Chapter 17: Bayangan dari Masa Lalu

4 3 0
                                    

Di tengah kepanikan dan kegelapan yang mengancam, Zarathustra dan Lucien berdiri teguh di hadapan entitas bayangan yang baru terbangun. Udara di sekitar mereka terasa semakin berat, dipenuhi oleh rasa dingin dan ketakutan yang tidak wajar. Namun, api yang menyala di hati Zarathustra dan bayangan yang melindungi Lucien menjadi kekuatan yang membedakan mereka dari semua yang lain.

"Bayangan ini... terlalu kuat," bisik Lucien, matanya fokus pada sosok mengerikan di hadapannya.

Zarathustra memegang tangan Lucien erat, mencoba menenangkan kegelisahannya. "Bayangan ini mungkin lebih tua dari waktu, tetapi kita memiliki sesuatu yang lebih kuat keberanian dan cinta kita. Kita tak bisa mundur sekarang."

Entitas itu bergerak dengan langkah perlahan, tubuhnya seakan mengalir seperti asap pekat. Setiap langkahnya meninggalkan bekas luka di tanah di bawahnya. Mata merah menyala itu terfokus pada mereka, seolah-olah mengukur jiwa mereka yang rapuh dibandingkan dengan kekuatan purbanya.

"Kalian berdua," suara entitas itu bergema, suaranya terdengar seperti ribuan bisikan yang menyatu, "telah melangkah terlalu jauh. Kalian mencoba melawan takdir yang sudah tertulis dalam bayangan. Kalian tidak akan menang."

Zarathustra mengangkat tangannya, api merah-oranye menyala dari telapak tangannya, menyinari kegelapan di sekitarnya. "Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan dunia kami!"

Namun, sebelum ia sempat melancarkan serangan, sesuatu yang tak terduga terjadi. Suara yang lain muncul dari dalam kegelapan. Lembut, seakan berasal dari masa yang sudah lama hilang. "Zarathustra..."

Zarathustra berhenti, matanya melebar. Suara itu ia mengenalnya. Itu adalah suara yang pernah ia dengar dalam mimpi-mimpinya, suara dari masa lalunya yang terlupakan.

Lucien memandangnya, bingung. "Apa yang terjadi?"

Zarathustra menatap kosong ke dalam kegelapan. "Itu... itu suara ibuku."

Lucien tertegun. "Tapi bagaimana mungkin?"

Entitas bayangan di hadapan mereka perlahan berubah bentuk. Dari asap pekat yang membentuk tubuhnya, muncul siluet seorang wanita, tinggi dan anggun, dengan rambut panjang yang bergelombang, berwarna hitam pekat seperti malam tanpa bintang. Mata merah yang menakutkan berubah menjadi mata yang penuh kasih sayang, mirip dengan mata yang dimiliki Zarathustra.

"Zarathustra," suara lembut itu terdengar lagi, lebih nyata. "Ini aku... ibumu."

Zarathustra mundur beberapa langkah, bingung dan tersesat dalam pikirannya. "Tidak mungkin... kau sudah lama tiada."

Wanita itu tersenyum lembut, meskipun senyumnya dipenuhi oleh rasa sakit. "Aku terjebak dalam bayangan ini, terikat oleh kekuatan yang lebih tua dari Verellia dan Noctaria. Aku terpaksa menjadi bagian dari entitas yang bangkit ini."

Lucien mengernyitkan alisnya. "Bagaimana mungkin?"

Wanita itu melanjutkan, "Dahulu kala, ketika perang besar antara Verellia dan Noctaria pecah, kekuatan kuno ini mencoba menguasai dunia melalui konflik. Aku, bersama beberapa penyihir kuat lainnya, memutuskan untuk mengorbankan diri kami, mengunci kekuatan ini di dalam gua ini agar tidak membinasakan dunia. Namun, saat itu, aku tidak menyadari bahwa aku juga menjadi bagian dari kegelapan yang kutaklukkan."

Zarathustra terdiam, kata-kata ibunya menusuk ke dalam hatinya seperti sembilu tajam. Kenangan tentang ibunya kembali melintas di benaknya—kasih sayang, kehangatan, dan kebijaksanaannya yang dulu selalu melindungi Zarathustra sejak kecil. Namun kini, wanita yang berdiri di depannya bukan lagi ibunya yang ia kenal. Ia adalah bayangan masa lalu, terperangkap dalam kegelapan purba.

"Jika kau ibuku, kenapa kau mencoba menghancurkan kami?" tanya Zarathustra dengan suara penuh rasa sakit. "Kenapa kau bangkit bersama kegelapan ini?"

Wanita itu tampak tersiksa oleh pertanyaannya. "Aku tidak memiliki kendali atas apa yang terjadi, Zarathustra. Kekuatan ini lebih besar dari yang kau bayangkan. Tapi masih ada harapan... hanya kau dan Lucien yang bisa menghentikan siklus ini."

Lucien, yang menyimak dengan penuh perhatian, akhirnya angkat bicara. "Bagaimana caranya? Jika kekuatan ini sudah begitu lama terkunci, bagaimana mungkin kita menghentikannya sekarang?"

Wanita itu memandang mereka berdua dengan tatapan serius. "Kalian harus menyatukan api dan bayangan. Hanya dengan menyatukan kekuatan kalian yang berlawanan, kalian bisa menghentikan kebangkitan penuh entitas ini. Kalian adalah dua bagian dari satu kesatuan. Itulah sebabnya mengapa kegelapan ini membangkitkan ibumu untuk menghentikanmu."

Zarathustra dan Lucien saling bertukar pandang. Mereka sudah mengetahui bahwa kekuatan mereka saling melengkapi, tetapi sekarang mereka mengerti bahwa hubungan mereka jauh lebih dalam dari itu. Cinta mereka, kepercayaan mereka satu sama lain, adalah kunci untuk mengalahkan ancaman yang lebih besar dari sekadar pertempuran sihir biasa.

Wanita itu melangkah lebih dekat, matanya penuh dengan kasih sayang terakhir yang bisa ia berikan kepada putrinya. "Aku selalu tahu kau akan menjadi kuat, Zarathustra. Dan sekarang, kau memiliki kesempatan untuk melakukan hal yang benar. Tapi ketahuilah, ini bukan hanya tentang kekuatan sihir. Ini tentang kekuatan hati kalian berdua."

Air mata mengalir di pipi Zarathustra saat ia mendekati ibunya, merasa sakit yang mendalam melihat ibunya terperangkap dalam bayangan yang mengerikan ini. "Ibu... aku akan menyelamatkanmu. Aku akan menghentikan semua ini."

Wanita itu tersenyum lembut sekali lagi. "Aku percaya padamu, putriku."

Kemudian, dengan kilatan cahaya terakhir, bayangan itu memudar, menghilang kembali ke dalam kegelapan yang tak terjamah. Ruangan menjadi hening sekali lagi, hanya diselimuti oleh cahaya obor yang redup. Zarathustra merasakan hatinya lebih berat dari sebelumnya, tetapi sekarang dia tahu bahwa jalan yang harus ditempuh sudah jelas.

Lucien mendekatinya, tangannya menyentuh lembut bahunya. "Kita akan melakukannya bersama. Kita akan menghentikan ini."

Zarathustra mengangguk pelan. "Ya, bersama."

Mereka melangkah maju, menuju bagian terdalam dari gua, siap menghadapi apa pun yang menunggu mereka di sana. Masa lalu telah memberikan mereka petunjuk, tetapi masa depan tetap tidak pasti. Satu hal yang pasti, mereka harus menghadapi kegelapan ini bukan hanya dengan kekuatan sihir, tetapi dengan kekuatan hati mereka yang bersatu.

DIANTARA API DAN BAYANGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang