Chapter 27: Kehangatan di Tengah Malam

3 3 0
                                    

Malam telah menyelimuti lembah yang hancur, menyisakan hanya sejumput bintang di langit sebagai saksi bisu dari perjuangan yang baru saja terjadi. Di antara reruntuhan dan abu, sebuah tenda kecil didirikan di pinggir sungai yang berkilauan dengan pantulan sinar rembulan. Di dalamnya, Lucien duduk dengan waspada, menjaga Zarathustra yang masih terbaring lemah di tempat tidur darurat yang mereka buat.

Wajahnya pucat, tetapi napasnya mulai stabil, meski rasa sakit belum sepenuhnya menghilang. Lucien memandangi gadis itu dengan tatapan yang dipenuhi kasih sayang dan keprihatinan. Ia telah menghabiskan sebagian besar malam itu untuk menyembuhkan lukanya, tetapi bukan hanya tubuh Zarathustra yang terluka jiwa mereka berdua telah tercabik-cabik oleh pertempuran dan ancaman gelap yang terus mengintai.

Di luar tenda, angin lembut berdesir, membawa aroma segar dari pepohonan yang jauh di sana. Suara gemericik air sungai memberikan harmoni yang menenangkan, namun Lucien tidak mampu memejamkan mata. Matanya terus terpaku pada sosok Zarathustra, memastikan dia tetap aman.

Zarathustra, meski tubuhnya masih terasa berat, membuka matanya perlahan. Ia melihat Lucien duduk di sisinya, matanya tak pernah lepas dari dirinya. "Lucien..." suara Zarathustra terdengar lemah, tetapi ada kehangatan di dalamnya.

Lucien segera mendekat, meraih tangan Zarathustra dengan lembut. "Aku di sini," ucapnya pelan, seolah-olah bisikan itu hanya untuk mereka berdua di tengah malam yang sunyi.

Zarathustra tersenyum tipis, meski rasa lelah masih menguasai tubuhnya. "Kau seharusnya istirahat. Aku tahu kau juga kelelahan."

Lucien menggelengkan kepalanya pelan, mengusap lembut punggung tangan Zarathustra. "Aku tidak bisa tidur... tidak sampai aku tahu kau benar-benar baik-baik saja. Aku akan selalu menjagamu, Zarathustra."

Zarathustra merasakan hangatnya sentuhan tangan Lucien. Ada rasa aman yang luar biasa di dalam hatinya setiap kali Lucien berada di sisinya, dan malam ini, di tengah lembah yang telah menjadi saksi kekuatan mereka, dia merasa lebih terhubung dengan Lucien daripada sebelumnya.

"Kau tidak harus selalu melindungiku sendirian, Lucien." Zarathustra menarik napas dalam, meski dadanya masih terasa nyeri. "Kita berdua ada di sini, bersama-sama. Aku juga ingin melindungimu, dengan segala yang kumiliki."

Lucien tersenyum hangat, menunduk sedikit untuk lebih dekat dengannya. "Kau sudah melakukan lebih dari itu. Kau selalu memberikan kekuatan kepadaku, Zarathustra. Tanpamu, aku mungkin sudah jatuh dalam kegelapan."

Mereka terdiam sesaat, hanya ditemani oleh suara malam yang tenang. Perlahan, Lucien mendekatkan wajahnya ke arah Zarathustra, mata mereka bertemu dalam pandangan penuh arti. Di tengah kelelahan yang menguasai mereka, ada keheningan yang nyaman, seolah-olah dunia di sekitar mereka menghilang dan hanya ada mereka berdua.

Zarathustra merasakan detak jantungnya semakin cepat. Ia bisa merasakan kekuatan yang berbeda dari yang selama ini ia gunakan ini bukan kekuatan sihir atau kekuatan fisik, tetapi sesuatu yang jauh lebih dalam. Kekuatan cinta, rasa saling memiliki, yang semakin lama semakin menyelimuti mereka.

Dengan lembut, Lucien menyentuh wajah Zarathustra, jari-jarinya mengusap rambutnya yang lembut. "Aku berjanji," bisik Lucien, suaranya dipenuhi tekad dan kasih sayang. "Aku akan selalu berada di sisimu, apapun yang terjadi. Aku akan melindungimu, dan kita akan melewati semua ini bersama."

Zarathustra menatapnya dalam-dalam, merasakan kehangatan yang memenuhi hatinya. "Aku juga berjanji, Lucien. Apapun yang terjadi, aku tidak akan membiarkan kita terpisah. Aku akan selalu bersamamu."

Lucien mendekatkan wajahnya, hingga bibir mereka hampir bersentuhan. Mereka terdiam, hanya ditemani oleh bunyi angin dan sungai yang mengalir pelan di luar. Di bawah cahaya rembulan yang lembut, Lucien dan Zarathustra akhirnya membiarkan diri mereka merasakan keintiman yang telah lama terpendam.

Ciuman pertama mereka terjadi begitu lembut, penuh kehangatan. Itu bukan ciuman yang dipenuhi hasrat, melainkan penuh ketenangan dan janji. Janji untuk selalu bersama, untuk saling melindungi, dan untuk menghadapi segala rintangan yang datang bersama-sama. Dalam ciuman itu, mereka tidak hanya menyatukan perasaan mereka, tetapi juga takdir mereka.

Saat mereka berdua perlahan melepaskan ciuman tersebut, Lucien tetap menatap Zarathustra dengan penuh kasih. "Aku mencintaimu," katanya pelan, namun dalam kata-katanya terdapat tekad yang kuat. Ini bukan sekadar pengakuan, tetapi komitmen yang mendalam.

Zarathustra tersenyum, matanya berbinar lembut. "Aku juga mencintaimu, Lucien."

Di malam itu, di tengah kegelapan yang sempat menghantui mereka, mereka menemukan cahaya yang berasal dari cinta mereka satu sama lain. Kehangatan itu membawa rasa damai dalam hati mereka, dan meskipun banyak tantangan yang masih akan datang, malam ini mereka tahu bahwa selama mereka saling memiliki, tidak ada yang tidak dapat mereka hadapi.

DIANTARA API DAN BAYANGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang