Chapter 37: Pertempuran di Puncak Gunung

2 3 0
                                    

Udara di puncak gunung itu dingin dan tajam, menggigit setiap napas yang mereka ambil. Di atas sana, angin bertiup kencang, seolah alam itu sendiri tahu bahwa sesuatu yang mengerikan sedang berlangsung. Puncak gunung tempat mereka berdiri adalah lokasi yang dipenuhi misteri dan kegelapan. Kabut pekat bergulung-gulung di sekitar mereka, menutupi lembah di bawah seperti samudra gelap yang tak berujung.

Zarathustra dan Lucien memandang ke depan, ke arah sosok besar yang berdiri di ujung tebing, dikelilingi oleh bayangan-bayangan kelam yang berputar di sekitarnya. Penjaga terakhir, makhluk yang memiliki kekuatan dari zaman kuno, tampak seperti raksasa yang terbuat dari kegelapan itu sendiri. Matanya bersinar merah, memancarkan kejahatan purba yang mengguncang tulang dan jiwa siapa pun yang menatapnya.

"He's here," bisik Lucien, menggenggam tangan Zarathustra lebih erat. Keduanya tahu bahwa inilah saatnya pertempuran terakhir yang akan menentukan nasib kerajaan mereka.

Zarathustra mengangguk, merasakan kekuatan api dalam darahnya berdenyut lebih kuat dari sebelumnya. Sejak luka di pertempuran sebelumnya, kekuatan kuno di dalam dirinya telah bangkit sepenuhnya, menjadikan dia lebih kuat. Tapi ancaman di depan mereka adalah yang terbesar yang pernah mereka hadapi. Kekuatan kegelapan yang berputar di sekitar penjaga itu tampak hampir tidak bisa dikalahkan.

"Aku siap," jawabnya dengan tenang, matanya memancarkan keyakinan. "Kita akan menyelesaikan ini bersama."

Penjaga itu mengangkat tangannya yang besar, dan dari tanah di sekitar mereka, bayangan-bayangan mulai terangkat. Mereka membentuk prajurit-prajurit hitam, tubuh mereka kabur seolah-olah terbuat dari asap, tetapi mata mereka berkilauan dengan kebencian yang nyata. Para prajurit bayangan menyerang mereka berdua tanpa belas kasihan, dan dalam sekejap, medan pertempuran yang sepi berubah menjadi kekacauan penuh.

Zarathustra mengangkat tangannya, dan api biru menyala dari jari-jarinya. Dia melepaskan gelombang panas yang melanda para prajurit bayangan, membakar mereka dengan api suci yang menghanguskan kegelapan. Di sebelahnya, Lucien menggunakan kekuatannya sendiri, bayangan-bayangan di sekitarnya berbalik melawan musuh-musuh mereka. Dia mengendalikan bayangan seperti seorang raja yang memerintah pasukannya, mengarahkan mereka untuk menghancurkan prajurit kegelapan dengan kekuatan dan strategi yang tak terduga.

Pertarungan itu sengit. Setiap kali mereka mengalahkan satu prajurit bayangan, dua lagi muncul. Tapi Zarathustra dan Lucien bertarung berdampingan, gerakan mereka selaras sempurna. Seperti dua sisi dari satu koin, mereka melengkapi satu sama lain. Zarathustra adalah api yang menghancurkan, sementara Lucien adalah bayangan yang melindungi dan menyerang balik dengan ketepatan yang mematikan.

"Lebih cepat, kita harus menghentikan Penjaga itu sebelum dia berhasil membangkitkan kegelapan sepenuhnya!" seru Lucien, menebas salah satu prajurit bayangan dengan pedangnya yang memancarkan aura gelap.

Zarathustra menatap penjaga yang berdiri di ujung tebing, mengangkat tongkat yang dipenuhi dengan kekuatan gelap. Penjaga itu sedang mengucapkan mantra-mantra kuno, dan kegelapan di sekitarnya semakin padat, seolah-olah malam itu sendiri sedang mengalir dari tanah dan langit menuju sosok besar itu.

"Kita harus menyerang sekarang!" seru Zarathustra. Dengan satu gerakan, dia menciptakan ledakan api yang kuat, menyapu para prajurit bayangan terakhir dari jalannya. "Ini kesempatan kita!"

Mereka berdua berlari menuju Penjaga, mendekat dengan cepat di tengah kegelapan yang berputar di sekitarnya. Namun, tepat saat mereka hampir tiba, tanah di bawah kaki mereka mulai retak. Sebuah gempa yang dihasilkan oleh kekuatan sihir yang dilepaskan Penjaga itu membuat puncak gunung berguncang, mengirimkan batu-batu besar meluncur dari tebing ke lembah di bawah.

Zarathustra terhuyung-huyung, tetapi Lucien meraih tangannya, menariknya kembali dengan kekuatan. "Jangan menyerah! Kita sudah sejauh ini."

Mereka berhasil mendekat, tetapi Penjaga itu menyadari keberadaan mereka. Dengan suara menggelegar yang bergema di seluruh pegunungan, Penjaga terakhir itu mengangkat tangannya dan meluncurkan gelombang energi kegelapan ke arah mereka. Zarathustra mengangkat perisai api, sementara Lucien mengendalikan bayangannya untuk menyerap kekuatan gelap itu. Mereka berhasil menahan serangan itu, tetapi kekuatan Penjaga tampaknya semakin besar setiap detiknya.

"Aku bisa merasakannya!" seru Zarathustra. "Dia hampir selesai! Jika dia berhasil membangkitkan kegelapan sepenuhnya, kita tidak akan bisa menghentikannya."

"Kita harus menghancurkan tongkat itu," Lucien balas berkata, menatap tongkat sihir di tangan Penjaga. "Itulah sumber kekuatannya."

Dengan cepat, mereka merencanakan serangan terakhir mereka. Zarathustra akan menggunakan kekuatan apinya untuk menyerang secara langsung, sementara Lucien akan menyelinap di balik bayangan untuk menyerang dari belakang dan mengambil tongkat Penjaga.

Zarathustra menyalakan api yang lebih besar dari sebelumnya, memfokuskan semua kekuatannya ke dalam satu bola api biru menyala. Dengan satu lemparan yang penuh kekuatan, dia melepaskannya ke arah Penjaga. Ledakan itu menggetarkan puncak gunung, menciptakan badai api yang membakar semua yang ada di sekitarnya. Penjaga itu terguncang, mencoba bertahan dari serangan luar biasa itu.

Sementara Penjaga berjuang menahan ledakan api, Lucien bergerak melalui bayangan, menyelinap di antara kegelapan. Ketika dia sampai di belakang Penjaga, dia melihat kesempatan emas. Dengan satu ayunan cepat, Lucien memotong tangan Penjaga yang memegang tongkat itu. Jeritan keras yang mengerikan terdengar, menggema di seluruh pegunungan saat Penjaga terakhir itu kehilangan kontrol atas kekuatannya.

Zarathustra dan Lucien bergerak cepat. Tongkat itu jatuh ke tanah, dan tanpa ragu, Zarathustra menghancurkannya dengan api terkuatnya. Begitu tongkat itu hancur, seluruh medan perang berhenti. Para prajurit bayangan lenyap, dan kegelapan yang membungkus puncak gunung perlahan mulai memudar.

Penjaga itu terjatuh ke tanah, kekuatannya telah hilang sepenuhnya. Dengan napas terakhirnya, dia berbisik, "Kalian tidak bisa menghentikan kegelapan selamanya. Ini baru permulaan..."

Zarathustra dan Lucien berdiri bersama, menatap sosok besar yang perlahan-lahan menghilang menjadi debu. Mereka tahu bahwa meskipun mereka telah menang, ancaman yang lebih besar mungkin masih menunggu. Tapi untuk saat ini, mereka telah menghentikan kebangkitan kegelapan.

"Kita berhasil," kata Lucien, suaranya penuh kelegaan.

Zarathustra merasakan air mata mengalir di pipinya. Mereka telah bertarung dan berkorban, dan akhirnya, mereka menang. Di atas puncak gunung yang sekarang sunyi, mereka berdiri di bawah langit yang jernih, dengan bintang-bintang bersinar terang di atas mereka. Di tengah kegelapan yang mereka hadapi, cinta mereka tetap menjadi cahaya yang tak terpadamkan.

"Kita lakukan ini bersama," kata Zarathustra, menatap Lucien dengan penuh cinta. Mereka saling merangkul, merasakan kehangatan satu sama lain di tengah dinginnya malam. Pertempuran mereka mungkin belum selesai, tapi mereka tahu bahwa bersama-sama, mereka mampu mengatasi apa pun yang datang di masa depan.

DIANTARA API DAN BAYANGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang