Chapter 19: Perjalanan ke Dalam Kegelapan

4 2 0
                                    

Kegelapan malam menyelimuti kerajaan Verellia saat Zarathustra dan Lucien bersiap untuk meninggalkan istana. Bayangan dari percakapan terakhir mereka di dalam gua masih terasa begitu nyata, seakan-akan takdir mereka telah terjalin erat dengan kekuatan yang mereka temukan. Kini, mereka harus menghadapi apa yang menanti mereka di tempat-tempat paling tersembunyi di kerajaan tempat di mana kegelapan memegang rahasia yang bisa menjadi kunci penyelamatan dunia atau akhir dari semuanya.

Mereka berdua berjalan dalam diam, meninggalkan istana yang sepi di tengah malam. Jubah hitam tebal menutupi tubuh mereka, mencoba menyembunyikan identitas mereka dari siapapun yang mungkin memperhatikan. Meski tubuh mereka terlindungi dari dingin malam, hati mereka tidak bisa terbebas dari rasa gelisah.

"Menurut legenda, tempat-tempat yang paling tersembunyi di Verellia dan Noctaria menyimpan rahasia kekuatan kuno. Di situlah kita harus memulai," Zarathustra berbisik, matanya menatap lurus ke depan. Dia tahu bahwa perjalanan ini tidak hanya berbahaya, tetapi juga penuh dengan pertanyaan yang tidak memiliki jawaban pasti.

Lucien berjalan di sampingnya, wajahnya terlihat tegang namun tetap tenang. "Setiap langkah kita membawa kita lebih dekat ke kebenaran. Aku hanya berharap kita cukup siap untuk menghadapi apa pun yang akan kita temui."

Malam itu, mereka berdua menaiki kuda hitam yang membawa mereka ke perbatasan Verellia dan Noctaria sebuah wilayah gelap yang dikenal sebagai Kanal Serafis, sebuah lembah yang memisahkan kedua kerajaan. Kanal Serafis adalah tempat pertama yang disebut dalam naskah kuno sebagai titik awal perjalanan ke kegelapan yang lebih dalam. Tempat ini sudah lama dilarang untuk dikunjungi oleh rakyat biasa karena konon dihuni oleh roh-roh yang terkutuk.

Sesampainya di sana, udara di sekitar terasa lebih dingin, hampir seperti keheningan yang ditelan oleh lembah itu sendiri. Hanya ada sedikit cahaya bulan yang menembus melalui awan tebal, membuat bayangan dari pepohonan di sekitarnya bergerak seolah-olah mereka hidup.

"Kita sudah dekat," bisik Zarathustra sambil menatap lembah yang terhampar di depan mereka. Di bawahnya, jalan setapak yang sempit berkelok-kelok menuju kedalaman lembah, ditutupi oleh kabut tipis yang membuat segala sesuatunya terlihat samar.

Lucien menatapnya dengan mata penuh tekad. "Tidak ada jalan kembali."

Dengan satu tarikan napas dalam, mereka berdua turun dari kuda dan mulai berjalan menuruni lembah, menapaki jalan setapak yang hampir tidak terlihat oleh mata. Setiap langkah yang mereka ambil terdengar bergema di sekitarnya, seolah-olah lembah itu sendiri sedang mendengarkan kedatangan mereka.

Setelah berjalan beberapa lama, Zarathustra menghentikan langkahnya. "Lucien, kau mendengar itu?" Suaranya berbisik, penuh kewaspadaan.

Lucien mengerutkan alisnya dan mendengarkan dengan seksama. Jauh di kedalaman lembah, terdengar suara pelan, seperti bisikan angin yang membawa suara-suara tak dikenal. Suara itu seolah-olah memanggil mereka, semakin mendekat seiring langkah kaki mereka.

"Kita harus berhati-hati. Ini mungkin bukan hanya bayangan biasa," kata Lucien, tatapannya penuh peringatan.

Zarathustra mengangguk, dan mereka berdua melanjutkan perjalanan. Namun, semakin dalam mereka masuk ke lembah, semakin nyata perasaan bahwa sesuatu sedang mengawasi mereka. Tiba-tiba, kabut di sekitar mereka berubah lebih pekat, hampir seperti tirai tebal yang menutupi pandangan mereka.

"Ini bukan kabut biasa," Zarathustra menyadari dengan cepat, merasakan sesuatu yang aneh dalam udara sekitarnya. "Ini adalah ilusi kegelapan."

Lucien segera mengeluarkan belatinya, bersiap untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi. "Kita tidak bisa melihat apa yang ada di depan kita. Kita harus menggunakan kekuatan kita."

Zarathustra memejamkan matanya, memusatkan energinya untuk memanggil api yang tersembunyi di dalam dirinya. Nyala api yang sebelumnya kecil mulai berkobar lebih terang, menerangi jalan di sekitar mereka. Dalam cahayanya, mereka bisa melihat lebih jelas dan apa yang mereka lihat membuat darah mereka membeku.

Di depan mereka, sosok-sosok bayangan mulai bergerak. Mereka tampak seperti manusia, tetapi tubuh mereka hampir transparan, hanya terdiri dari kabut dan kegelapan. Mata merah mereka berkilauan dengan ancaman yang tidak terucapkan, menatap Zarathustra dan Lucien tanpa henti.

"Roh-roh terkutuk," Lucien bergumam, mengingat cerita-cerita yang pernah ia dengar tentang tempat ini. "Mereka adalah penjaga tempat ini, terjebak di antara dunia hidup dan mati."

Zarathustra tahu bahwa mereka tidak punya pilihan selain maju. "Kita tidak bisa mundur. Mereka akan terus mengejar kita jika kita tidak menghadapi mereka sekarang."

Dengan tekad bulat, Zarathustra mengangkat tangannya, api menyala lebih terang dari sebelumnya. Lucien berdiri di sampingnya, bayangan di sekelilingnya mulai bergerak dengan sendirinya, seolah-olah kegelapan merespon kehadirannya.

"Kita harus bersatu sekarang," kata Lucien tegas. "Jika kita ingin melewati mereka, kita harus menggabungkan kekuatan kita."

Zarathustra memandangnya dalam-dalam dan mengangguk. Ini adalah momen yang telah ditakdirkan saat di mana api dan bayangan akan bersatu untuk mengatasi kegelapan yang lebih besar. Mereka berdiri bersebelahan, tangan mereka bersentuhan, dan ketika energi mereka mulai terhubung, sesuatu yang luar biasa terjadi.

Api Zarathustra dan bayangan Lucien mulai berputar, saling melingkar satu sama lain, membentuk pusaran kekuatan yang menghancurkan segala ilusi di sekitar mereka. Roh-roh terkutuk itu, yang sebelumnya tampak tak terhentikan, mulai memudar, hilang dalam kabut yang memudar seiring dengan kekuatan api dan bayangan yang menyatu.

"Kita berhasil," bisik Zarathustra, matanya berbinar dalam cahaya yang sekarang menerangi lembah. Kegelapan di sekitar mereka mulai mundur, memberi jalan bagi mereka untuk melanjutkan perjalanan.

Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, suara dari kedalaman lembah terdengar lagi. Kali ini lebih kuat, lebih nyata. "Kalian berdua... adalah bagian dari siklus ini... Kalian tidak bisa lari dari takdir kalian..."

Zarathustra dan Lucien saling memandang. Mereka tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai, dan tantangan yang lebih besar masih menanti di depan.


DIANTARA API DAN BAYANGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang