Chapter 26: Luka yang Tertinggal

3 3 0
                                    

Setelah kehancuran altar, keheningan yang mendalam menyelimuti lembah. Udara masih terasa panas, dan aroma abu serta sihir yang membakar memenuhi sekeliling. Zarathustra terhuyung-huyung di samping Lucien, napasnya terengah-engah. Wajahnya pucat, dan di dadanya tampak luka terbuka yang dalam, sebuah bekas dari serangan terakhir salah satu penjaga bayangan sebelum mereka berhasil menghancurkan sumber kekuatan gelap itu.

"Zarathustra, kau terluka!" Lucien langsung berlutut di sisinya, matanya penuh kekhawatiran. Darah perlahan merembes melalui pakaian perang Zarathustra, mengalir ke tanah yang telah ditaburi abu dan debu sihir.

Zarathustra berusaha tersenyum tipis, meski rasa sakit menyengat di tubuhnya. "Aku baik-baik saja... hanya sedikit terluka. Kita berhasil menghentikan mereka, kan?"

Namun, Lucien tidak terhibur. Matanya terus memandangi luka itu, yang tampaknya lebih dalam dari yang terlihat. Luka tersebut tidak hanya berasal dari serangan fisik, tapi juga mengandung sisa-sisa sihir kegelapan yang menyerang tubuhnya dari dalam. "Luka ini tidak biasa. Aku harus segera meyembuhkannya sebelum sihir gelap ini semakin menyebar."

Dengan hati-hati, Lucien membantu Zarathustra berbaring di atas rerumputan yang mulai tumbuh kembali setelah kehancuran lembah. Sihir mereka telah menyatukan kembali energi kehidupan di tempat ini, tetapi kini nyawa Zarathustra yang berada di ujung tanduk.

Lucien menatap lembut wajah Zarathustra. "Kau harus bertahan. Aku tidak akan membiarkanmu kalah dari ini." Dia kemudian mulai menyalurkan sihirnya, memanggil bayangan yang tersisa di sekitarnya. Sihir bayangannya yang kini terhubung dengan kekuatan penyembuhan mulai meresap melalui luka Zarathustra, berusaha menenangkan nyeri dan menghentikan penyebaran energi gelap itu.

Zarathustra menahan erangan kesakitan, tubuhnya bergetar di bawah kekuatan bayangan yang perlahan-lahan meresap ke dalam luka. Sihir api di dalam dirinya memberontak, menolak kehadiran bayangan. Namun, Lucien mengeraskan hatinya, terus berusaha mengendalikan kekuatan bayangan yang menyembuhkan tanpa melukai Zarathustra lebih jauh.

"Jangan melawannya," bisik Lucien dengan suara penuh perhatian. "Aku tahu api di dalam dirimu kuat, tapi biarkan aku membantu. Aku tidak akan membiarkanmu sendirian dalam rasa sakit ini."

Zarathustra, meski dilanda rasa sakit yang luar biasa, memejamkan mata dan menghela napas panjang. Dia percaya pada Lucien. Di tengah rasa sakit yang membakar tubuhnya, dia tahu bahwa hanya dengan menerima bantuan Lucien, dia bisa bertahan dari luka yang semakin memburuk.

Perlahan-lahan, sihir bayangan mulai menyusup lebih dalam, memecah kekuatan kegelapan yang bercokol di dalam luka Zarathustra. Namun, proses ini tidaklah mudah. Setiap detik yang berlalu seperti sebuah pertempuran baru, di mana Lucien harus melawan sisa-sisa energi gelap sambil memastikan tubuh Zarathustra tidak runtuh di bawah tekanan penyembuhan yang rumit ini.

"Lucien... Aku merasa... berat," bisik Zarathustra di antara napas terputus-putus. "Seperti ada sesuatu yang menahanku."

Lucien menghentikan penyembuhan sejenak, menggenggam tangan Zarathustra dengan erat. "Itu sihir gelap, sayang. Aku hampir berhasil mengusirnya, tapi kau harus tetap kuat. Aku bersamamu."

Zarathustra membuka matanya, melihat ke arah Lucien dengan tatapan yang penuh kelembutan, meski dilingkupi oleh rasa sakit yang nyata. "Kau selalu bersamaku, Lucien. Itu yang membuatku kuat."

Kata-kata Zarathustra memberikan Lucien dorongan semangat yang lebih besar. Dengan keyakinan yang membara, Lucien menyalurkan energi terakhirnya, memanggil bayangan yang tersisa untuk menyelesaikan tugas mereka. Dalam satu tarikan napas panjang, sihir gelap yang tersisa dalam tubuh Zarathustra akhirnya terpecah, menghilang seperti kabut yang tersapu angin.

Zarathustra mengerang sekali lagi, lalu napasnya mulai melambat. Luka di dadanya tidak lagi berdarah, meski masih terasa nyeri. Tubuhnya masih lemah, tetapi nyawanya terselamatkan.

Lucien jatuh berlutut di sampingnya, terengah-engah dan lelah setelah mengerahkan semua kekuatannya. "Kau aman sekarang," ucapnya, dengan suara penuh kelegaan. "Lukamu akan sembuh, tapi kita harus berhati-hati."

Zarathustra tersenyum tipis, meski wajahnya masih pucat. "Kau menyelamatkanku lagi."

Lucien membalas senyum itu, meski hatinya masih diliputi kecemasan. Dia tahu bahwa luka fisik Zarathustra mungkin bisa disembuhkan, tetapi ada luka lain yang tersisa—luka dalam jiwa mereka berdua, akibat semua pertempuran ini. Perasaan ketidakpastian masih mengintai, bayangan akan ancaman yang lebih besar terus membayangi masa depan mereka.

Namun, untuk saat ini, mereka saling mendekatkan diri, saling memberikan kekuatan satu sama lain. Di lembah yang sunyi dan sepi, Zarathustra dan Lucien duduk bersama, membiarkan sejenak keheningan meliputi mereka, berharap bahwa ketenangan yang singkat ini akan memberi mereka kekuatan untuk menghadapi apa yang akan datang.

DIANTARA API DAN BAYANGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang