Chapter 25: Pertempuran di Tepi Kekuatan

2 3 0
                                    

Di ujung barat kerajaan, di sebuah lembah yang sunyi, pertempuran tak terhindarkan pun dimulai. Lembah itu dipenuhi dengan tebing-tebing curam dan reruntuhan kuno yang pernah digunakan oleh leluhur mereka untuk menyalurkan kekuatan sihir. Kini, tempat yang dulunya penuh kehidupan berubah menjadi arena pertempuran yang dipenuhi ancaman kegelapan yang sedang bangkit.

Zarathustra dan Lucien berdiri di tepi lembah, dikelilingi oleh energi yang berdesir seperti angin kencang. Di kejauhan, mereka bisa melihat sosok-sosok gelap yang bergerak mendekat para penjaga bayangan yang telah dipanggil oleh kekuatan kuno. Mereka adalah makhluk yang tak sepenuhnya hidup, namun juga tak sepenuhnya mati. Mata mereka memancarkan cahaya ungu gelap, dan setiap gerakan mereka seperti dibimbing oleh kekuatan yang berasal dari kegelapan purba.

Zarathustra merasakan ketegangan di udara, dan sihir api di dalam dirinya merespons, merambat ke ujung jari-jarinya. Namun, ada sedikit ketakutan di dalam hatinya. Meskipun mereka telah berjanji untuk selalu bersama, pertempuran ini adalah ujian nyata kekuatan mereka—ujian untuk melihat apakah mereka benar-benar bisa menggabungkan kekuatan api dan bayangan yang kini mereka kuasai.

"Lucien, mereka datang," bisik Zarathustra, mencoba menenangkan dirinya meski detak jantungnya semakin cepat.

Lucien, yang berdiri di sampingnya, mengangguk dengan tenang. "Aku tahu. Kita harus bekerja sama. Hanya dengan menyatukan kekuatan kita, kita bisa menghadapi mereka." Mata Lucien, yang kini sedikit lebih gelap sejak kehilangan bayangannya, bersinar dengan keyakinan yang kuat.

Zarathustra menoleh kepadanya. "Apakah kau yakin kita bisa melakukannya?"

Lucien menarik napas dalam, lalu menatap lembut ke arah Zarathustra. "Ya. Aku yakin. Kita tidak akan kalah selama kita bersama." Dia menggenggam tangan Zarathustra dengan erat, memberi sinyal bahwa mereka harus memulai sekarang, sebelum para penjaga semakin dekat.

Zarathustra merasakan kehangatan mengalir melalui genggaman tangan Lucien. Ada kekuatan baru di dalam dirinya yang mulai berdenyut, seolah-olah api di dalam dirinya semakin membesar ketika menyatu dengan bayangan yang Lucien bawa. Mereka menutup mata sejenak, merasakan kekuatan sihir mereka beresonansi, menyatu dengan sempurna.

Para penjaga bayangan semakin mendekat, dan mereka bergerak dengan kecepatan tak terduga. Suara langkah kaki mereka di tanah yang keras menggema di seluruh lembah. Tanah bergetar di bawah kekuatan mereka, menandakan bahaya yang semakin mendekat.

Dengan tarikan napas panjang, Zarathustra melepaskan tangannya dari Lucien dan mengangkat kedua tangannya ke udara. "Api Verellia!" serunya, suaranya penuh dengan energi sihir yang menyala-nyala.

Dari tanah di sekitarnya, muncul api yang berkobar, membentuk lingkaran pelindung di sekitar mereka berdua. Api itu tidak hanya panas, tapi juga penuh dengan sihir kuno, kekuatan yang diwarisi Zarathustra dari leluhur kerajaannya. Nyala api itu berwarna merah dan emas, membakar dengan kekuatan yang luar biasa.

Namun, penjaga bayangan tidak gentar. Mereka terus maju, bayang-bayang mereka menari di antara nyala api, berusaha mengatasi kekuatan yang dihadirkan oleh Zarathustra. Satu demi satu, mereka melompat melewati lingkaran api, namun Lucien sudah siap.

Dengan gerakan cepat, Lucien mengangkat tangannya, dan bayangan di sekitarnya mulai bergerak. Bayangan itu memanjang, membentuk sosok-sosok hitam yang melesat ke arah para penjaga bayangan, menghentikan mereka sebelum bisa mencapai Zarathustra. Kegelapan dan cahaya bertabrakan, menghasilkan ledakan energi di udara.

Zarathustra melompat ke samping, mengarahkan ledakan api langsung ke penjaga yang mencoba mendekatinya. Sementara itu, Lucien dengan lincah bergerak di antara bayangan, mengendalikan kekuatan gelapnya untuk melindungi mereka berdua.

"Zarathustra, lebih banyak yang datang!" teriak Lucien, menunjuk ke arah tebing di atas mereka.

Di puncak tebing, muncul lebih banyak penjaga bayangan, siap menyerang dari atas. Jumlah mereka tampak tak terbatas, dan setiap kali satu penjaga jatuh, dua lagi akan muncul menggantikan.

"Kita harus menghentikan ini!" teriak Zarathustra, suaranya tegang. "Mereka tak akan berhenti jika kita tak menemukan sumber kekuatan mereka!"

Lucien mengangguk. "Aku tahu. Aku bisa merasakan kekuatan bayangan di lembah ini. Ini bukan pertempuran biasa. Ada sesuatu yang lebih dalam yang menggerakkan mereka."

Mereka berdua tahu bahwa melawan para penjaga ini tak akan cukup. Ada sesuatu yang lebih besar di sini—sesuatu yang tersembunyi di bawah tanah lembah ini, sesuatu yang memanggil kekuatan kegelapan untuk bangkit.

"Ayo kita temukan sumbernya," ujar Zarathustra tegas. Dia mulai memfokuskan kekuatannya, mengarahkan energi apinya untuk menerangi seluruh lembah. Cahaya api yang terang itu menyebar, mengusir sebagian bayangan yang menutupi tanah. Dan di tengah lembah, di antara reruntuhan kuno, mereka melihat sesuatu yang berkilauan.

Itulah dia. Sebuah altar batu tua yang diukir dengan lambang kuno. Dari altar itu, cahaya ungu gelap berpendar lemah—sumber dari kekuatan para penjaga bayangan.

"Itu dia!" seru Zarathustra.

Tanpa berpikir panjang, mereka berdua bergerak cepat menuju altar tersebut, melawan setiap penjaga yang menghalangi jalan mereka. Lucien menggunakan kekuatan bayangannya untuk menahan para penjaga, sementara Zarathustra memfokuskan sihir apinya untuk menghancurkan altar tersebut.

Ketika mereka akhirnya sampai di depan altar, Zarathustra menempatkan kedua tangannya di atas batu tua itu. Sihir apinya membakar, menyelimuti seluruh altar dengan panas yang membara. Namun, kekuatan dari dalam altar melawan balik, mencoba mencegah api Zarathustra menghancurkannya.

"Kita harus melakukannya bersama!" seru Lucien.

Lucien meletakkan tangannya di atas altar di samping Zarathustra, dan bayangan mulai merambat dari tangannya, menyelimuti altar tersebut. Api dan bayangan mulai bertabrakan, menyatu dalam pusaran energi yang kuat. Getaran dari kekuatan mereka mengguncang lembah, membuat para penjaga bayangan terhenti sejenak.

Dengan kekuatan penuh, mereka menyatukan sihir mereka api yang membakar dan bayangan yang gelap. Suara ledakan besar terdengar ketika altar itu hancur berkeping-keping. Cahaya ungu yang memancar dari altar itu lenyap seketika, dan para penjaga bayangan yang sebelumnya begitu kuat mulai menghilang satu per satu, seperti kabut yang tertiup angin.

Keheningan tiba-tiba meliputi lembah. Zarathustra dan Lucien berdiri terengah-engah di tengah-tengah reruntuhan, menyadari bahwa mereka telah berhasil menghentikan sumber kekuatan bayangan. Tapi pertempuran ini hanyalah awal dari perjalanan mereka.

"Kita berhasil," bisik Zarathustra, mencoba menenangkan dirinya.

Lucien mengangguk, matanya kembali tenang. "Tapi ini belum selesai. Ada kekuatan yang lebih besar di balik semua ini. Dan kita harus bersiap untuk menghadapinya."

Zarathustra memandang Lucien, lalu tersenyum tipis. "Aku siap. Selama kau bersamaku, kita bisa menghadapi apa pun."

Lucien meraih tangan Zarathustra, dan untuk sejenak, mereka saling menatap dalam keheningan. Meski ancaman masih menunggu di depan, mereka tahu bahwa kekuatan yang menyatukan mereka lebih besar dari apa pun yang bisa menghalangi jalan mereka.

DIANTARA API DAN BAYANGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang