Chapter 3: Sarang Kegelapan

10 7 0
                                    

Angin malam terasa semakin dingin ketika Zarathustra dan Lucien mendekati sarang makhluk bayangan. Di depan mereka, tebing curam yang diselimuti kabut hitam tampak seperti mulut raksasa yang siap menelan siapa saja yang berani mendekat. Di sekitar mereka, cahaya bulan perlahan memudar, seolah takut menembus kegelapan yang menyelimuti tempat itu.

Zarathustra menghentikan langkahnya sejenak, matanya menelusuri sarang itu. Di kejauhan, ia melihat kilatan api yang samar, tanda dari keberadaan Azhura. Jantungnya berdetak kencang, tetapi ia tidak membiarkan ketakutan menguasai dirinya.

"Kau yakin Phoenix-ku ada di sana?" Zarathustra bertanya dengan nada penuh tekad.

Lucien mengangguk, matanya tajam menatap ke depan. "Aku bisa merasakan kehadiran Azhura. Tapi makhluk bayangan itu... mereka akan menghalangi kita."

"Makhluk-makhluk ini, dari mana mereka berasal?" Zarathustra bertanya, tangannya menggenggam erat belati yang selalu dibawanya.

Lucien terdiam sejenak sebelum menjawab. "Mereka lahir dari kegelapan yang menghuni setiap sudut Noctaria. Dulu, makhluk-makhluk ini hanya legenda, tetapi belakangan mereka semakin sering muncul. Ada kekuatan di Noctaria yang telah terbangun, kekuatan yang bahkan aku tidak sepenuhnya mengerti."

Zarathustra menatap Lucien dengan mata menyipit. "Dan kau berani mendekati kekuatan itu?"

Lucien menatap balik, sorot matanya penuh keteguhan. "Aku tidak punya pilihan. Noctaria berada di ambang kehancuran, dan jika makhluk-makhluk ini dibiarkan, bukan hanya Noctaria yang akan menderita dunia kita semua akan berubah."

Mereka melangkah lebih dalam menuju sarang, dan bayangan-bayangan di sekitar mereka semakin pekat. Setiap langkah terasa seperti melangkah ke dalam perut kegelapan yang tak berujung. Tiba-tiba, dari balik bayang-bayang, muncullah sosok hitam setinggi dua kali manusia biasa. Makhluk bayangan itu bergerak tanpa suara, tubuhnya tampak berdenyut seolah terbuat dari kabut gelap.

Lucien bergerak cepat, mengangkat tangannya dan mengeluarkan mantra. Sebuah lingkaran sihir dengan cahaya biru muncul di depannya, menahan makhluk itu dari serangan lebih lanjut. "Ini bukan waktunya untuk ragu, Zarathustra," katanya, suaranya tegas. "Kita harus bekerja sama."

Zarathustra menarik napas dalam-dalam. Di sisi lain dari keraguan, ada tekad kuat dalam dirinya. Ia mengangkat belatinya, lalu menyerbu ke arah makhluk itu. Dengan gerakan cepat dan penuh keahlian, ia menyerang makhluk bayangan itu, belatinya memotong kabut hitam yang membentuk tubuhnya. Makhluk itu mengeluarkan raungan yang dalam sebelum lenyap menjadi abu.

Namun, tidak lama kemudian, lebih banyak makhluk bayangan muncul dari kegelapan. Mereka semakin banyak, membanjiri jalanan sempit yang mereka lalui.

"Ini terlalu banyak!" teriak Zarathustra.

Lucien tampak tetap tenang meski dikepung. "Kita hanya perlu mencapai sarang di atas sana. Fokus pada tujuan kita."

Zarathustra menggertakkan giginya. Meski sulit, ia percaya pada instingnya dan untuk pertama kalinya, sedikit pada Lucien. Bersama, mereka melanjutkan perjalanan menuju sarang, meski langkah mereka semakin berat oleh banyaknya musuh yang menghadang.

Akhirnya, setelah melewati rintangan yang tak terhitung, mereka tiba di mulut sarang makhluk bayangan. Di dalamnya, terlihat kilatan api yang lebih terang, dan Zarathustra mengenali nyala tersebut. Itu adalah Azhura, Phoenix kesayangannya, yang tampak terjebak dalam lingkaran sihir hitam. Sayap Azhura mengepak-ngepak, berusaha melarikan diri, namun kekuatan sihir gelap menahannya erat.

Zarathustra langsung maju, tetapi Lucien menahannya dengan satu tangan. "Tunggu," katanya dengan nada serius. "Ini jebakan. Jika kau mendekat tanpa perlindungan, kau akan tersedot ke dalam sihir itu juga."

Zarathustra menatap Lucien dengan marah. "Azhura membutuhkan aku! Aku tidak bisa hanya berdiri di sini!"

"Aku tahu," jawab Lucien tenang. "Tapi kita harus melakukannya dengan benar. Sihir ini tidak bisa dipatahkan dengan kekuatan biasa."

Lucien kemudian mulai menggumamkan mantra dalam bahasa kuno. Cahaya biru kembali muncul dari tangannya, dan lingkaran sihir di sekitar Phoenix mulai melemah. Namun, di saat yang bersamaan, getaran keras terdengar dari dalam sarang. Makhluk bayangan yang lebih besar, dengan tubuh yang tampak seperti bayangan raksasa, muncul dari kegelapan, matanya menyala merah darah.

Zarathustra mengangkat belatinya sekali lagi, siap menghadapi makhluk itu. Namun sebelum ia sempat menyerang, Lucien melangkah maju, berdiri di antara Zarathustra dan makhluk itu. "Kau fokus pada Azhura. Biarkan aku yang menghadapi ini."

Zarathustra tertegun sejenak, tetapi kemudian mengangguk. Ia berlari menuju Azhura, sementara Lucien maju menghadapi makhluk bayangan raksasa itu.

Saat Zarathustra mendekati Phoenix-nya, Azhura mengeluarkan suara parau, tanda kelelahan dan penderitaannya. Zarathustra menyentuh lingkaran sihir yang menahan Phoenix, merasakan panas yang menyengat, tetapi ia tidak mundur. Dengan sekuat tenaga, ia mulai memecahkan sihir itu, seolah berusaha meruntuhkan dinding tak kasatmata yang menahan burung abadi itu.

Di belakangnya, terdengar suara pertarungan sengit antara Lucien dan makhluk bayangan. Namun, Zarathustra tetap fokus pada Azhura. Ia tidak akan menyerah. Azhura adalah bagian dari dirinya dan dia tidak akan membiarkan Phoenix-nya hilang begitu saja.

Tiba-tiba, lingkaran sihir itu meledak, dan Azhura terbebas. Burung itu mengeluarkan suara nyaring, menyebarkan sayap api yang besar. Zarathustra tersenyum lega, namun kegembiraannya terputus oleh suara gemuruh di belakangnya.

Saat ia berbalik, ia melihat Lucien terkapar di tanah, makhluk bayangan raksasa itu siap menyerang dengan cakar besarnya. Tanpa berpikir panjang, Zarathustra berlari, mengangkat belati, dan dengan satu serangan yang tepat, ia menebas bayangan itu. Makhluk itu menghilang dalam pusaran asap hitam.

Lucien bangkit perlahan, wajahnya menunjukkan rasa terima kasih yang dalam. "Kau menyelamatkanku," katanya, napasnya terengah.

Zarathustra menggeleng, menatap Lucien dengan campuran emosi yang sulit ia jelaskan. "Kita saling menyelamatkan," jawabnya singkat.

Namun di balik kemenangan mereka, Zarathustra mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Perasaan yang perlahan tumbuh, sebuah ikatan yang tak terelakkan. Ia mulai menyadari, pertemuan ini bukan hanya tentang Azhura atau ancaman dari bayangan, tapi tentang sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang menghubungkan dirinya dengan Lucien dan ini baru permulaan.

DIANTARA API DAN BAYANGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang