Chapter 40: Pahlawan dari Dua Dunia

4 4 0
                                    

Matahari bersinar cerah di atas kerajaan Verellia, memancarkan cahaya keemasan yang menyelimuti segala sesuatu dalam kehangatan. Jalanan penuh sesak dengan penduduk yang berkumpul untuk menyaksikan momen bersejarah pengakuan resmi Zarathustra dan Lucien sebagai pahlawan dari dua kerajaan. Suara sorakan dan tepuk tangan menggema di udara, menciptakan suasana kegembiraan dan harapan baru.

Zarathustra dan Lucien berdiri di atas panggung yang dihiasi dengan bunga dan bendera, masing-masing mengenakan jubah yang dijahit dari benang emas dan merah, simbol kekuatan dan keberanian. Di belakang mereka, Raja dan Ratu Verellia menatap penuh bangga, sementara keluarga Lucien yang berasal dari Noctaria juga berdiri di samping, mengulurkan tangan sebagai tanda persatuan antara kedua kerajaan.

"Di sini, di hadapan kalian semua, kami mengakui keberanian dan pengorbanan dari dua anak muda yang telah membawa harapan kembali ke tanah kita," Raja Verellia mengawali pidatonya dengan suara yang tegas, menghujani semua dengan energi positif. "Mereka tidak hanya berjuang untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk setiap jiwa yang menghuni tanah ini."

Zarathustra menatap kerumunan yang bersemangat, dan meski hatinya dipenuhi dengan rasa bangga, ada keinginan yang mendalam untuk menyampaikan pesan penting. "Kami bersyukur atas pengakuan ini," katanya, suaranya bergetar lembut, tetapi penuh kekuatan. "Namun, kami ingin mengingatkan semua orang bahwa perjuangan kita belum berakhir. Kegelapan yang kami hadapi belum sepenuhnya hilang. Ada ancaman yang lebih besar yang masih mengintai di tempat yang lebih dalam."

Lucien melanjutkan, "Kami mungkin telah mengalahkan beberapa penjaga kegelapan, tetapi kami perlu bersatu lebih kuat dari sebelumnya. Kami ingin setiap orang di sini tahu bahwa kita semua adalah bagian dari perjuangan ini."

Sorakan kerumunan semakin keras, tetapi Zarathustra dan Lucien saling menatap dengan kesadaran penuh. Momen ini bukan hanya tentang mereka, tetapi tentang semua orang yang berdiri bersatu untuk melawan kegelapan yang mengancam kehidupan mereka.

"Perjuangan kita adalah untuk masa depan," Zarathustra melanjutkan, suaranya kini semakin berapi-api. "Kita harus menjaga agar api harapan tetap menyala. Bersama, kita dapat mengalahkan segala rintangan yang ada di depan kita."

Setelah pidato berakhir, panggung dipenuhi dengan musik meriah. Para penari muncul, mengenakan kostum berwarna cerah, dan mereka mulai menari dengan gembira, mengundang semua orang untuk ikut merayakan. Zarathustra dan Lucien terjun ke dalam kerumunan, menyapa setiap orang dengan senyuman hangat.

Tetapi di tengah sorak-sorai itu, mereka berdua merasakan sesuatu yang lebih dalam sebuah kekhawatiran yang terus membayangi pikiran mereka. Walaupun masyarakat merayakan kemenangan mereka, dua pahlawan ini tahu bahwa kegelapan masih mengintai, menunggu waktu yang tepat untuk menyerang.

Saat mereka melangkah ke tepi taman istana, Lucien menarik Zarathustra ke samping, jauh dari keramaian. "Kau tahu kita tidak bisa mengabaikan ancaman ini, bukan?" tanyanya, nada suaranya serius.

Zarathustra mengangguk, wajahnya berkerut. "Kita harus segera kembali ke Noctaria. Kita perlu menggali lebih dalam tentang kutukan yang ditinggalkan oleh penjaga itu dan menemukan cara untuk menghentikannya sebelum terlambat."

"Tapi bagaimana kita melakukannya?" Lucien bertanya. "Kita telah mencari semua sumber yang kita bisa temukan, dan meskipun kita memiliki kekuatan yang lebih kuat sekarang, kita tidak bisa berjuang melawan sesuatu yang kita tidak sepenuhnya pahami."

Zarathustra terdiam sejenak, memikirkan semua informasi yang mereka peroleh dari kitab kuno. "Ada satu hal yang belum kita coba," katanya akhirnya. "Kita perlu mencari bantuan dari penguasa bayangan. Mungkin ada yang tersisa di dalam kegelapan itu yang bisa kita ajak berkolaborasi."

Lucien mengernyit, tidak sepenuhnya yakin. "Maksudmu... kita harus pergi ke tempat di mana kegelapan itu berasal? Ke jantung Noctaria?"

"Ya," Zarathustra menjawab, matanya bersinar dengan tekad. "Kita harus menghadapi kegelapan dengan berani dan menemukan cara untuk berkolaborasi. Kita tidak bisa melakukannya sendiri. Kita butuh sekutu, dan terkadang sekutu itu berasal dari tempat yang paling tidak terduga."

Lucien mengangguk, perlahan-lahan menerima ide itu. "Kau benar. Kita tidak dapat menghadapi semua ini sendirian. Dan jika kita ingin menyatukan kekuatan kita secara sempurna, kita perlu memahami semua sisi baik kegelapan maupun cahaya."

Mereka memutuskan untuk segera berangkat ke Noctaria, mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan berikutnya. Namun sebelum mereka pergi, mereka ingin meninggalkan jejak terakhir dari perayaan ini momen yang akan dikenang oleh rakyat mereka.

Zarathustra dan Lucien kembali ke tengah kerumunan, dan saat matahari mulai terbenam, mengubah langit menjadi warna oranye kemerahan yang menawan, mereka berdiri berhadapan dan mengangkat tangan mereka ke udara. "Bersama kita bisa!" teriak Zarathustra, suaranya bergaung di antara semua yang hadir.

Kerumunan menjawab dengan semangat yang membara, seruan "Bersama kita bisa!" menggema di seluruh kerajaan. Momen itu menjadi saksi betapa kuatnya semangat persatuan di dalam hati rakyat mereka.

Setelah perayaan berakhir, Zarathustra dan Lucien kembali ke istana, mempersiapkan segala sesuatu untuk perjalanan mereka ke Noctaria. Mereka tahu bahwa mereka harus menjalin aliansi dengan pihak yang mungkin pernah dianggap musuh. Namun, mereka juga memiliki keyakinan bahwa kekuatan cinta dan persatuan dapat membawa mereka melalui segala rintangan.

Dalam keheningan malam yang tenang, saat mereka berdua bersiap-siap untuk berangkat, Zarathustra meraih tangan Lucien dan menggenggamnya erat. "Kita akan melalui ini bersama. Aku tidak akan membiarkanmu sendirian."

Lucien menatap Zarathustra, merasakan kehangatan di dalam hatinya. "Dan aku tidak akan membiarkanmu pergi sendirian. Kita adalah pahlawan dari dua dunia, dan kita akan bersatu untuk mengakhiri semua ini."

Mereka berdua berdiri di sana, di bawah langit berbintang, di tengah malam yang sunyi. Dalam momen tersebut, mereka tahu bahwa meskipun dunia di luar sana penuh dengan tantangan dan bahaya, kekuatan yang mereka miliki satu sama lain adalah senjata terkuat dalam pertempuran melawan kegelapan yang mengancam. Dengan semangat baru dan tekad yang membara, mereka siap menghadapi apa pun yang menanti mereka di Noctaria.

DIANTARA API DAN BAYANGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang