Chapter 23: Pengorbanan Bayangan

3 3 0
                                    

Langit di atas Verellia mulai menunjukkan tanda-tanda badai besar, awan-awan hitam berkumpul dengan cepat, dan angin dingin menerpa wajah Zarathustra dan Lucien saat mereka terus melangkah ke arah benteng terpencil di ujung timur kerajaan. Tempat ini dikenal sebagai "Benteng Bayangan," sebuah tempat yang dulunya dihuni oleh mereka yang mampu mengendalikan kekuatan gelap.

Namun, kini benteng itu tampak sunyi, sepi, dan hampir terlupakan. Tetapi di sanalah jawaban atas pertanyaan mereka berada, jawaban yang telah mengarahkan mereka dalam perjalanan panjang ini. Keduanya tahu bahwa kekuatan yang dapat membantu mereka ada di sana di dalam kegelapan yang tersembunyi dalam bayang-bayang masa lalu.

Setelah perjalanan yang melelahkan, mereka tiba di depan pintu besar benteng, yang dipenuhi ukiran kuno dan lambang kekuatan bayangan yang tidak terjangkau oleh orang biasa. Lucien menyentuh pintu, merasakan energi dingin yang merambat ke kulitnya.

"Apakah kau yakin mereka akan membantu?" tanya Zarathustra dengan suara penuh kekhawatiran.

"Kita tak punya pilihan lain. Mereka adalah satu-satunya yang memiliki pengetahuan tentang kekuatan ini. Tapi..." Lucien terdiam sesaat, "aku tak tahu apa yang akan mereka minta sebagai imbalan."

Pintu besar itu berderit terbuka, mengungkapkan kegelapan yang pekat di dalamnya. Mereka melangkah masuk, langkah kaki mereka menggema di dalam ruang kosong yang terasa seolah-olah dipenuhi dengan ribuan mata yang mengawasi. Saat mereka berjalan lebih dalam, bayangan-bayangan di dinding bergerak, seolah-olah hidup.

Tiba-tiba, suara berat namun halus terdengar dari kegelapan.

"Siapa yang datang mencari kebijaksanaan bayangan?" suara itu penuh misteri, menggema di ruangan yang semakin mencekam.

Dari dalam kegelapan muncul seorang pria bertubuh tinggi, mengenakan jubah hitam yang menyatu dengan bayang-bayang di sekitarnya. Wajahnya separuh tertutup oleh topeng perak, tetapi mata hitam pekatnya menyorot tajam, mengintimidasi siapa pun yang menatapnya. Dia dikenal sebagai Valak, seorang penjaga bayangan terakhir, seseorang yang selama ini menjaga kekuatan gelap tetap tersembunyi dari dunia luar.

"Kami datang untuk meminta bantuanmu," ujar Lucien dengan suara tegas namun sopan.

Zarathustra menatap Valak dengan hati-hati, merasakan kehadiran yang jauh lebih kuat daripada yang dia bayangkan. Pria ini bukan sekadar penjaga bayangan, dia adalah kunci dari kekuatan yang mereka butuhkan untuk menyatukan api dan bayangan. Namun, Zarathustra bisa merasakan bahwa setiap bantuan dari pria ini datang dengan harga yang mahal.

"Kalian datang untuk mencari cara menghentikan kekuatan yang sedang bangkit, kekuatan yang lebih tua dari kerajaan kalian sendiri," kata Valak, suaranya seperti berbisik di antara bayangan. "Tapi kekuatan seperti itu tidak bisa dihentikan tanpa pengorbanan."

Zarathustra dan Lucien saling berpandangan, menyadari bahwa mereka telah mencapai titik di mana pilihan harus dibuat. "Apa yang kau inginkan sebagai pengorbanan?" tanya Lucien.

Valak tersenyum samar, sesuatu yang dingin dan tak terduga berkilat di matanya. "Aku bisa membimbing kalian menuju kekuatan untuk menghentikan ancaman itu. Tapi kalian harus memberikan sesuatu sebagai gantinya. Sesuatu yang sangat berharga."

Zarathustra maju selangkah, meski hatinya dipenuhi rasa takut. "Apa yang kau minta?"

Valak terdiam sejenak, lalu matanya menatap langsung ke arah Zarathustra. "Aku akan memberikan kalian kekuatan yang diperlukan untuk menyatukan api dan bayangan. Tapi untuk itu, salah satu dari kalian harus memberikan bayangannya esensinya, kekuatannya, bagian dari dirinya yang paling dalam."

Zarathustra terkejut, menyadari betapa besar harga yang diminta. Bayangan adalah bagian dari jiwa, sesuatu yang melekat pada seseorang selamanya. Jika bayangan itu hilang, orang tersebut akan kehilangan sebagian dari dirinya kehilangan kemampuannya untuk merasa utuh. Dia akan menjadi sosok yang tidak lengkap, terjebak dalam kegelapan tanpa jalan kembali.

Lucien, tanpa ragu, melangkah maju. "Aku akan melakukannya. Aku akan memberikan bayanganku jika itu yang dibutuhkan."

Zarathustra terdiam, hatinya bergejolak. "Tidak, Lucien," bisiknya. "Kita harus menemukan cara lain. Kau tak bisa menyerahkan bagian dari dirimu."

Lucien menoleh kepadanya, pandangan matanya lembut namun penuh tekad. "Aku tidak akan membiarkanmu kehilangan sesuatu yang begitu besar. Ini adalah tanggung jawabku."

Valak menyaksikan dengan dingin, menunggu keputusan mereka. Dia tahu bahwa pengorbanan seperti ini akan mengubah segalanya.

"Tidak, Lucien. Ini terlalu besar. Kau tidak bisa melakukan ini untukku," kata Zarathustra dengan suara serak. Namun, Lucien tetap tak bergeming.

"Aku sudah berjanji untuk selalu bersamamu," kata Lucien, suaranya penuh kepercayaan diri. "Dan aku akan melakukannya, meski aku harus kehilangan bayanganku. Jika ini bisa menghentikan kehancuran yang akan datang, maka pengorbanan ini layak dilakukan."

Zarathustra tahu bahwa Lucien tak akan mundur dari keputusannya. Dengan air mata yang mengalir di pipinya, dia menggenggam tangan Lucien erat-erat, mencoba merasakan kehadirannya, takut akan apa yang akan hilang setelah pengorbanan ini.

Valak mengulurkan tangannya, dan kegelapan mulai melingkari Lucien. Bayangannya terlepas dari tubuhnya dengan perlahan, seolah-olah ditarik oleh kekuatan tak terlihat. Saat bayangan itu meninggalkannya, Lucien merasa kehilangan sebagian dari dirinya, namun dia tetap berdiri tegak.

Zarathustra menyaksikan dengan hati yang hancur, menyadari betapa besar pengorbanan yang telah dilakukan Lucien untuknya. Ketika bayangan itu sepenuhnya hilang, Valak tersenyum dingin.

"Pengorbanan telah diterima. Sekarang, kalian memiliki kekuatan yang diperlukan," ujar Valak.

Namun, di saat itu, Zarathustra merasakan sesuatu yang berbeda. Bayangan Lucien mungkin telah hilang, tetapi cinta dan tekadnya tetap utuh. Dan itu memberinya harapan, bahwa mungkin ada lebih dari sekadar bayangan yang mengikat mereka.

Dengan kekuatan baru di tangan mereka dan pengorbanan yang begitu besar, Zarathustra dan Lucien kini bersiap menghadapi musuh terbesar mereka. Tetapi di dalam hati Zarathustra, ada rasa takut akan apa yang akan terjadi pada Lucien tanpa bayangannya.

Apakah mereka akan berhasil menyatukan api dan bayangan tanpa kehilangan lebih dari yang telah mereka korbankan?

DIANTARA API DAN BAYANGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang