Chapter 21: Bisikan Sang Penjaga

4 3 0
                                    

Malam itu, setelah perjalanan yang melelahkan dan penggabungan kekuatan yang mereka alami, Zarathustra akhirnya menyerah pada kelelahan yang telah lama menghantuinya. Kegelapan malam di lembah Kanal Serafis membungkus mereka dengan keheningan yang dalam, hanya ditemani oleh suara lembut angin yang menyapu daun-daun kering. Lucien beristirahat di dekatnya, menjaga api unggun kecil yang mereka nyalakan untuk menerangi malam yang semakin gelap.

Namun, meski tubuh Zarathustra tertidur, pikirannya justru terbawa ke dalam dunia yang berbeda, sebuah tempat di mana realitas dan mimpi tampak kabur dan tidak dapat dibedakan. Seperti sebuah gerbang misterius yang terbuka di depannya, Zarathustra mulai terseret ke dalam mimpi yang aneh mimpi yang bukan hanya pantulan dari pikirannya sendiri, tetapi sebuah pesan.

Dalam mimpi itu, Zarathustra berdiri di tengah lautan kabut yang begitu tebal hingga ia tidak bisa melihat apa pun di sekelilingnya. Kegelapan menyelimuti setiap sudut, namun tidak terasa mengancam. Ada rasa kehadiran yang besar, seolah-olah ada sesuatu yang mengawasi dari bayangan, namun tidak terlihat. Di tengah keheningan itu, suara perlahan mulai terdengar, seperti bisikan dari jauh yang menembus kabut dan mencapai telinganya.

"Zarathustra..." Suara itu terdengar dalam, namun lembut, seolah berasal dari kedalaman bumi itu sendiri. "Kau telah membangkitkan kekuatan yang tak terbayangkan. Tapi untuk memahaminya, kau harus mempelajari rahasia terdalamnya."

Zarathustra berusaha mencari sumber suara itu, namun kabut tebal membuatnya sulit melihat. "Siapa kau?" ia bertanya dengan suara yang penuh kewaspadaan.

Suara itu tidak langsung menjawab, tetapi perlahan bayangan mulai muncul di hadapannya. Dari balik kabut, sosok tinggi dan misterius muncul seseorang yang terlihat seperti manusia, namun memancarkan aura kekuatan kuno yang sangat kuat. Wajahnya hampir tidak terlihat, terselubung dalam jubah hitam yang menutupi seluruh tubuhnya. Namun, mata sosok itu bersinar seperti bintang jauh di tengah malam gelap, mengamati Zarathustra dengan intensitas yang membuat jantungnya berdebar lebih cepat.

"Aku adalah Penjaga," kata sosok itu, suaranya bergema dengan tenang di seluruh ruangan mimpi. "Penjaga dari keseimbangan antara api dan bayangan. Kau dan Lucien telah menyatukan kekuatan yang begitu besar, namun belum memahami kedalaman rahasianya."

Zarathustra menatap Penjaga itu dengan campuran rasa penasaran dan kehati-hatian. "Jika kekuatan kami begitu besar, mengapa kau muncul sekarang? Apa yang harus kami pelajari?"

Penjaga itu melangkah lebih dekat, kabut di sekitarnya bergerak seolah hidup, mengikuti setiap langkahnya. "Api dan bayangan tidak bisa disatukan begitu saja. Mereka bukan hanya elemen, tetapi simbol dari dua sisi dunia ini terang dan gelap, kehidupan dan kematian. Jika kalian ingin benar-benar menguasainya, kalian harus memahami keseimbangan antara keduanya. Hanya dengan begitu kalian bisa mengungkapkan rahasia sejati kekuatan kalian."

Zarathustra merasa jantungnya berdebar kencang. Kata-kata Penjaga ini terasa dalam dan penuh makna, tetapi ia masih belum sepenuhnya memahaminya. "Apa maksudmu dengan keseimbangan?" tanyanya, mencoba menggali lebih dalam.

Penjaga itu terdiam sejenak, seolah-olah menimbang kata-katanya. "Bayangan tidak hanya berarti kegelapan, seperti halnya api tidak hanya berarti terang. Bayangan bisa menyembunyikan, melindungi, dan membimbing melalui kegelapan, sementara api bisa membakar atau memberi kehidupan. Kalian harus belajar bagaimana memanfaatkan kedua kekuatan ini dengan bijaksana untuk mengetahui kapan harus menyinari jalan dan kapan harus bersembunyi di balik bayangan."

Saat Penjaga berbicara, Zarathustra merasakan angin lembut berhembus di sekelilingnya, membawa rasa kehangatan yang samar di antara dinginnya kabut. Suara Penjaga mengisi udara, merasuk ke dalam pikiran dan hatinya, seolah-olah menjadi bagian dari dirinya.

"Kekuatan yang kalian miliki berasal dari hubungan kalian baik secara sihir maupun secara emosional," lanjut Penjaga. "Namun, jika hubungan itu tidak seimbang, jika ada ketidakseimbangan antara kepercayaan, cinta, atau rasa takut di antara kalian, kekuatan itu akan menjadi liar. Kalian akan kehilangan kendali, dan itu bisa menghancurkan lebih dari sekadar diri kalian sendiri."

Zarathustra tersentak oleh kata-kata itu. Ia mulai menyadari bahwa yang dikatakan Penjaga bukan hanya soal sihir, tetapi tentang hubungan mendalam yang ia miliki dengan Lucien. Api dan bayangan yang mereka kendalikan tidak hanya simbol dari kekuatan sihir mereka, tetapi juga cerminan dari hati dan jiwa mereka kekuatan yang diwarnai oleh perasaan, baik cinta maupun ketakutan.

"Apa yang harus kami lakukan?" Zarathustra bertanya, suara penuh keseriusan. "Bagaimana kami bisa memastikan bahwa kekuatan ini tetap seimbang?"

Penjaga itu melangkah lebih dekat, hingga hanya beberapa langkah dari Zarathustra. "Kau harus belajar untuk saling memahami lebih dalam. Bukan hanya dalam pertempuran, tetapi juga dalam hati kalian. Emosi yang kalian rasakan, ikatan yang kalian bangun itu semua akan mempengaruhi kekuatan kalian. Untuk mengendalikan api dan bayangan, kalian harus sepenuhnya percaya satu sama lain, dan membuka diri tanpa keraguan."

Zarathustra merasa napasnya semakin berat. Pesan ini tidak hanya tentang kekuatan fisik atau sihir, tetapi juga tentang sesuatu yang lebih pribadi dan mendalam. Sebuah ikatan yang benar-benar menyatu, tidak hanya melalui kekuatan, tetapi juga melalui cinta yang murni.

"Kita harus menyatukan hati kita," Zarathustra berbisik, hampir tidak percaya pada kesimpulannya sendiri. "Tidak ada keraguan, tidak ada ketakutan. Hanya kepercayaan dan cinta."

Penjaga itu mengangguk, cahaya di matanya berkilauan. "Kalian adalah kunci, Zarathustra. Takdir kalian sudah tertulis, tetapi hanya kalian yang bisa memutuskan apakah akan menjalani jalan itu dengan kekuatan penuh atau dihancurkan oleh ketidakpastian. Temukan jalan di antara api dan bayangan, dan hanya dengan begitu kalian bisa menghentikan kekuatan kuno yang mengancam dunia ini."

Zarathustra menatapnya dalam-dalam, perasaan lega dan tanggung jawab bergolak dalam dadanya. Sebelum ia bisa bertanya lebih lanjut, kabut di sekelilingnya mulai memudar, dan sosok Penjaga itu mulai lenyap perlahan-lahan.

"Belajarlah dari mimpimu, Zarathustra," suara Penjaga terdengar terakhir kali sebelum akhirnya segalanya lenyap. "Dan ketika saatnya tiba, kau akan tahu apa yang harus dilakukan."

Zarathustra tersentak bangun, matanya terbuka lebar dalam gelap malam. Jantungnya berdebar kencang, dan keringat dingin membasahi dahinya. Mimpi itu terasa begitu nyata, seolah-olah Penjaga benar-benar hadir di hadapannya. Ia menoleh ke arah Lucien yang masih tertidur di dekat api unggun, dan hati kecilnya bergetar.

Ia tahu apa yang harus dilakukan. Mereka tidak hanya harus melatih kekuatan sihir mereka mereka harus membuka diri satu sama lain, tanpa keraguan. Hanya dengan begitu mereka bisa mengendalikan kekuatan yang begitu besar ini.

Zarathustra berbaring kembali, menatap langit malam yang gelap. Di dalam hatinya, ia merasa lebih yakin dari sebelumnya. Ia dan Lucien memiliki takdir yang lebih besar dari yang pernah mereka bayangkan, dan perjalanan mereka baru saja dimulai.

DIANTARA API DAN BAYANGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang