menunggu kedatangan mereka.
"Arjuna bawa ke kamar cucuku," titah Arga.
"Sekarang kita makan yuk, nenek bawain ayam bakar kesukaan Rora," celetuk Adeeva.
Lagi-lagi Aurora bersorak bahagia mendengar hal itu.
"Mommy, siapkan dulu," ujar Lia, beranjak untuk pergi ke dapur.
"Kamu duduk saja, biar aku yang siapkan," Alix beranjak dari tempatnya kemudian pergi begitu saja.
Adeeva dan Arga sadar jika keduanya tengah tidak baik-baik saja. Sedangkan Lia, wajahnya berubah sendu.
"Sayang, are you okay?" Adeeva mendekat kearah Lia.
Sedangkan Arga, memilih untuk pergi mengajak Aurora bermain.
"Coba cerita," ucap Adeeva lembut sambil mengelus rambut Lia dengan penuh kasih sayang. Memang, Adeeva sangat menyayangi Lia, seolah melihat dirinya sendiri dalam sosok menantunya itu. Setiap kali melihat Lia, Adeeva teringat bagaimana dirinya dahulu—kuat, namun terkadang rapuh, membutuhkan tempat untuk berbagi beban.
"Mami, aku takut," ungkap Lia dengan suara lirih, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Terlebih, tubuh aku sekarang gendut, wajah aku berjerawat... Aku insecure dan takut kalau Alix jijik padaku. Apalagi sejak Zira datang, dia sangat cantik, bahkan semakin cantik," lanjut Lia, suaranya bergetar penuh emosi.
Adeeva mendengarkan dengan sabar. Dengan lembut, Adeeva mengelus rambut Lia lagi.
"Sayang," kata Adeeva. "Alix itu setipe dengan Daddynya. Kalau dia sudah sayang atau cinta, dia nggak akan berpaling, mau secantik apapun wanita di luar sana. Kamu nggak perlu khawatir tentang itu. Cinta Alix untuk kamu itu tulus, dia mencintai kamu apa adanya, bukan hanya dari penampilan luar."
Lia menunduk, mendengar nasihat itu.
"Tapi kalau kamu merasa insecure, setelah ini bagaimana kalau kamu ikut Mami ke salon?" Adeeva tersenyum lembut, mencoba menghibur Lia. "Kita juga bisa sekalian belanja skincare yang cocok untuk bumil. Biar Mami yang traktir," ajaknya penuh perhatian.
Adeeva mengusap pipi Lia dengan lembut. "Jerawat kamu masih mudah dihilangkan dengan skincare, sayang. Nggak usah khawatir berlebihan."
Lia tersenyum tipis, merasa sedikit lebih baik. "Boleh, Mami," katanya pelan, menyetujui ajakan tersebut. "Makasih ya, Mami."
Adeeva mengangguk penuh kasih. "Sama-sama, sayang. Kamu nggak sendiri, selalu ingat itu."
Malam ini, Aurora tidur di kamar kakek dan neneknya, Arga dan Adeeva. Adeeva sengaja mengambil kesempatan ini untuk memberi ruang kepada Alix dan Lia, membiarkan mereka berdua menikmati waktu berdua tanpa kehadiran Aurora.
Alix menarik tubuh Lia dengan lembut ke dalam pelukannya, merengkuhnya dengan penuh kasih sayang. Tangannya perlahan mengusap rambut Lia, mencoba memberikan ketenangan, setelah wanita itu mencurahkan unek-uneknya. Dia tidak pernah bermaksud menyakiti istrinya, namun bayang-bayang Zira masih terus menghantuinya.
Dia menunduk, mencium puncak kepala Lia dengan penuh cinta. "Maaf," ucapnya pelan.
"Kamu cantik, sayang. Jangan insecure lagi," ucap Alix dengan lembut. Setelah melepaskan pelukannya, dia menangkup wajah Lia dengan kedua tangannya, menatapnya dalam-dalam.
"Dan lagi, aku sama Zira nggak mungkin bersama," ucap Alix dengan suara yang tenang namun penuh keyakinan. Tangannya masih menangkup wajah Lia, menatapnya dalam-dalam seolah ingin meyakinkan istrinya sepenuh hati. "Selain perasaan kita yang sudah nggak sama, kita sama-sama punya pasangan. Dan pasangan kita jauh lebih berarti. Kamu, Aurora, dan calon anak kita... kalian sangat berarti buat aku. Aku nggak mungkin ngelepasin kalian."
Setelah mengatakan itu, tangan Alix perlahan beralih mengelus perut buncit Lia yang tengah mengandung anak kedua mereka. Sentuhan lembut itu mengisyaratkan betapa berharganya keluarga yang mereka bangun. Lia menatap Alix dengan air mata yang menggenang, tapi kali ini bukan karena kecemasan, melainkan karena rasa hangat dan cinta yang begitu tulus dari suaminya.
Alix mengecup bibir Lia dengan lembut. "Tidur, sudah malam," ajaknya sambil tersenyum.
Namun, Lia menatapnya malu-malu, pipinya sedikit memerah. "Aku merindukanmu," ucapnya lirih, hampir seperti bisikan.
Alix terkekeh geli mendengar pengakuan itu. Wajah Lia yang malu-malu selalu berhasil membuatnya merasa hangat. Tanpa berkata-kata lagi, dia membungkuk dan mengangkat Lia dengan gaya bridal, menggendongnya dengan hati-hati dan penuh kasih sayang. Dengan perlahan, dia menidurkan Lia di tempat tidur mereka, membiarkan momen keintiman itu terasa sempurna di bawah cahaya malam.
________________Aku nulis extra part-nya karena gamon sama Alix.
Kalau aku gak mager mungkin untuk season 2 nya aku tuliss di karyakarsa atau di bikin ebook yawww^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect love (SELESAI)
Teen FictionTernyata, pepatah "jangan terlalu benci nanti cinta" itu benar adanya. Seperti yang di alami Zira, awalnya dia sangat membenci Alix, namun perasaannya mulunak dan berubah menjadi cinta ketika dia menyadari jika Alix adalah laki-laki baik dan selalu...