Chapter 33: Peringatan Sang Nenek Moyang

3 3 0
                                    

Pagi menjelang di kerajaan Verellia, dan cahaya matahari menyinari lembah dengan kehangatan yang lembut. Zarathustra terbangun lebih awal, masih merasakan kehadiran Lucien di sampingnya, hangat dan menenangkan. Ia mengingat ciuman lembut yang mereka bagi di bawah bintang-bintang semalam, merasakannya di dalam hatinya sebagai sebuah kekuatan yang memberi semangat baru untuk menghadapi tantangan yang akan datang.

Namun, saat Zarathustra mengingat kembali momen-momen indah itu, tiba-tiba sebuah gelombang energi yang kuat melintas dalam pikirannya. Seakan-akan suara-suara halus memanggilnya dari dalam jiwa. Dengan penuh rasa ingin tahu dan sedikit cemas, ia bangkit dari tempat tidurnya dan mencari tempat yang lebih tenang di taman istana, tempat di mana suara itu lebih jelas terdengar.

Saat melangkah di antara bunga-bunga yang berwarna-warni, Zarathustra merasakan ketegangan yang menyelimuti dirinya. Ketika ia mencapai sebuah patung kuno yang berdiri di tengah taman, suasana terasa lebih berat. Patung itu menggambarkan nenek moyangnya, seorang ratu yang terkenal dengan kebijaksanaannya dalam mengatasi kegelapan. Zarathustra mendekat, merasakan getaran magis di sekelilingnya.

Dengan konsentrasi penuh, ia menutup matanya dan merasakan energi kuno mengalir dari patung itu. Tiba-tiba, gambar-gambar kabur mulai membentuk diri dalam pikirannya. Ia melihat nenek moyangnya berdiri di depan sebuah altar, berbicara dengan suara yang lembut namun berwibawa.

"Zarathustra," suara itu menggema dalam benaknya, "aku adalah nenek moyangmu, dan aku datang untuk memberimu peringatan. Kegelapan yang kau hadapi tidak hanya berasal dari penjaga yang telah kau lawan, tetapi juga dari dalam dirimu sendiri."

Zarathustra merasa kakinya bergetar, hatinya berdebar. "Apa maksudmu?" tanyanya, berusaha mengerti makna dari pesan itu.

"Setiap kekuatan memiliki harga, dan untuk mengalahkan kegelapan, kau harus memahami dirimu dan semua yang kau cintai. Cinta yang kau rasakan untuk Lucien adalah kekuatan terbesarmu, tetapi itu juga bisa menjadi kelemahan jika tidak dikelola dengan bijak. Sebuah pengorbanan mungkin diperlukan untuk mengakhiri ancaman ini."

Zarathustra menggigit bibirnya, merasakan ketakutan mulai merayap ke dalam pikirannya. "Apa yang harus aku lakukan?"

Nenek moyangnya tersenyum lembut, meskipun matanya menunjukkan kedalaman rasa sakit. "Kau harus menemukan artefak kuno yang tersembunyi di dalam gua terlarang, jauh di dalam wilayah Noctaria. Artefak itu akan membantumu mengendalikan kekuatan yang terbangun dalam dirimu. Tetapi ingat, perjalanan ini tidak akan mudah, dan kau akan dihadapkan pada pilihan sulit."

Dengan perasaan cemas, Zarathustra mendengarkan setiap kata. "Apakah Lucien akan aman?"

"Cinta yang kuat akan membawa perlindungan, tetapi ketidakpastian selalu ada. Kau harus bisa meyakinkan Lucien bahwa dia tidak dapat menghalangi jalanmu, meskipun cinta kalian mungkin menjadi senjata terkuat untuk mengalahkan kegelapan."

Saat suara nenek moyangnya mulai memudar, Zarathustra merasakan cahaya lembut mengalir di sekelilingnya. "Percayalah pada dirimu dan pada cinta kalian. Hanya dengan menyatukan kekuatan itu, kau akan menemukan cara untuk menghentikan kegelapan."

Zarathustra membuka matanya, kembali ke dunia nyata. Jantungnya berdegup kencang, dan ia merasa ada tanggung jawab yang lebih besar di pundaknya. Dengan napas dalam, ia berusaha meresapi pesan yang baru saja ia terima. Ia tahu bahwa ini adalah saatnya untuk melibatkan Lucien dalam rencananya, meskipun itu mungkin membuatnya terluka.

Dengan tekad, ia kembali ke tempat tidur, di mana Lucien masih tertidur nyenyak. Menatap wajah tampannya, Zarathustra merasakan campuran cinta dan kekhawatiran. Dia tahu bahwa meskipun perasaannya mendalam, mereka harus siap menghadapi ancaman yang akan datang.

Setelah beberapa saat, Lucien terbangun, mengerjap-ngerjapkan matanya, tampak bingung sejenak sebelum tersenyum. "Selamat pagi, cinta," katanya dengan suara serak.

"Selamat pagi," jawab Zarathustra, senyum tipis menghiasi wajahnya. Namun, ada ketegangan di dalam diri Zarathustra yang tidak bisa ia sembunyikan. "Aku perlu berbicara denganmu tentang sesuatu yang penting."

Lucien duduk dengan serius, memperhatikan ekspresi Zarathustra. "Apa itu? Kau tampak khawatir."

Zarathustra menarik napas dalam-dalam, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Tadi malam, aku mendapatkan pesan dari nenek moyangku. Ada ancaman yang lebih besar yang akan datang, dan kita harus bersiap untuk itu."

"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Lucien, matanya berbinar dengan semangat.

"Kita perlu menemukan artefak kuno yang tersembunyi di dalam gua terlarang di Noctaria," jawab Zarathustra, merasakan beratnya kata-kata tersebut. "Namun, perjalanan ini akan penuh bahaya, dan aku tidak ingin kau terluka."

"Apakah kau berpikir aku akan membiarkanmu pergi sendirian?" Lucien menatapnya, tekad terpancar dari matanya. "Kita telah melewati begitu banyak hal bersama, dan aku tidak akan membiarkanmu menghadapi ini tanpa aku."

Zarathustra merasakan hangatnya dukungan dari Lucien, tetapi ia tahu bahwa mereka harus berhati-hati. "Aku tahu, tetapi kita harus merencanakan dengan baik. Kita perlu melakukan ini dengan bijak."

Lucien mengangguk, seolah mengerti kedalaman situasi. "Baiklah, mari kita rencanakan perjalanan ini. Bersama, kita akan mengalahkan kegelapan."

Keduanya kemudian mulai berdiskusi tentang langkah-langkah yang perlu diambil. Mereka merencanakan untuk mengumpulkan informasi lebih lanjut mengenai gua terlarang, berbicara dengan sekutu-sekutu mereka yang mungkin memiliki pengetahuan tentang artefak itu. Dalam hati, Zarathustra merasa tenang dengan keberadaan Lucien di sisinya.

Saat mereka mempersiapkan diri untuk perjalanan berbahaya yang akan datang, Zarathustra merasa semangat dan cinta mereka semakin kuat. Pesan dari nenek moyangnya masih bergema di pikirannya, tetapi kini ia tahu bahwa mereka tidak akan menghadapi tantangan ini sendirian. Bersama-sama, mereka akan berjuang melawan kegelapan dan menemukan cara untuk menghentikannya, apapun yang terjadi.

Dengan keyakinan yang baru dan cinta yang mengalir di antara mereka, Zarathustra dan Lucien bersiap untuk memulai perjalanan mereka menuju gua terlarang, di mana ancaman baru dan harapan akan penemuan menanti di depan mereka.

DIANTARA API DAN BAYANGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang