Chapter 32: Romantika di Bawah Bintang

2 3 0
                                    

Malam tiba dengan lembut, membungkus lembah dengan keheningan yang damai. Zarathustra dan Lucien beristirahat setelah pertempuran sengit melawan penjaga, mencari tempat perlindungan di bawah naungan pohon-pohon tinggi yang memberikan perlindungan dari kegelapan malam. Angin berbisik lembut, membawa aroma malam yang segar dan suara alam yang menenangkan.

Zarathustra memandang ke langit, terpesona oleh jutaan bintang yang bersinar cerah. Setiap titik cahaya tampak seperti harapan baru, menyalakan semangatnya setelah pertarungan yang melelahkan. "Lucien," panggilnya, suaranya lembut, "lihat betapa indahnya malam ini."

Lucien duduk di sampingnya, mengikuti pandangannya ke langit. "Ya, sangat indah," jawabnya, tersenyum. "Namun, aku lebih tertarik pada sesuatu yang lebih dekat."

Zarathustra menoleh dan menemukan mata Lucien yang dalam, penuh dengan kehangatan dan pengertian. Di tengah ancaman yang mengintai, ada kenyamanan dalam kehadiran satu sama lain. "Apa yang kau maksud?" tanya Zarathustra, meskipun ia sudah bisa merasakan ketegangan romantis di antara mereka.

Lucien mendekat, mengambil tangan Zarathustra dengan lembut. "Malam ini, kita harus melupakan semua beban dan ketakutan. Kita sudah berjuang begitu keras. Kita berhak untuk merayakan momen ini." Suaranya bergetar dengan emosi, dan Zarathustra merasa hatinya berdebar.

Dengan lembut, Lucien menarik Zarathustra lebih dekat. Mereka duduk berdampingan, dan saat matanya bertemu, ada koneksi yang tak terucapkan di antara mereka. Lucien mengangkat tangan untuk menyentuh wajah Zarathustra, jari-jarinya menyentuh pipi lembutnya dengan kasih sayang. "Aku tidak ingin kehilanganmu. Tidak sekarang, tidak pernah."

Zarathustra merasakan hangatnya sentuhan itu, yang membuat jantungnya berdegup lebih kencang. "Aku juga tidak ingin kehilanganmu, Lucien. Kau adalah satu-satunya cahaya di kegelapan ini." Matanya bersinar, menunjukkan betapa dalamnya perasaannya. Dalam sekejap, semua ketakutan dan kekhawatiran tentang masa depan terasa jauh dari pikirannya.

Lucien membungkuk sedikit, mendekatkan wajahnya ke Zarathustra. "Izinkan aku menunjukkan betapa aku menghargaimu." Dalam sekejap, ia mencium Zarathustra dengan lembut, bibir mereka bersentuhan dalam kehangatan yang menghapus semua beban. Ciuman itu lembut namun penuh makna, seolah-olah mengikat janji di antara mereka.

Zarathustra merespons, menutup matanya dan membiarkan perasaannya meluap. Ciuman itu terasa seperti api yang menyala di dalam dirinya, membawa serta rasa aman dan cinta yang mendalam. Mereka berdua terhanyut dalam momen itu, melupakan sejenak dunia di sekitar mereka.

Setelah beberapa saat, mereka saling melepaskan, dan Zarathustra membuka matanya, menemukan tatapan Lucien penuh kekaguman. "Itu... indah," Zarathustra berbisik, suaranya bergetar. "Kita harus melawan bersama, bukan hanya untuk diri kita, tetapi untuk cinta kita."

"Benar," Lucien menjawab, senyum di wajahnya. "Kita akan menghadapi apa pun yang datang bersama-sama. Aku berjanji padamu."

Zarathustra merasa kekuatan janji itu mengalir di antara mereka. Di bawah sinar bintang, mereka saling berpegangan tangan, merasakan detak jantung satu sama lain, menguatkan komitmen yang telah mereka buat. Malam itu, mereka berbagi cerita, tawa, dan harapan—momen-momen kecil yang membuat semuanya terasa lebih mungkin.

Mereka membicarakan masa depan, impian, dan bagaimana cinta mereka telah menjadi kekuatan yang tak terpisahkan. "Aku ingin melihat dunia bersamamu," kata Zarathustra dengan penuh semangat. "Di mana pun itu, selama kita bersama."

"Begitu juga aku," Lucien menjawab, matanya bersinar penuh tekad. "Aku ingin melindungimu, tidak peduli apa pun yang terjadi. Kita adalah satu-satunya cahaya di dunia ini yang saling melengkapi."

Di tengah percakapan mereka, bintang-bintang berkelap-kelip, seolah merestui janji cinta mereka. Zarathustra merasakan betapa perasaannya tumbuh lebih dalam, dan di dalam hatinya, dia tahu bahwa Lucien adalah kunci untuk mengatasi semua rintangan yang akan datang.

"Ayo kita kembali beristirahat," Lucien berkata, menarik Zarathustra lebih dekat. Mereka berbaring di atas rumput yang lembut, dengan tubuh mereka bersebelahan. Lucien melingkarkan lengannya di sekitar bahu Zarathustra, memberikan rasa aman yang sangat dibutuhkan. "Aku akan selalu ada di sampingmu."

"Dan aku akan selalu bersamamu," jawab Zarathustra, matanya menutup, membiarkan kegelapan malam menenangkan pikirannya.

Di bawah langit malam yang berhiaskan bintang-bintang, mereka berdua terlelap, bersatu dalam kehangatan dan cinta yang tulus. Meskipun bahaya mengintai di luar sana, mereka menemukan perlindungan satu sama lain, dan dalam hati mereka, sebuah janji terukir untuk saling mencintai dan melindungi, menghadapi segala tantangan yang akan datang.

DIANTARA API DAN BAYANGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang