Chapter 38: Kutukan Terakhir Sang Kegelapan

3 3 0
                                    

Kabut kegelapan perlahan-lahan mulai terangkat dari puncak gunung. Sosok besar penjaga terakhir yang sebelumnya penuh kekuatan kini hanyalah bayangan yang memudar ke dalam tiupan angin dingin. Namun, saat tubuhnya lenyap, Zarathustra dan Lucien merasakan sesuatu yang jauh lebih mengancam daripada apa pun yang pernah mereka hadapi.

Udara di sekeliling mereka tiba-tiba menjadi berat, seakan-akan malam itu menahan napasnya. Di tengah kehancuran yang mereka ciptakan, suara penjaga terdengar samar, tetapi jelas. Bisikan yang menggema di angkasa, terdengar seperti suara kematian yang datang dari jauh.

"Ini belum berakhir... Kalian tidak bisa menghentikan kekuatan kegelapan... Kegelapan akan selalu menemukan jalannya..."

Kedua mata Zarathustra dan Lucien membulat ketika mereka menyadari apa yang sedang terjadi. Kegelapan tidak sepenuhnya terkalahkan, dan seiring dengan lenyapnya Penjaga, kekuatan kuno itu melepaskan kutukan terakhirnya. Tanah di bawah mereka mulai bergetar sekali lagi, dan retakan besar muncul di permukaan batu. Dari dalam bumi, keluar aura hitam pekat, menyelubungi seluruh puncak gunung dengan energi yang menakutkan.

Zarathustra berbalik menghadap Lucien, matanya dipenuhi kecemasan. "Apa yang terjadi? Apakah kita gagal?" suaranya serak, penuh ketakutan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.

Lucien menggenggam tangan Zarathustra lebih erat, mencoba menenangkannya meskipun hatinya juga diliputi kegelisahan. "Tidak, kita belum gagal," katanya tegas, meskipun hatinya tahu bahwa ancaman baru ini bisa menghancurkan lebih dari sekadar mereka berdua. Ancaman ini bisa menghancurkan seluruh kerajaan Verellia dan Noctaria.

Perlahan, dari bayangan terakhir yang tersisa dari Penjaga, muncul sosok gelap berbentuk seperti awan, melayang di udara seperti hantu. Sosok itu menatap mereka dengan mata merah yang berkilauan. Suaranya, lebih dalam dan jahat dari sebelumnya, bergaung melalui pegunungan.

"Kutukanku telah ditanamkan di dalam tanah kerajaan kalian. Tidak ada yang bisa melarikan diri dari kegelapan ini. Kalian semua akan hancur, dari yang terendah hingga yang tertinggi. Kerajaan kalian akan tenggelam dalam bayangan dan api..."

Zarathustra tersentak, jantungnya berdegup kencang. "Dia telah menanamkan kutukan di tanah kerajaan kita," katanya pelan. "Jika kita tidak menghentikannya, Verellia dan Noctaria akan lenyap."

Lucien menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan kekacauan pikirannya. "Kita harus menemukan caranya untuk menghentikan kutukan ini, apa pun itu. Kita tidak boleh menyerah sekarang. Kegelapan ini tidak akan mengambil segalanya dari kita."

Mereka berdua berbalik, memandang ke arah lembah di bawah gunung. Dari tempat mereka berdiri, terlihat kerlip lampu-lampu kerajaan Verellia yang megah dan Noctaria di kejauhan. Itu adalah rumah mereka tempat yang mereka lindungi dengan seluruh jiwa dan raga mereka. Namun, di bawah permukaan, tanah kerajaan itu kini telah terinfeksi oleh kekuatan gelap yang bahkan mereka belum sepenuhnya pahami.

"Ini lebih dari sekadar pertempuran," kata Zarathustra pelan. "Ini adalah perang melawan waktu."

Perjalanan kembali ke kerajaan Verellia terasa lebih panjang dari sebelumnya. Setiap langkah yang mereka ambil terasa seperti beban berat yang tidak bisa diangkat. Mereka berdua tahu, waktu sangat terbatas, dan kutukan itu bisa mulai bekerja kapan saja, menghancurkan tanah dan rakyat di bawah mereka.

Begitu mereka tiba di gerbang Verellia, mereka segera disambut oleh para penjaga dan pelayan kerajaan yang telah menunggu mereka dengan penuh kecemasan. Raut wajah mereka mencerminkan ketakutan dan harapan yang bercampur aduk.

"Kalian berhasil?" salah satu pelayan tua bertanya, suaranya bergetar.

Zarathustra mengangguk dengan lemah, tetapi sorot matanya yang cemas tidak bisa disembunyikan. "Penjaga telah dikalahkan, tapi... ada kutukan terakhir."

Pelayan itu menelan ludah, ketakutan yang selama ini ditahan tampaknya semakin nyata di hadapan mereka. "Kutukan?" suaranya berbisik, nyaris tak terdengar.

Lucien melangkah maju. "Kami tidak tahu seberapa besar dampaknya, tapi jika tidak segera dihentikan, seluruh kerajaan kita berada dalam bahaya."

Di ruang takhta Verellia, Raja dan Ratu menyambut mereka dengan kelegaan. Raja Verellia, dengan tatapan yang penuh kebanggaan sekaligus khawatir, mendekati Zarathustra dan Lucien. "Kalian telah melakukan hal yang luar biasa. Namun, kutukan ini... apakah ada cara untuk menghentikannya?"

Zarathustra berpikir sejenak, mencoba mengingat setiap momen di puncak gunung, setiap kata yang diucapkan oleh Penjaga. Tiba-tiba, terlintas di benaknya sebuah petunjuk. "Penjaga mengatakan bahwa kutukan ini ditanamkan di dalam tanah kerajaan kita. Mungkin, untuk menghentikannya, kita harus menemukan akar dari kegelapan ini. Sumber kekuatan yang lebih dalam."

Lucien mengangguk. "Mungkin ada sesuatu di dalam tanah ini, sesuatu yang disegel oleh nenek moyang kita. Penjaga kegelapan mungkin telah membangkitkan kutukan yang telah lama terkubur."

Raja Verellia mengangguk pelan. "Jika itu benar, maka kita harus menggali lebih dalam ke sejarah kerajaan kita. Kekuatan kegelapan ini tidak mungkin muncul tanpa sebab. Ada sesuatu yang kita lewatkan selama ini."

Ratu Verellia, yang selalu bijak dan tenang, berbicara dengan lembut. "Ada catatan kuno yang ditulis oleh nenek moyang kita. Mereka pernah berbicara tentang sebuah makhluk kuno yang menguasai bumi dan kegelapan. Mungkin... itu ada hubungannya dengan kutukan ini."

"Catatan itu ada di perpustakaan kuno kita," tambahnya. "Aku akan menyuruh seseorang mengambilnya."

Lucien dan Zarathustra saling berpandangan, penuh tekad. Mereka tahu, perjalanan ini belum berakhir. Ancaman kegelapan yang lebih besar mungkin masih menanti, dan kutukan ini bisa menghancurkan semua yang mereka cintai. Namun, mereka juga tahu bahwa bersama-sama, mereka memiliki kekuatan untuk melawan apa pun yang datang.

Saat mereka bersiap untuk mempelajari catatan kuno tersebut, Lucien menggenggam tangan Zarathustra erat-erat. Di balik semua kegelapan dan ketakutan, ada satu hal yang selalu ia yakini cintanya pada Zarathustra. Cinta itu adalah cahaya di tengah kegelapan yang tak berujung, kekuatan yang akan membimbing mereka menuju kemenangan, tak peduli seberapa besar ancaman yang datang.

"Kita akan menghentikan kutukan ini," Lucien berbisik, suaranya lembut namun penuh keyakinan.

Zarathustra menatapnya, matanya bersinar penuh harapan. "Ya," katanya. "Kita akan melawan hingga akhir, bersama."

Dengan tekad dan cinta yang semakin dalam, mereka mempersiapkan diri untuk menghadapi kutukan terakhir ini sebuah tantangan yang akan menguji kekuatan mereka, tidak hanya sebagai pemimpin, tetapi juga sebagai dua hati yang bersatu melawan gelapnya dunia.

DIANTARA API DAN BAYANGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang