Chapter 36: Cinta yang Membakar

3 3 0
                                    

Seiring waktu berlalu, ketegangan di antara para pemimpin kerajaan semakin terasa. Setelah pertemuan malam itu, para pemimpin mulai menyebar ke kerajaan mereka masing-masing untuk mengatur rencana dan mengumpulkan sekutu. Namun, bagi Zarathustra dan Lucien, perasaan berat di hati mereka tidak dapat diabaikan. Kegelapan yang semakin dekat membuat mereka tidak hanya merasa terancam, tetapi juga merasa terputus dari satu sama lain di tengah hiruk-pikuk persiapan.

Zarathustra merasakan beban tanggung jawab yang semakin besar di pundaknya. Dia merasa seolah-olah seluruh nasib kerajaan berada di tangannya. Meskipun dia memiliki kekuatan kuno yang bangkit dalam dirinya, dia juga merasakan keraguan dan ketakutan. Dia khawatir jika mereka tidak dapat mengatasi ancaman yang ada, dan dia tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama dengan apa yang terjadi pada phoenix-nya.

Suatu malam, setelah seharian penuh dengan perencanaan dan pertempuran mental, Zarathustra dan Lucien memutuskan untuk mengambil waktu sejenak dari kekacauan yang melanda kerajaan. Mereka berjalan ke taman istana, di mana bunga-bunga bermekaran di bawah cahaya bulan. Udara malam yang sejuk memberikan sedikit kelegaan dari kepanasan yang menyelimuti hati mereka.

"Tempat ini selalu membuatku merasa tenang," kata Zarathustra, menatap ke arah bintang-bintang. "Seakan kita bisa meninggalkan semua ini dan hanya menikmati momen ini."

Lucien mengangguk, tetapi ketegangan di wajahnya tidak dapat disembunyikan. "Tapi kita tidak bisa melupakan apa yang terjadi. Kita harus bersiap, Zarathustra. Kegelapan itu bisa datang kapan saja."

Zarathustra menatap Lucien, merasakan kepedihan di dalam hatinya. "Aku tahu, tetapi aku juga tahu bahwa kita tidak sendirian. Kita memiliki satu sama lain, dan cinta kita akan membantu kita melewati ini."

Lucien berbalik dan menghadap Zarathustra, jarak di antara mereka semakin mendekat. "Tapi bagaimana jika kita kehilangan semuanya? Bagaimana jika aku kehilanganmu?"

Mendengar kata-kata itu, hati Zarathustra terasa nyeri. "Kau tidak akan kehilangan aku, Lucien. Kita akan melewati ini bersama, apapun yang terjadi."

Dengan satu langkah lagi, Lucien mengangkat tangan dan menyentuh wajah Zarathustra dengan lembut. "Tapi aku ingin kau tahu seberapa dalam perasaanku padamu. Apa pun yang terjadi, aku mencintaimu, Zarathustra. Dengan seluruh jiwaku."

Zarathustra merasakan gelombang emosi melanda dirinya, dan sebelum dia bisa menjawab, Lucien menariknya lebih dekat. Dalam keheningan malam yang tenang, mereka saling menatap, seolah-olah waktu berhenti sejenak. Mata mereka bertemu, dan semua kata-kata yang tidak terucap menggantung di udara.

Tanpa berpikir panjang, Zarathustra meraih wajah Lucien, dan mereka berbagi ciuman lembut yang menggugah. Dalam momen itu, semua ketakutan dan kekhawatiran seolah lenyap. Rasanya seperti dunia di sekitar mereka menghilang, dan yang tersisa hanyalah mereka berdua, terikat dalam kehangatan cinta yang membara.

Ciuman mereka semakin mendalam, seolah mengalirkan kekuatan dan semangat baru di dalam diri mereka. Momen itu bukan hanya tentang cinta yang mereka rasakan satu sama lain, tetapi juga tentang keyakinan bahwa mereka akan saling melindungi, tidak peduli apa yang terjadi di masa depan.

Setelah beberapa saat, mereka terpisah, dan Lucien menatap Zarathustra dengan tatapan penuh kehangatan. "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi besok, tetapi yang aku tahu adalah bahwa aku tidak ingin hidup tanpamu. Kau adalah alasan aku terus berjuang."

Zarathustra merasakan air mata menggenang di sudut matanya. "Kau adalah bintang dalam kegelapan ini, Lucien. Tanpamu, aku merasa terasing. Aku berjanji, tidak peduli apa pun yang terjadi, aku akan selalu di sisimu."

Mereka berdiri di sana, tangan saling menggenggam, merasa kehangatan satu sama lain dalam malam yang dingin. Sebuah janji yang tak terucapkan terjalin di antara mereka, dan ikatan mereka semakin kuat. Cinta yang membakar di antara mereka adalah sumber kekuatan yang tidak dapat dipisahkan oleh kegelapan apa pun.

Di tengah taman yang indah, mereka melanjutkan percakapan, berbagi impian dan harapan untuk masa depan. Mereka membicarakan apa yang akan mereka lakukan setelah mengalahkan kegelapan dan bagaimana mereka akan membangun hidup bersama.

"Suatu hari nanti, setelah semua ini selesai, aku ingin kita menjelajahi dunia bersama," kata Lucien, senyumnya yang penuh harapan membuat Zarathustra merasa hangat di dalam. "Kita bisa melihat semua tempat yang indah, jauh dari semua ini."

Zarathustra membalas senyum itu. "Aku ingin itu. Aku ingin melihat dunia bersamamu, merasakan kebebasan dan petualangan."

Malam berlanjut, dan saat bulan purnama bersinar terang di atas mereka, Zarathustra dan Lucien berjanji untuk tidak hanya melawan kegelapan bersama, tetapi juga untuk saling mendukung dan mencintai dalam setiap langkah perjalanan mereka.

Di tengah ancaman yang semakin dekat, cinta mereka menjadi cahaya yang tidak pernah padam, dan dengan setiap detak jantung, mereka merasakan kekuatan baru untuk menghadapi tantangan yang akan datang. Dengan semangat yang menggelora, mereka bersiap untuk menghadapi kegelapan dengan harapan di hati mereka, karena mereka tahu bahwa cinta adalah senjata terkuat di dunia ini.

DIANTARA API DAN BAYANGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang