Chapter 16: Kegelapan yang Terbangun

4 3 0
                                    

Gua tempat kekuatan kuno tersembunyi itu kini berdiri di hadapan mereka. Zarathustra dan Lucien, bersama dengan sekelompok kecil prajurit terpilih dari kedua kerajaan, berdiri di mulut gua yang gelap dan tak terjamah selama berabad-abad. Udara di sekitar mereka terasa berat, seolah-olah seluruh dunia menahan napas. Batu-batu besar yang membentuk gua tampak tua dan penuh ukiran misterius yang menceritakan kisah-kisah yang sudah terlupakan.

Zarathustra merasakan getaran aneh di dalam dirinya. "Ada sesuatu di sini... lebih kuat dari apa pun yang pernah kita hadapi sebelumnya," katanya, suaranya terdengar rendah namun tegas.

Lucien mengangguk. "Kegelapan ini terasa berbeda. Ini bukan hanya bayangan yang kita kenal... ini lebih tua, lebih dalam."

Mereka melangkah masuk ke dalam gua, meninggalkan cahaya dunia luar di belakang mereka. Kegelapan seolah-olah menyambut mereka, memeluk setiap langkah yang mereka ambil dengan keheningan yang memekakkan telinga. Obor-obor yang dibawa oleh prajurit-prajurit mereka tampak redup dalam kegelapan ini, seakan-akan cahaya tidak mampu menembus pekatnya.

Mereka berjalan lebih dalam, melewati lorong-lorong yang sempit dan berkelok. Di dinding-dinding gua, lukisan kuno mulai terlihat. Lukisan-lukisan itu menggambarkan sosok-sosok raksasa yang tertutup bayangan, memegang kekuatan api dan kegelapan, bertarung melawan entitas-entitas yang lebih tua dari dunia itu sendiri.

"Tahukah kau apa arti dari semua ini?" tanya Lucien, matanya menelusuri ukiran-ukiran itu.

Zarathustra menggelengkan kepala, meskipun ia merasa ada sesuatu yang familiar dalam simbol-simbol itu. "Ini adalah sesuatu yang bahkan lebih tua dari legenda kita."

Mereka mencapai ruang besar di tengah gua. Di sana, berdiri sebuah altar kuno yang terbuat dari marmer hitam. Di atas altar itu, terbaring sebuah kristal besar yang berkilauan antara warna merah api dan hitam pekat. Kekuatan yang memancar dari kristal itu membuat udara di sekitar mereka terasa bergetar.

"Ini dia," bisik Zarathustra. "Ini adalah pusat dari semua kekuatan ini."

Namun, sebelum mereka bisa mendekati altar itu, sesuatu bergerak di sekitar mereka. Dari bayangan-bayangan di sudut ruangan, sosok-sosok mulai terbentuk tinggi, gelap, dan tanpa wujud yang jelas. Mata mereka bersinar dengan cahaya merah, memancarkan kebencian yang dalam dan keinginan untuk menghancurkan.

Lucien dengan cepat menarik pedangnya, bersiap menghadapi ancaman yang baru muncul itu. "Siapa kalian?" tanyanya tegas, mencoba mencari tahu apa yang mereka hadapi.

Salah satu dari sosok itu melangkah maju, suaranya terdengar seperti bisikan ribuan jiwa yang hilang. "Kami adalah penjaga kekuatan ini. Kalian tidak seharusnya berada di sini."

"Kami datang untuk menghentikan kegelapan ini," kata Zarathustra dengan berani. "Kami tidak akan membiarkan kekuatan ini menghancurkan dunia."

Penjaga itu tertawa rendah, suaranya bergema di seluruh gua. "Kalian tidak memahami apa yang kalian hadapi. Kegelapan ini sudah terbangun, dan tidak ada yang bisa menghentikannya sekarang."

Zarathustra dan Lucien merasakan lantai di bawah mereka mulai bergetar. Kristal di atas altar semakin bersinar terang, hingga akhirnya meledak dalam kilatan cahaya yang memancar ke seluruh ruangan. Gelombang kekuatan yang dahsyat melemparkan mereka mundur, tubuh mereka terhempas oleh kekuatan yang tak terlihat.

Zarathustra terjatuh dengan keras ke lantai gua, kepalanya berputar saat dia mencoba mengumpulkan kesadarannya. Ketika ia membuka matanya, kristal di altar telah hilang. Sebagai gantinya, berdiri sosok raksasa yang terbungkus dalam bayangan, dengan mata yang bersinar merah seperti api yang membara.

Dia bukan Malakar, melainkan sesuatu yang jauh lebih tua dan kuat. Sosok itu berdiri dengan kekuatan yang menakutkan, auranya memancarkan kekuatan penghancur.

"Dunia ini," kata sosok itu dengan suara yang dalam dan menggelegar, "akan kembali pada kegelapan yang sejati. Api dan bayangan milik kalian hanyalah serpihan dari kekuatan yang aku bawa."

Zarathustra dan Lucien bangkit perlahan, merasakan kelelahan di seluruh tubuh mereka, namun tekad mereka tetap kuat. Mereka tahu bahwa ini adalah ujian terakhir mereka. Dunia sekarang tergantung pada kekuatan mereka untuk menghentikan kegelapan purba yang baru terbangun ini.

Lucien memandang Zarathustra, tatapannya penuh kasih dan kekhawatiran. "Kita bisa melakukan ini... bersama."

Zarathustra menatap balik, matanya bersinar dengan api semangat yang tak pernah padam. "Bersama, kita bisa menghadapi apa pun."

Dengan kekuatan api dan bayangan yang menyala di dalam diri mereka, Zarathustra dan Lucien melangkah maju, siap untuk melawan kekuatan kegelapan yang telah bangkit. Mereka tahu bahwa ini adalah pertempuran yang akan menentukan nasib dunia, namun cinta dan keyakinan mereka pada satu sama lain adalah kekuatan terbesar yang mereka miliki.

DIANTARA API DAN BAYANGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang