Chapter 1: Hilangnya Sang Phoenix

35 10 1
                                    

Fajar baru saja menyingsing di atas Kerajaan Verellia, memancarkan semburat merah jambu yang bercampur dengan kilauan emas di langit. Di puncak menara istana, Putri Zarathustra berdiri dalam diam, matanya tertuju pada cakrawala. Ia selalu bangun lebih awal untuk melihat Phoenix-nya, Azhura, terbang bebas melintasi langit. Namun, pagi ini berbeda. Azhura tidak kembali.

"Di mana dia?" Zarathustra bergumam, matanya menyipit mencari bayangan burung abadi itu. Biasanya, Azhura akan menyapanya dengan nyala api di langit, menandakan kedatangannya. Namun, kali ini langit tampak kosong, seolah menyimpan rahasia gelap di balik keindahannya.

Tak lama kemudian, empat saudara laki-lakinya, Darius, Kaelan, Orpheus, dan Cygnus datang menyusulnya di puncak menara. Wajah-wajah mereka yang tegas menunjukkan kecemasan yang sama.

"Dia belum kembali, Zarathustra?" tanya Darius, sang putra sulung, dengan nada suara yang lebih gelap dari biasanya.

Zarathustra menggeleng. "Aku merasa ada sesuatu yang salah."

Keheningan menyelimuti mereka semua. Keempat saudaranya tahu betapa pentingnya Azhura bagi Zarathustra. Phoenix itu bukan hanya hewan peliharaan, melainkan pelindung dan sahabat yang setia. Azhura adalah simbol kekuatan kerajaan dan kekuatan api abadi yang mengalir dalam darah keluarga mereka.

"Kita harus mencarinya," Kaelan berkata tiba-tiba. "Mungkin dia terjebak atau diserang oleh sesuatu."

"Kita harus memulai pencarian di hutan terdekat," usul Orpheus, yang selalu cepat bertindak.

Namun sebelum rencana apapun bisa disusun, ayah mereka, Raja Verellius, dan ibu mereka, Ratu Elara, memasuki menara dengan ekspresi serius. "Kami telah menerima kabar dari mata-mata kami," kata Raja Verellius. "Ada tanda-tanda bahwa Kerajaan Noctaria telah bergerak di perbatasan. Kita harus berhati-hati."

Noctaria, kerajaan bayangan yang terkenal dengan kekuatan kegelapannya, telah lama menjadi musuh bebuyutan Verellia. Hubungan di antara kedua kerajaan tegang, dan ancaman perang selalu mengintai di balik setiap pergerakan yang dilakukan kedua belah pihak.

Ratu Elara memandang putrinya dengan lembut. "Zarathustra, aku tahu betapa berartinya Azhura bagimu. Tapi ini mungkin bukan sekadar hilangnya burung abadi. Aku khawatir ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi."

Zarathustra menegakkan punggungnya, meski hatinya penuh kecemasan. "Aku akan menemukan Azhura. Apa pun yang terjadi, aku akan membawanya kembali."

Malam itu, setelah keluarga kerajaan mengadakan pertemuan tertutup untuk merencanakan tindakan mereka, Zarathustra diam-diam menyelinap keluar dari istana. Mengenakan jubah berwarna hitam yang menyatu dengan kegelapan malam, ia menuju ke taman tempat Azhura sering hinggap. Di bawah sinar bulan yang redup, taman itu tampak seperti dunia lain hampa dan sepi.

Saat ia melangkah lebih dalam ke dalam taman, suara langkah lembut terdengar dari arah lain. Zarathustra segera berjaga, tangannya siap menarik belati yang tersembunyi di sabuknya.

"Tenang," sebuah suara terdengar dari balik bayangan. Seorang pria muncul di bawah bayangan pohon tua, matanya bersinar dengan ketajaman yang tidak biasa. "Aku tidak datang untuk berperang."

Zarathustra menatapnya dengan tajam, mengenali pakaian pria itu, ia berasal dari Noctaria. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Matanya tidak memancarkan niat jahat, melainkan rasa ingin tahu yang mendalam.

"Siapa kau?" tanya Zarathustra, tetap waspada.

"Aku Lucien," jawab pria itu, suaranya rendah namun jelas. "Dan aku tahu di mana Phoenix-mu berada."

DIANTARA API DAN BAYANGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang